SETELAH sempat tertahan beberapa jam, aparat penyidik kepolisian kemarin berhasil menggeledah rumah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri di kawasan mewah Jakarta Selatan dan Bekasl. Penggeledahan ini sebagai langkah lanjutan dari penyidikan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Sayangnya, penggeledahan yang dilakukan penyidik selama kurang lebih 4 jam itu sepertinya belum mendapatkan hasil yang optimal.
Beberapa hari sebelumnya aparat Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri memeriksa pensiunan bintang tiga polisi tersebut selama 10 jam di Bareskrim. Pihak kepolisian pun beberapa kali menyatakan bahwa pimpinan KPK yang diperiksa dalam kasus pemerasan ini hanya Firli.
Hal itu seperti mengindikasikan bahwa kepolisian sudah memiliki bukti yang cukup untuk menjadikan Firli sebagai tersangka kasus pemerasan. Dalam kasus ini, SYL melaporkan Firli karena menerima suap Rp1 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk meredam kasus korupsi di Kementerian Pertanian. Sejauh ini Firli membantah menerima uang suap walaupun tak menampik dirinya pernah bertemu dengan SYL.
Sejauh ini publik mengapresiasi langkah yang dilakukan aparat kepolisian dalam menindaklanjuti laporan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Firli tersebut. Pasalnya, selama ini Firli selalu lolos atau terkesan dibiarkan lolos dalam berbagai dugaan tindakan pidana yang dituduhkan kepadanya. Mulai dari perusakan buku merah untuk menghilangkan daftar penerima uang dari perusahaan Basuki Hariman pada 2018 lalu hingga kebocoran dokumen hasil penyelidikan kasus korupsi di Kementerian ESDM pertengahan tahun ini.
Penuntasan kasus pemerasan yang diduga melibatkan Firli tentu begitu ditunggu sebagai momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah. Apalagi sejumlah aktivis masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja KPK pada masa kepemimpinan Firli saat ini sulit diselamatkan.
Bahkan ICW menilai sikap pimpinan KPK saat ini membuat lembaga itu justru terkesan semakin dijauhi masyarakat. Saking frustrasinya dengan perilaku pimpinan KPK ini, peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman pernah menyatakan kinerja KPK baru bisa berubah apabila pimpinannya tidak lagi terpilih pada pemilihan yang akan datang.
Yang semakin miris, selama di bawah kepemimpinan Firli, sejumlah aktivis masyarakat sipil menilai lembaga yang dibentuk pada Desember 2003 ini dijadikan alat untuk membungkam lawan politik. Padahal KPK dibentuk agar bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Kini publik punya sedikit harapan kepada kepolisian untuk bisa membantu memulihkan kembali citra KPK yang sepertinya sulit diperbaiki. Tetapi, tentu hal tersebut bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.
Di samping harus lebih pintar dalam melakukan penyidikan maupun penggeledahan, para penyidik kepolisian harus mempunyai keberanian dalam mengusut tuntas kasus ini. Alasan, selain punya kemampuan yang relatif setara, Firli merupakan mantan Kapolda Sumsel yang notabene senior para penyidik tersebut.
Tanpa mendahului asas praduga tidak bersalah, pemeriksaan terhadap Ketua KPK Firli Bahuri oleh Polda Metro Jaya menurunkan wibawa lembaga antirasuah. Pemeriksaan yang diduga terkait kasus korupsi ini membuat kita miris, sangat miris. Seyogianya Firli mengundurkan diri dari jabatan agar nama baik KPK terjaga. Penyidik Polri pun bisa mengambil langkah-langkah hukum yang efektif pada tingkat penyidikan ini.
Di sisi lain, publik harus memelototi proses pemeriksaan Firli dan terus menagih transparansi pihak kepolisian. Jangan sampai isu pemerasan ini akhirnya hilang tersapu angin. Tak berbekas.