Janji yang Meleset

AKHIR pekan lalu, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen Universitas Indonesia (LPEM UI) menerbitkan ‘buku putih’ berisi ulasan perkembangan ekonomi kita menuju satu abad Indonesia merdeka. Intinya, lembaga itu mengingatkan bahwa mimpi mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dan rakyatnya berpendapatan tinggi pada 2045 bisa kandas jika tidak ada terobosan radikal.

Salah satu fakta yang disodorkan LPEM UI ialah perekonomian kita yang berhenti di angka pertumbuhan 5% dalam sembilan tahun terakhir. Padahal, untuk mewujudkan mimpi menjadi negara maju, negeri ini butuh rara-rata pertumbuhan ekonomi minimal 7% per tahun. Akan lebih bagus lagi bila bisa tumbuh di atas itu.

Tetapi, rasa-rasanya, hanya keajaiban yang bisa membawa Indonesia tumbuh 7% tahun ini dan tahun depan. Pasalnya, kondisi global yang penuh ketidakpastian dan risiko kelesuan ekonomi dunia mengincar Indonesia. Selain itu, upaya mewujudkan titik-titik pertumbuhan baru tidak kunjung membuahkan hasil.

Dengan kondisi ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) siap-siap menelan pil pahit. Janji yang digadang-gadang saat kampanye di 2014 harus dikubur dalam-dalam. Selama sembilan tahun kepemimpinannya, ekonomi Indonesia belum juga tumbuh 7% dalam setahun penuh. Jaraknya bahkan amat jauh, rata-rata kurang 2% per tahun.

Cek Artikel:  Iran yang Tabah

Presiden Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu berjanji menciptakan pertumbuhan ekonomi bahkan di atas 7%. Pada Agustus 2015, Jokowi kembali menegaskan bahwa ekonomi Tanah Air akan meroket setelah kuartal II-2015. Tetapi, apa kenyataannya? Di kuartal saat itu Indonesia ternyata hanya tumbuh 4,97% (year on year/yoy). Alih-alih melesat, target pertumbuhan justru meleset. Bahkan, ekonomi Indonesia hanya bisa tumbuh rata-rata 4,12% pada 2014-2015

Ekonomi Indonesia, pada masa pandemi, memang sempat melambung ke level 7,08% (yoy) pada kuartal II-2021. Tetapi, lonjakan pertumbuhan lebih disebabkan oleh basis perhitungan yang sangat rendah pada kuartal II-2020, yakni kontraksi sebesar 5,32% (yoy). Pertumbuhan ekonomi bahkan melenceng jauh dari yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Tercantum dalam dokumen RPJMN, ekonomi Indonesia diperkirakan akan mencapai 6% pada 2022 pada skenario optimis sementara di skenario moderat di 5,7%. Faktanya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,31%. Dalam tiga tahun terakhir (2020-2022), realisasi ekonomi sangat jauh melenceng jika dibandingkan dengan skenario optimistis dan moderat pada RPJMN itu.

Cek Artikel:  Cemburu pada Singapura

Salah satu faktor melesetnya pertumbuhan ekonomi dari target ialah pertumbuhan investasi yang juga jauh di bawah target. Investasi diharapkan tumbuh 6,6-7%, tetapi nyatanya hanya tumbuh di kisaran 3%. Dari sisi lapangan usaha, pemberat utama ada di sektor konstruksi. Sektor tersebut diharapkan tumbuh 6%, tetapi nyatanya hanya di 2%.

Karena target pertumbuhan meleset, target memangkas kemiskinan juga meleset. Jokowi menargetkan kemiskinan bisa dipangkas hingga tinggal 7% atau 8% pada 2019. Tetapi, empat tahun berlalu, angka kemiskinan masih 9,34%.

Pun target memangkas ketimpangan demi pemerataan ekonomi juga masih jauh panggang dari api. Begitu awal memerintah, Jokowi menargetkan angka ketimpangan yang ditandai oleh rasio gini bakal turun, dari 0,41 pada 2014 menjadi 0,30 di 2019. Hari ini angka rasio gini masih di 0,388.

Tingkat kemiskinan dan rasio gini sulit mencapai target karena pemerintah hanya mengandalkan banjir bantuan sosial (bansos). Apalagi, bansos yang diberikan sifatnya terus-menerus dan cenderung tidak efektif. Sementara itu, langkah fundamental guna menekan kemiskinan dan ketimpangan justru minim dilakukan.

Langkah itu, misalnya, menciptakan lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakat. Di mana-mana, kebijakan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan seharusnya berorientasi pekerjaan, bukan melulu bansos. Kebijakan bansos berisiko membuat masyarakat mudah bergantung kepada pemerintah dan berpotensi membuat kantong negara jebol.

Cek Artikel:  Istana Kesepian

Betul bahwa ada lapangan kerja tercipta, tapi jumlahnya tidak signifikan untuk mengakomodasi angkatan kerja. Akibatnya, target memangkas pengangguran juga meleset. Jokowi berharap mampu menekan angka pengangguran hingga berada di 4% sampai 5% di akhir 2019. Tetapi, realisasinya masih jauh dari harapan. Mengertin ini, atau empat tahun kemudian, tingkat pengangguran terbuka masih 5,45%. Itu belum termasuk mereka yang setengah menganggur atau tiga per empat menganggur.

Sejumlah indikator kemelesetan dari sejumlah target di atas kiranya bisa menjadi bahan utama untuk dievaluasi saat para kandidat capres beradu gagasan. Resep-resep baru yang lebih segar mesti diapungkan. Berbagai perubahan strategi mesti cepat dirumuskan karena rakyat tidak bisa terus-menerus dinina bobokkan rupa-rupa bantuan yang sifatnya jangka pendek dan tidak permanen.

Pesan ekonom Joseph Stiglitz relevan untuk selalu diingat bahwa bernegara seharusnya memberi kesejahteraan bersama (share properity) bukan semakin memperlebar kesenjangan sosial.

Mungkin Anda Menyukai