ADA kalimat bijak dari filsuf Tiongkok, Mencius, yang mengatakan bahwa orang tidak bisa hidup tanpa rasa malu. Filsuf konfusianisme itu bilang: rasa malu ialah awal dari integritas.
Tapi, sandaran rasa malu itulah yang hari-hari ini kian miring di negeri ini. Tingkat kemiringannya malah sudah mendekati rebah. Bahkan, sebagian orang meyakini bahwa sandaran rasa malu itu sudah roboh, rata dengan tanah.
Terdapat ketua mahkamah, yang sudah dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat oleh mahkamah kehormatan, tetap melawan sembari menyeru tidak ada secuil pun etika yang ia langgar. Kepada media, ia malah berteriak telah difitnah, sembari mendoakan agar Tuhan mengampuni sang pemfitnah. Enggak ada niatan untuk mundur demi menebus rasa malu.
Perkara yang sama menimpa Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri. Meskipun telah ditetapkan polisi sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, pemimpin lembaga antirasuah itu bergeming dari kursinya. Ia malah melawan.
Kuasa hukumnya, Ian Iskandar, meneguhkan bahwa kliennya siap melawan atas status tersangka pemerasan yang ditabalkan kepolisian. Meski belum disebutkan perlawanan dalam bentuk apa yang akan dilakukan, “Intinya kami akan melakukan perlawanan. Itu saja,” kata Ian.
Bahkan, setelah ditetapkan sebagai tersangka, Firli masih memimpin konferensi pers operasi tangkap tangan di KPK. Ia seperti ingin menunjukkan bahwa taring kekuasaannya tetap lancip dan tajam kendati jadi tersangka pemerasan. Kolega Firli di KPK, Alexander Marwata, ikut membelanya. Ia bahkan menolak malu dan menepis tuntutan permintaan maaf dari berbagai kalangan.
“Apakah kami malu? Saya pribadi tidak (malu). Ini belum terbukti. Prosesnya masih panjang sampai vonis berkekuatan hukum tetap. Kami, KPK, siap memberikan bantuan hukum untuk Pak Firli,” kata Alex di Gedung KPK.
Firli mungkin masih punya secuil rasa malu. Buktinya, seusai diperiksa di Mabes Polri tempo hari, ia bergegas masuk mobil. Sembari merebahkan badan hingga kepalanya ‘menghilang’ dari bidikan kamera media, ia menutupi mukanya dengan tas. Hanya itu. Setelah itu, ia melawan dan terus melawan.
Ia siap mati-matian mempertahankan jabatan. Baginya, kursi Ketua KPK ialah kehormatan yang tidak bisa diusik, meski ia telah ternoda sebagai tersangka. Kiranya, bagi Firli, rasa malu sudah terwakili dengan menutupi wajahnya dari sorot kamera sambil merendahkan kepala.
Ia seolah mewakili kegilaan atas jabatan tanpa kedalaman ilmu, rasa malu, dan ketiadaan kehormatan. Perkawinan prinsip-prinsip itulah yang membuat negeri ini mengalami defisit kemuliaan dan surplus kehinaan.
Seperti yang pernah disampaikan kritikus peraih Nobel asal Irlandia George Bernard Shaw, “Jabatan memberikan kehormatan kepada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior.”
Para pemimpin berlevel medioker dan bermental inferior itu seperti aib bagi bangsa ini. Sebagaimana kata penyair Romawi, Decimus Junius Juvenalis, yang menyebut bahwa, “Aib terbesar ialah ketika kamu lebih mementingkan penghidupan ketimbang harga diri, sedangkan demi penghidupan itu engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan itu sendiri.”
Aib itu bisa kian membesar menenggelamkan prinsip-prinsip dasar moral kepublikan yang hidup di negeri ini. Prinsip rasa malu karena tercemar integritasnya, lama-lama digantikan oleh keberanian dan kenekatan berjibaku memperjuangkan kursi dan jabatan habis-habisan. Hari ini dilakukan oleh beberapa pejabat. Bukan tidak mungkin, esok atau lusa ia berubah menjadi pola.
Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Tetapi, ketika kedudukan itu sudah diraih, mereka tidak sungguh-sungguh memiliki kesadaran bahwa mereka ialah pejabat yang harus bertanggung jawab atas kehormatan mereka. Demi kehormatan mulai rontok, mestinya rasa malu sanggup menyangganya.
Rasa malu, setidaknya telah membuat seorang Rod Blagojevich mundur dari jabatan Gubernur Illinois ketimbang kian kehilangan kehormatan karena dimakzulkan. Di sini, publik yang kian merindukan kedatangan musim semi rasa malu justru disuguhi musim gersang berkepanjangan.