Tantangan Rusaknya Kompetensi lewat Pendidikan Spesialis Hospital Based

Tantangan Rusaknya Kompetensi lewat Pendidikan Spesialis Hospital Based
Ilustrasi MI(MI/DUTA)

TUBUH manusia terdiri atas berbagai organ (paru-paru, jantung, ginjal, dan otak) serta sistem (sistem pencernaan, sistem pernapasan, dan sistem sirkulasi darah) yang semuanya bekerja secara terintegrasi dan terkoordinasi satu sama lain. Perubahan warna pada selaput luar mata (sklera) bisa menjadi petunjuk adanya gangguan fungsi hati; gangguan pendengaran bisa jadi petunjuk dosis antibiotika yang berlebih; sedangkan rasa tak nyaman di perut yang terus berulang bisa jadi suatu bentuk serangan epilepsi lobus temporalis.

Kompleksitas serta variasi interaksi antarberbagai organ dan sistem tubuh itu berujung pada timbulnya gejala yang sama akibat dari penyakit yang berbeda atau sebaliknya gejala yang berbeda-beda dari penyakit yang sama. 

 

Baca juga : DPR RI Minta Aturan Turunan Hospital Based Segera Diterbitkan

Mengapa butuh bertahun-tahun untuk menjadi dokter

Luasnya ilmu yang mesti dikuasai, dan perlunya pengalaman menghadapi berbagai macam kasus yang berbeda itulah yang membuat setidaknya perlu enam tahun untuk memiliki kompetensi sebagai dokter dan 4-6 tahun untuk memiliki kompetensi dokter spesialis. Eksisnya keterkaitan yang kompleks antarberbagai organ dan sistem tubuh itu menjadikan tidak mungkin kompetensi calon spesialis mata, misalnya, diperoleh hanya dari belajar atau magang pada para dokter mata, baik spesialis maupun subspesialis. 

Demikian pula dengan calon spesialis bidang apa pun, tidak akan cukup kompetensinya bila hanya belajar keilmuan dan pengalaman dari para guru, baik spesialis maupun subspesialis dari bidang ilmu yang sama. Calon spesialis mata perlu magang di program studi penyakit dalam untuk belajar mengenali macam-macam penyakit yang gejalanya muncul sebagai gangguan pada mata. 

Baca juga : Kesehatan Mental Remaja Isu Terpinggirkan

Seorang wanita tua dengan keluhan kemerahan kedua matanya yang tidak pernah sembuh dengan segala macam obat-obatan antiradang, antibiotika, bahkan antivirus, setelah dikonsul/dirujuk ke program studi bedah saraf, barulah diketahui adanya kebocoran pada cabang kecil pembuluh nadi utama otak yang lewat di belakang bola mata. Bahkan, pasien dengan kelebihan hormon tiroid (gondok) akan datang ke spesialis mata karena kedua bola matanya semakin menonjol.

Cek Artikel:  Kelangkaan Etika

 

Pendidikan spesialis harus komprehensif

Baca juga : Mengejar Rasio Ideal Dokter Spesialis

Langkah Kemenkes, melalui Ditjen Nakes, yang memulai pendidikan dokter spesialis ‘hospital based di beberapa RS vertikal baru-baru ini, memiliki banyak keanehan dan kekurangan, dalam kaitannya dengan proses pemenuhan kompetensi yang dibutuhkan. 

Seluruh ketentuan terkait dengan pendidikan calon dokter spesialis yang begitu kompleks telah secara terperinci dirumuskan dalam berbagai macam standar (standar pendidikan, standar dosen, standar kompetensi, standar pencapaian kompetensi, dan standar praktik profesi) yang dibuat oleh orang-orang yang paling kompeten dalam setiap bidang ilmu, yaitu para guru besar yang tergabung dalam Kolegium.

Seluruh ketentuan dalam standar-standar tersebut di atas, selain memiliki landasan UU 12-2012 tentang Dikti dan PP No 4/2014, juga mengacu pada ketentuan dari World Medical Association (WMA). Calon spesialis anestesi tidak cukup kompetensinya jika hanya belajar membius pasien-pasien kanker, tapi juga harus bisa melakukan bius pada pasien trauma kepala dan trauma tumpul perut. Bahkan, semua kasus penyakit yang perlu pembedahan, termasuk operasi sesar untuk menolong persalinan. Jadi aneh, bahkan bisa jadi sebuah kekonyolan untuk membuka pendidikan spesialis anestesi di sebuah RS kanker yang tidak memiliki program studi.

Baca juga : Kurangi Potensi Stres, Distribusi Dokter Spesialis Perlu Diimbangi dengan Kesejahteraan 

Cek Artikel:  Kanker, PR lelet yang Belum Terselesaikan

 

Krusialnya pelatihan lintas disiplin

Jernih terlihat bahwa kecukupan kompetensi dari setiap bidang spesialis apa pun hanya bisa lengkap dan terpenuhi dengan kehadiran berbagai program studi spesialis lainnya di RS pendidikan yang sama. Tiga hal penting terkait dengan pendidikan dokter spesialis ialah tercapainya kompetensi, terpeliharanya etika profesi, dan terjaminnya keselamatan pasien. Keselamatan pasien tidak boleh dikorbankan atas nama pendidikan untuk pencapaian kompetensi. Itu tidak mudah karena seorang peserta didik tidak mungkin hanya berlatih pada manekin/boneka.

Di sisi lain, pasien yang berobat di RS pendidikan tidak boleh dianggap menyediakan diri untuk dijadikan manusia coba/sarana latihan bagi para calon spesialis. Terkait dengan pentingnya proses pencapaian kompetensi itulah langkah Kemenkes melalui Ditjen Nakes itu, selain konyol, bahkan bisa dibilang membahayakan keselamatan pasien. 

Tak tepat membuka pendidikan spesialis anestesi di RS yang tidak punya program studi bedah, program studi kebidanan, dan program studi kesehatan anak. Begitu pula membuka pendidikan spesialis mata di RS khusus mata, yang tidak punya program studi bedah, bedah saraf, dan penyakit dalam. Kalau dalam pertandingan bola ada istilah setengah kompetisi, pendidikan spesialis ‘hospital based’ atau apa pun namanya, yang diinisiasi Kemenkes dengan mengabaikan proses pencapaian kompetensi itu, bisa dibilang sebagai pendidikan spesialis setengah kompetisi. 

 

Peran Kolegium dalam pendidikan kedokteran

Dari sejarahnya, Kolegium ialah lembaga otonom/mandiri yang dibentuk oleh Perhimpunan Dokter Spesialis dan IDI-lah (dalam Muktamar 2000 di Malang) yang mendorong terbentuknya Majlis Kolegium Topengteran Indonesia (MKKI). Rekam jejak peran profesi dokter dalam menjaga standar layanan profesi itu ialah sejarah yang tidak mungkin dimungkiri oleh Kemenkes, bahkan oleh presiden sekalipun. 

Sebagaimana Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak akan terjadi tanpa adanya berbagai peristiwa sejarah yang mendahului seperti pembentukan PPKI, BPUPKI, termasuk jatuhnya bom atom di Hiroshima. Penolakan Kemenkes atas peran organisasi profesi dokter, dalam hal ini Kolegium, dalam pendidikan dokter spesialis di Indonesia ialah sebuah sikap yang naif, bahkan bisa dibilang dungu karena tidak mengakui sebuah fakta sejarah. 

Cek Artikel:  Kalau Temasek Pandai, Kenapa Kita Bukan

Nyaris semua guru besar kedokteran spesialis dan pakar pendidikan kedokteran klinik mempertanyakan kapasitas para ‘petugas Kemenkes’ (sesuai RPP UU 17-2023, Pasal 732, 733, dan 734) untuk menyusun standar yang paling dasar dalam sebuah pendidikan, yaitu kurikulum pendidikan spesialis. Hanya karena nafsu jahat untuk menegasikan dan mengambil alih peran organisasi profesi, kualitas luaran pendidikan spesialis dikorbankan. 

Model pendidikan spesialis yang baru itu, dengan banyak kekurangannya, dikhawatirkan akan berbahaya bagi pencapaian kompetensi, terpeliharanya etika profesi dan perlindungan keselamatan pasien, tiga unsur terpenting terkait dengan luaran pendidikan spesialis. Betapa mengerikan akibat dan ancaman yang bakal dialami oleh masyarakat penerima layanan kesehatan.

 

Diskriminasi dalam model pendidikan spesialis yang baru

Kemenristek-Dikti dan Kemenkes, keduanya merupakan kepanjangan tangan negara dalam memenuhi kewajiban konstitusi, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila negara berkemauan memperbaiki kekurangan sistem pendidikan spesialis yang sudah ada, ya, silakan hapus SPP/UKT-nya dan berikan gaji kepada para peserta didiknya pada semua institusi penyelenggara pendidikan spesialis. 

Mendirikan ‘model’ pendidikan spesialis yang seolah berbeda (padahal sama-sama dilakukan di RS pendidikan milik negara) karena tanpa ada kewajiban membayar UKT/SPP, bahkan peserta didik bisa digaji, ialah sebuah tindakan diskriminasi yang kasatmata kepada para anak bangsa yang sama-sama rela berkorban menjalani pendidikan.

Mungkin Anda Menyukai