BANYAK kalangan setuju bahwa bantuan sosial itu seperti candu. Ia akan terus-menerus ditagih penerimanya bila bansos yang dibagikan sebelumnya sudah habis dikonsumsi. Padahal, pemerintah sadar bahwa tidak mungkin membagi bansos setiap saat, saban waktu. Anggaran negara tidak akan cukup untuk membagi bansos setiap waktu.
Saya teringat pernyataan Menko Pemberdayaan Orang dan Kebudayaan Muhadjir Effendi dalam sejumlah kesempatan yang menyebut bansos akan menciptakan ketergantungan. Tiga tahun lalu, misalnya, Muhadjir mengatakan pemerintah berencana mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap berbagai bentuk bansos, khususnya menjelang berakhirnya pandemi covid-19. “Kita melihat kecenderungan ketergantungan terhadap bantuan-bantuan sosial, ini harus kita kurangi,” ujar dia.
Pada kesempatan lain, ketika berbicara tentang penanganan kemiskinan ekstrem, Menko PMK menegaskan kemiskinan ekstrem tidak cukup diatasi dengan diberi bansos. Bansos itu, kata Muhadjir, kalau untuk menangani kemiskinan ekstrem, ibarat balsam. Ia memang menjadi obat semua penyakit, tetapi sebetulnya tidak pernah menyelesaikan penyakit. Balsam hanya menyelesaikan rasa sakit, tetapi tidak menyembuhkan penyakit.
Akan tetapi, ajaibnya, kendati mengakui bahwa bansos itu nyandu, hanya seperti obat gosok, toh pemerintah tetap kecanduan untuk membagi-bagikan bansos. Rasa kecanduan bagi-bagi bansos makin menggila saat musim perhelatan politik tiba. Seperti yang terjadi di bulan-bulan penghujung tahun ini, ketika perhelatan kampanye pemilu legislatif dan pilpres dimulai.
Dengan alasan hendak mengatasi korban El Nino dan menangani menurunnya konsumsi rumah tangga rakyat Indonesia, bansos digeber dalam dua bulan, November dan Desember. Biaya Rp10 triliun lebih siap digerojokkan untuk dibagikan kepada lebih dari 24 juta orang miskin. Juga, bantuan beras 10 kilogram tiap keluarga miskin juga siap didistribusikan.
Demi pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2023 meleset dari target (hanya tumbuh 4,94%, padahal ekspektasinya 5,1%), ketika penurunan angka kemiskinan tidak kunjung signifikan, saat target kemiskinan ekstrem 0% tahun depan masih jauh dari harapan, bansoslah resepnya. Pokoknya, apa pun masalahnya, resepnya bansos.
Banyak analis dan peneliti mengkritik cara-cara pemerintah mengatasi tantangan ekonomi. Mereka menyebut pemerintah tidak kreatif, kecuali mengandalkan bansos yang cuma mengatasi pusing dalam sekelebat. Bahkan, ada yang mengkritik mentang-mentang bansos bisa menjaga tingkat kepuasan publik terhadap Presiden di angka 60% lebih, cara itu dijadikan pola rutin, seperti menu wajib dalam restoran.
Memang begitulah adanya. Saya sepakat dengan suara kritis itu. Sokongan sosial kini memiliki citra negatif bagi sebagian orang. Mereka menganggap rupa-rupa bantuan tunai itu membuat orang malas dan hanya menimbulkan ketergantungan.
Anggapan itu muncul karena pembelanjaan bantuan hanya masuk pada sektor konsumtif. Ketika dana bantuan habis dikonsumsi, rakyat akan kembali mengharap uluran tangan pemerintah. Hal itu terjadi terus-menerus sehingga menciptakan siklus ketergantungan tanpa ada upaya menjadikan orang mandiri.
Saya tidak antibansos. Saya juga tidak menyebut bantuan langsung tunai itu ‘haram’. Lebih-lebih bila bantuan itu untuk 3,2 juta warga yang dibekap kemiskinan ekstrem. Namanya miskin ekstrem, mereka tidak punya makanan untuk dikonsumsi, tidak punya daya untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari, tidak juga punya rumah. Demi mereka, bansos hukumnya wajib.
Tetapi, sebagaimana dinyatakan Menko PMK Muhadjir Effendi, bansos itu tidak bisa menghilangkan kemiskinan, baik yang ekstrem maupun nonekstrem, secara permanen. Butuh lebih dari sekadar balsam untuk mengatasi hal itu. Selain itu, bansos yang digerojokkan secara besar-besaran pada saat kampanye pemilu, sulit untuk tidak dimaknai ‘ada udang di balik batu’.
Bansos mestinya diberikan pada saat-saat tertentu, dalam situasi tertentu, yang tolok ukurnya juga sudah ditentukan. Misalnya, bansos akan dibagikan kepada masyarakat yang paling terkena dampak karena harga beras naik sekian persen dalam dua bulan. Atau, dibagikan kepada kaum miskin ekstrem akibat inflasi tinggi dalam satu kuartal. Seluruh syarat itu harus disampaikan secara terbuka.
Dengan tolok ukur yang jelas, sudah memakai metode tertentu, memenuhi syarat tertentu, dalam waktu tertentu, semuanya jadi menentu. Bukan seperti yang beberapa kali terjadi, bansos dibagi secara ndak tentu, tapi menjadi tentu ketika menjelang pemilu.
Bukankah pemerintah sudah berkali-kali berjanji hanya akan menjadikan bansos sebagai katup pengaman darurat dan sementara? Bahkan, di kampanye Pilpres 2014, Presiden Jokowi menolak cara-cara gampangan membagi BLT. Kalau nyatanya kini dikit-dikit bansos, dikit-dikit bansos, jangan-jangan memang situasi ekonomi kita darurat sepanjang waktu.