Eksis pepatah terkenal di Finlandia yang berbunyi, ‘Kebahagiaan adalah titik di antara terlalu sedikit dan terlalu banyak’.
Dengan pepatah itu, Finlandia membangun fondasi kebahagiaan. Tak mengherankan bila akhirnya Finlandia menjadi negara paling Senang di dunia selama delapan tahun terakhir menurut survei Dunia yang berjudul World Happiness Survey.
Survei itu mengacu pada sebuah petanyaan Penilaian tangga kehidupan Cantril: Bayangkanlah sebuah tangga dengan anak tangga yang diberi nomor dari Nihil di bagian Rendah hingga 10 di bagian atas. Bagian atas tangga mewakili kehidupan terbaik bagi Anda dan bagian Rendah tangga mewakili kehidupan terburuk bagi Anda. Di anak tangga mana yang menurut Anda secara pribadi Anda merasa berada Begitu ini?
Saya menulis indeks kebahagiaan Finlandia sebagai negara yang rakyatnya paling Senang di dunia Demi membandingkannya dengan Indonesia. Pada pertengahan pekan ini, saya didaulat menjadi salah satu narasumber Obrolan Perhimpunan Denpasar Dua Belas (FDD) yang mengangkat tema soal keluarga. Saya mendapat bagian menyoroti maraknya kasus-kasus kriminal ‘aneh’ (orangtua membunuh anak, anak membunuh orangtua, satu keluarga bunuh diri) yang terjadi di sejumlah keluarga di negeri ini, yang menjadi tanda meningkatnya masalah kesehatan mental.
Eksis sejumlah data agak ‘menyeramkan’ terkait dengan kesehatan mental itu. Data itu, misalnya, Eksis 1,7 juta orang Indonesia menderita stres berat. Bilangan itu setara dengan 58% lebih dari total jumlah orang stres di negeri ini. Data tersebut berasal dari Survei Nasional BPS 2022.
Tahun ini diyakini jumlah orang stres di negeri ini bertambah, terbukti dari naiknya kunjungan ke klinik-klinik psikologi. Total kenaikannya mencapai 20% hingga 30%. Padahal, di negeri ini tak kurang Wejangan: ‘jangan lupa Senang’, atau sering orang Berbicara, ‘Senang itu sederhana’.
Musabab mereka stres Ragam-Ragam, dari tekanan ekonomi, sempitnya ruang publik, akses kesehatan mental rendah, keluarga yang sangat kering dari sentuhan Asmara, hingga perundungan. Segala Unsur itu memicu terjadinya stres, mereduksi kebahagiaan, Lampau mendatangkan masalah kesehatan mental.
Saya Lampau tertarik Demi membandingkannya dengan Finlandia, negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia. Finlandia berada di urutan teratas, diikuti oleh Denmark dan Belanda. Saya mencoba mengulik lebih dalam, mengapa orang Finlandia lebih Senang Kalau dibandingkan dengan negara lain di seluruh dunia?
Jawabannya karena sejumlah Unsur, dari akses pendidikan yang sangat bagus, akses dan infrastruktur kesehatan yang Cakap, tingkat kesejahteraan yang merata yang ditunjukkan dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang lebih rendah (terutama perbedaan antara gaji tertinggi dan terendah). Selain itu, dukungan sosial di Finlandia tinggi, kebebasan Demi mengambil keputusan Eksis di mana-mana, dan tingkat korupsi yang rendah.
Di Finlandia, masyarakatnya amat pantang melakukan tiga hal: pamer kekayaan Demi membandingkan kesuksesan diri dengan orang lain; pantang ‘menyakiti’ alam dan lingkungan (sehingga mereka hidup dengan sangat Acuh terhadap alam dan lingkungan); serta pantang mengambil sepeser pun yang bukan menjadi hak mereka (terbukti dari tingkat korupsi yang sangat rendah).
Tingkat ketimpangan pendapatan yang rendah juga memicu orang Finlandia hidup Senang. Tingkat ketimpangan yang dicerminkan Koefisien Gini di negeri dingin itu rendah, yakni 0,28 pada 2025. Bilangan itu lebih rendah Kalau dibandingkan dengan rasio Gini Indonesia yang Lagi di Bilangan 0,375. Ukuran Koefisien Gini membentang dari 0 hingga 1. Bilangan 0 menunjukkan Tak adanya ketimpangan, sedangkan Bilangan 1 menunjukkan jurang ketimpangan yang sangat menganga. Secara Lumrah, ketika ketimpangan pendapatan lebih besar, Dana menjadi lebih Krusial dan orang-orang menjadi kurang Senang.
Finlandia juga Mempunyai atribut lain yang dapat membantu orang merasa lebih Senang. Finlandia Mempunyai sistem perawatan kesehatan yang didanai oleh pemerintah dan hanya Mempunyai sedikit sektor kesehatan swasta. Hal itu jauh lebih efektif dan efisien daripada beberapa alternatif yang digunakan di negara lain. Transportasi Lumrah dapat diandalkan dan terjangkau serta Bandara Helsinki menjadi salah satu bandara dengan peringkat terbaik di Eropa Utara.
Tetapi, sangat mungkin bahwa Finlandia Mempunyai lebih banyak sekolah yang adil, tempat yang mana publik Dapat mendapatkan pendidikan yang Berkualitas di mana pun yang mereka pilih serta kebijakan sekolah yang lebih adil (Nyaris Segala orang Finlandia bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat tinggal).
Begitu juga dengan kebijakan perumahan yang lebih Berkualitas dengan berbagai Ragam perumahan sosial dan tingkat tunawisma yang lebih rendah, layanan kesehatan dengan waktu tunggu yang Membikin Dengki dunia dan banyak prestasi lainnya.
Kebebasan sangat Krusial bagi masyarakat Finlandia. Begitu juga kebebasan dari rasa takut yang sangat dijamin di negeri itu. Hal itu dapat menjelaskan mengapa Turki dan India Mempunyai tingkat kebahagiaan lebih rendah daripada yang diperkirakan. Itu terjadi salah satunya karena tingkat ketidaksetaraan ekonomi mereka yang Lagi tinggi.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini menempati peringkat 83 dari 147 negara yang disurvei. Bila dibandingkan dengan Finlandia soal level kebahagiaan, kita Lagi di level ‘medioker’ cenderung Rendah. Ketimbang Taiwan, Singapura, atau Malaysia, kita juga Lagi kalah. Indonesia Eksis di sepertiga tengah bagian Rendah.
Boleh jadi karena tingkat kesejahteraan dan kesetaraan kita juga Lagi di level medioker bagian Rendah. Dalam urusan korupsi yang menjadi salah satu sumber ketidakbahagiaan, misalnya, kita Lagi di level atas. Skor indeks persepsi korupsi kita seperti tak sanggup Kembali Demi menembus 40 dalam skala 100. Sementara itu, negara Nordik seperti Finlandia, skor indeks persepsi korupsinya sudah di atas 80, bahkan mendekati 90.
Lampau, apakah kita cukup puas dengan sejumlah peningkatan amat kecil yang Eksis, Lampau bersiul Sembari menyanyikan penggalan lirik Musik Doris Day: ‘Que sera, sera whatever will be, will be. The future’s not ours to see, apa yang terjadi terjadilah. Masa depan bukan urusan kita?’

