Pendidikan untuk Keselamatan

Pendidikan untuk Keselamatan
(MI/Seno)

MENGISOLASI persoalan pendidikan pada sekadar kesiapan sekolah dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka, demi menambal kebocoran sebuah generasi yang dianggap kurang belajar, merupakan distorsi terhadap kompleksitas fakta-fakta baru saat dunia masih berjuang melawan ancaman covid-19. Kesalahan mengambil kebijakan akibat tidak cermat memahami realitas akan berdampak fatal. Dalam konteks pendidikan, keselamatan individu yang dipertaruhkan. Mendikbud-Ristek, harus memastikan bahwa kebijakan yang keluar dari Senayan mendasarkan diri pada informasi terbaru terkait covid-19.

 

Simalakama pilihan

Dunia pendidikan dihadapkan pada simalakama pilihan yang tidak mudah. Membiarkan diri terlalu lama belajar dari rumah akan berisiko hilangnya pengalaman belajar bila proses pembelajaran dari rumah tidak dipersiapkan dengan baik dan kondisi rumah tidak memberikan daya dukung pembelajaran yang diperlukan.

Sebaliknya, memaksakan diri melakukan pembelajaran tatap muka, meskipun terbatas, di tengah kecamuk varian virus baru covid-19 yang lebih mematikan, justru berpotensi besar akan mengorbankan jiwa-jiwa tunas bangsa, yang menjadi pemilik masa depan negeri ini.

Bila saat ini, di hadapan kita hadir Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dan kita bertanya, prioritas apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak ini, jawab beliau pasti tegas dan jelas, “Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup dan tumbuhnya anak-anak. Eksispun maksudnya, pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Bagi Ki Hadjar, keselamatan anak-anak lebih utama karena inilah tujuan pendidikan. Lebih dari itu, pendidikan yang menuntun hidup dan tumbuhnya anak-anak, jelas sangat terkait dengan bagaimana pendidikan harus memberikan prioritas kesehatan badan (wadag) yang melalui kondisi kodrat ini, manusia dapat berperan sebagai manusia, dan anggota masyarakat dalam mencapai sebuah keselamatan, dan kebahagiaan.

Kehilangan pengalaman belajar, entah karena ketidaksiapan pendidik, tidak meratanya infrastruktur pendukung teknologi digital (listrik, gawai, jaringan internet), dan minimnya akses perangkat digital, tentu persoalan yang mendesak dibereskan. Tetapi, kehilangan pengalaman belajar masih bisa diatasi perlahan-lahan, dengan mempergunakan infrastruktur teknologi, dan melatih kesiapan guru. Meskipun ini merupakan jalan panjang, masih tetap membawa harapan keselamatan seperti dipikirkan Ki Hajar Dewantara. Apalagi, sudah lebih dari setahun ini bapak ibu guru, dan peserta didik belajar apa artinya menjadi pemelajar di era digital, melalui pengalaman belajar dari rumah.

Cek Artikel:  Keterwakilan Perempuan Dikorupsi di Bulan Reformasi

Dalam situasi sulit seperti ini, kita melihat, bahwa berkah muncul di tengah musibah. Bahwa transformasi digital yang mengubah paradigma para guru menjadi semakin cepat, justru karena adanya pandemi covid-19. Ini tentu merupakan kekuatan yang patut diapresiasi, dan menjadi modal kuat untuk menghadapi persoalan pendidikan di masa kini dan masa depan.

Sebaliknya, nekat mengganti kekurangan pengalaman belajar, dengan kebijakan pembelajaran tatap muka terbatas, hasil dari olah pemahaman situasi dan fakta yang terdistorsi, justru akan berisiko hilangnya jiwa-jiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kita justru akan kehilangan talenta-talenta bangsa, akibat keteledoran kita dalam membaca tanda-tanda zaman. Terutama, membaca fenomena mutasi berbagai macam varian covid-19.

 

Tiga distorsi

Distorsi dalam memahami kenyataan akan berdampak pada kualitas pengambilan keputusan dan kebijakan pendidikan. Eksis tiga distorsi dalam keputusan pemberlakuan kebijakan pembelajaran tatap muka terbatas.

Distorsi pertama terjadi karena fakta-fakta vaksinasi guru dikaitkan dengan kewajiban membuka sekolah tatap muka. Hari-hari ini kita melihat bahwa mereka yang sudah divaksinasi dua kali pun masih tetap rentan tertular covid-19. Apa makna semua ini? Vaksinasi, meskipun bisa meredakan penyebaran covid-19 bila kekebalan minimum dalam masyarakat tercapai, ternyata tidak menjadi jaminan. Apalagi, sampai saat ini, status herd immunity di Indonesia belum tercapai. Jadi, mewajibkan satuan pendidikan membuka pembelajaran tatap muka dengan argumentasi bahwa seluruh guru dan tenaga pendidikan sudah divaksinasi, sebenarnya tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat.

Distorsi kedua, pendidikan merupakan sebuah ekosistem yang di dalamnya terkait berbagai macam hubungan interaksi. Karena itu, kesiapan pembelajaran tatap muka tidak dapat sekadar dilihat dari kesiapan satuan pendidikan di dalam memenuhi persyaratan protokol kesehatan, seperti dalam dokumen Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran PAUDDikdasmen di Masa Pandemi Covid-19, melainkan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, terkait situasi penyebaran covid-19 dan berbagai kajian para ahli terkait fenomena hadirnya varian-varian baru yang sedang berkecamuk di tengah masyarakat.

Cek Artikel:  Strategi Menepis Krisis

Sekadar mengandalkan kesiapan sekolah, tanpa mengindahkan kondisi-kondisi terkait, seperti penyebaran varian baru, ketidakdisiplinan masyarakat, longgarnya pengetatan prokes dalam transportasi umum, dan mobilitas warga yang tinggi, tentu sangat membahayakan keselamatan peserta didik, guru, dan keluarga mereka.

Distorsi ketiga, Kemendikbud-Ristek, dengan memberikan kebebasan pada orang tua untuk mengambil keputusan terakhir dalam mengijinkan putra-putri mereka untuk belajar di sekolah, dapat menjadi sebuah preseden buruk bila edukasi publik tentang bahaya pandemi covid-19 belum berjalan dengan baik.

Orangtua bisa saja memilih mengambil keputusan secara emosional karena merasa sulit mendidik anak di rumah, merasa kasihan dengan anak karena ditinggal bekerja, capek dan bosan. Di beberapa tempat, orangtualah yang memaksa sekolah dibuka tanpa memedulikan kondisi penyebaran covid-19 di daerahnya. Sementara itu, ada beberapa sekolah yang tanpa izin, dan tanpa simulasi langsung membuka sekolah, terbukti telah menjadi simpul-simpul penyebaran baru covid-19. Pengambilan keputusan orang tua, bisa jauh dari rasionalitas dan akal sehat.

 

Menghalau kecemasan

Tiga minggu lagi, bila tidak ada perubahan kebijakan, di seluruh Indonesia akan dilakukan pembelajaran tatap muka terbatas, siap atau tidak siap. Situasi ini, tentu menghantui dan mencemaskan para orang tua, dan juga pendidik yang memahami bahwa kondisi covid-19 di Indonesia belum baik-baik saja. Buat itu, ada beberapa rekomendasi yang harus segera dilakukan Kemendikbud-Ristek, agar kecemasan dan harapan orangtua tentang pendidikan anak-anak mereka dapat dijustifikasi secara nalar, yang argumentatif dan rasional.

Pertama, Mendikbud-Ristek tidak boleh mengabaikan perkembangan terbaru varian virus covid-19, seolah-olah perkembangan terbaru ini tidak ada kaitannya dengan persiapan tatap muka terbatas. Kebijakan publik terkait pendidikan harus didasarkan pada pertimbangan matang dan rasional dari para ahli epidemiolog, yang saat ini juga sedang berjuang memahami fenomena berbagai macam mutasi varian virus baru covid-19, terutama varian delta (B1672) yang muncul di India dan sudah terendus penyebarannya di Kudus dan Bangkalan. Pemahaman tentang kondisi terbaru covid-19, harus menjadi dasar dan alasan untuk membuka sekolah tatap muka terbatas atau tidak. Keputusan ini harus cepat disampaikan ke publik.

Cek Artikel:  Momentum Revisi UU ITE

Kedua, untuk mengatasi hilangnya pengalaman belajar yang dialami peserta didik selama menjalani belajar dari rumah, Kemendikbud-Ristek perlu mempergunakan berbagai macam sumber daya yang tersedia, sarana, prasarana, anggaran, untuk membantu mereka yang paling membutuhkan, terutama mereka yang berada di daerah-daerah, yang tidak memungkinkan pembelajaran daring (kebijakan subsidi kuota meskipun membantu, tetapi bagi beberapa peserta didik, dan sekolah tidak bermanfaat karena tidak bisa digunakan).

Kemendikbud-Ristek, sebagai lembaga teknis yang mengelola pendidikan, perlu berkoordinasi dengan kepala daerah untuk memastikan bahwa tidak seorang pun yang tak memiliki akses pendidikan tertinggal di daerahnya.

Ketiga, perlu mobilisasi intelektual nasional. Ini merupakan gagasan yang saya ambil dari Ki Hadjar Dewantara, ketika menggagas mobilisasi intelektual nasional untuk mengadakan wajib belajar. Beliau mengatakan, “Tiap-tiap orang jadi guru, dan tiap-tiap rumah jadi perguruan.” Konsep gotong royong, untuk memobilisasi intelektual nasional dalam rangka mendukung kekosongan pengalaman belajar akibat pandemi covid-19, menjadi ide brilian di tengah terancamnya keselamatan jiwa-jiwa akibat munculnya berbagai macam varian baru covid-19, yang perangai dan ciri-cirinya belum semuanya diketahui.

Tujuan akhir pendidikan ialah untuk keselamatan dan kebahagiaan peserta didik. Keselamatan dan kebahagiaan, terjadi bila kondisi kodrati fisiknya memperoleh perlakuan istimewa, terutama di tengah kecamuk pandemi covid-19 yang belum berakhir. Lagi ada jalan-jalan alternatif, untuk melengkapi defisit pengalaman belajar selama belajar dari rumah. Pilihan kita jelas, pendidikan kita ini mau dibawa kepada keselamatan, atau populisme kebijakan semata, yang berisiko mengorbankan talenta-talenta muda bangsa.

Mungkin Anda Menyukai