Kekuasaan dan Rasa Cemas

ADA kisah sufi yang masyhur di Timur Tengah. Kisah itu bercerita tentang rasa waswas, rasa cemas, dan rasa takut dari penguasa despotik yang usia kekuasaannya sudah renta, di ujung senja.

Di sebuah negeri, sang penguasa despotik itu menyangka dirinya seorang penyair besar. Ia amat mengagumi syair-syair yang ditulisnya dan dideklamasikan sendiri. Bagi dia, tulisan dan vokalnya itu tiada tanding, tiada banding.

Sang penguasa makin besar kepala karena ia dikelilingi para penjilat yang saban hari memuji-muji syair-syairnya. Adrenalinnya membuncah saban pujian itu mengalir deras. Seperti yang terjadi di suatu waktu, saat sang penguasa mengumpulkan orang-orang demi menyaksikan dan mendengarnya mendeklamasikan syair-syair dari atas podium yang megah.

Seusai pembacaan syair-syair itu, ia menyuruh orang-orang yang hadir untuk menilainya. Maka, puja-puji berhamburan. “Sangat indah, Sepuhnku,” seru mereka bak kor terorkestrasi. “Sepuhn, ini teramat indah. Enggak disangkal, Sepuhn adalah penyair terbesar di negeri ini,” timpal yang lainnya disertai tempik sorak membahana.

Cek Artikel:  Akhir Kiprah Lili

Sang penguasa itu pun semringah. Ia bersiap membacakan syair-syair selanjutnya hingga tatapan matanya tertumbuk pada seorang tua yang diam membatu. “Hei, kau orang tua, mengapa diam saja? Kau tidak bisa mengagumi syair-syairku?” tanya sang penguasa.

Orang tua itu pun menjawab, “Menurut saya, syair-syair yang Sepuhn baca tadi buruk. Sangat buruk. Begitu pula suara Sepuhn saat membacakan syair-syair tadi, sangat buruk. Saya diam karena tidak kunjung bisa menikmati syair dan bacaan Sepuhn terhadap syair itu.”

Di tengah kor ‘sangat bagus’, ada seorang renta usia berani mengatakan sebaliknya, ‘sangat buruk’, tentu ini masalah serius bagi sang penguasa yang tidak mau didebat itu. Orang tua yang berani itu bernama Nasruddin. Di kalangan sufi ia dikenal dengan nama Nasruddin Hoja.

Selain Arang Nawas, peradaban Islam juga mengenal sosok Nasruddin Hoja. Lantaran banyak dikisahkan dengan pelbagai cerita dan anekdot tentang kehidupannya, Nasruddin Hoja dikira tokoh fiksi. Padahal, sebenarnya ia sosok nyata, bahkan punya julukan mullah atau tokoh sufi.

Cek Artikel:  Perlawanan Riang

Dalam kisah penguasa lalim itu, Nasruddin tampil sebagai sosok antagonis yang berani jujur mengkritik sang penguasa. Niscaya, sang penguasa marah. Ia mengusir Nasruddin dan memerintahkan pasukan keamanannya untuk menyeret Nasruddin ke kandang kuda. “Anda harus mendekam di kandang kuda untuk tiga hari sebagai hukuman atas kekurangajaranmu,” tandas sang penguasa.

Sejak saat itu, Nasruddin sadar diri. Ia akan lari ke kandang kuda saban mendengar sang penguasa mendeklamasikan syair-syairnya. Ia terlihat konyol, tapi genius nan teguh pendirian. Ia memilih berada di kandang kuda ketimbang mengubah suara yang bertentangan dengan nuraninya.

Nasruddin mewakili perlawanan rakyat yang tertindas. Ia suara pengingat bagi penguasa yang mulai bernafsu memiliki semuanya sembari cemas kekuasaannya tergerus dan dicampakkan alias tidak dilanjutkan. Penguasa despotik yang cemas akan menggunakan rasa takut untuk menjaga kekuasaannya.

Seperti kata Ignazio Silone, peraih Nobel Sastra asal Italia, yang menyebutkan bahwa penguasa yang cenderung otoriter biasanya berangkat dari rasa cemas terus-menerus. Maka, suara yang berbeda, tindakan yang berbeda, akan selalu tidak menyenangkan baginya. Ketika tidak senang, saat cemas, penguasa otoriter pun akan mengembangbiakkan ketakutan.

Cek Artikel:  Wasit Pemilu Yes Pemain No

Di negeri Nasruddin, rasa cemas sang penguasa itu kian hari makin menggulung. Itu karena tembok-tembok dan pagar-pagar tebal kekuasaan yang ia bangun mulai rontok. Sejak Nasruddin yang diidentifikasi sebagai orang tua yang lemah bersuara berbeda, banyak orang makin percaya bahwa Nasruddin benar adanya. Kepercayaan itu meletupkan keberanian yang juga kian menggunung.

Bunyi yang tadinya sayup-sayup dan senyap mulai berubah menjadi pekikan yang makin membuat sang penguasa tambah cemas. Di sisi lain, pujian demi pujian, jilatan demi jilatan, sudah tidak segegap gempita sebelumnya.

Kini, tiap malam tiba, ketika hendak tidur, sang penguasa dihinggapi rasa cemas bertalu-talu. Sembari menatap langit-langit, berkali-kali ia bergumam, “Oh Nasruddin, kamu memang terlalu….”

Mungkin Anda Menyukai