
RAKYAT Indonesia kembali diguncang Informasi kesehatan memilukan. Dua anak Kerabat beradik di Bengkulu baru-baru ini menderita cacingan parah dan harus menjalani operasi. Bongkahan cacing di tubuh mereka sudah sedemikian besar dan Tak Pandai dikeluarkan secara normal. Sebelumnya, bocah lain, Raya dari Sukabumi, meninggal akibat penyebaran masif cacing di tubuhnya. Cacing keluar dari mulut, hidung, dan bahkan kemaluannya.
Ini mengagetkan. Tak Terdapat yang menduga kasus cacingan serius Lagi mewabah di negeri ini. Dua kasus itu bukan sekadar tragedi medis, tetapi cermin buram Paras pembangunan kesehatan Indonesia. Cacing yang menyebar masif hingga ke organ vital anak-anak itu menunjukkan bahwa masalah kesehatan paling dasar—yang mestinya sudah teratasi di era sekarang—Rupanya Lagi gentayangan.
Idealnya, Mortalitas karena cacingan sudah Tak Terdapat Kembali di era ini. Apalagi di negeri yang mengelu-elukan mengalami peningkatan kesejahteraan pesat. Tetapi, realitas menunjukkan hal berbeda. Penyakit sederhana, yang dapat dicegah dengan obat murah dan upaya sanitasi, Bahkan membawa Mortalitas.
Di sisi lain, Menteri Kesehatan sibuk berbangga dengan pembangunan rumah sakit mewah, pembelian alat-alat medis berteknologi tinggi, dan proyek kesehatan bernilai triliunan rupiah. Terdapat belasan rumah sakit dibangun dengan Biaya fantastis, fasilitas canggih, dan desain gedung mewah seperti hotel bintang lima. Ini paradoks besar. Pembangunan kesehatan sibuk melangit, tetapi lupa membumi.
KESEHATAN DASAR TAK KUNJUNG SELESAI
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa prevalensi cacingan di Indonesia Lagi tinggi, Sekeliling 28%, yang tersebar di 181 kabupaten/kota. Prevalensi tertinggi terjadi pada daerah-daerah ujung, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur. Bilangan 28% ini jauh dari Sasaran Dunia yang ditetapkan WHO: prevalensi soil-transmitted helminthiasis mesti di Rendah 10%. Artinya, hingga kini, negeri ini Lagi gagal mencapai Sasaran WHO Buat masalah kesehatan sederhana tapi substansial yakni cacingan.
Apakah pemerintah Tak melakukan usaha pemberantasan? Mereka melakukan, tetapi Tak serius dan Tak komprehensif. Pemberian obat pencegahan massal (POPM) memang rutin dilakukan dua kali setahun. Intervensi ini secara teoretis dapat menurunkan prevalensi infeksi hingga 60%–70%. Tetapi, tanpa perbaikan sanitasi, ketersediaan air Kudus, dan perubahan perilaku hidup Kudus sehat, infeksi akan kembali terjadi.
Anak-anak yang sudah diobati, dalam hitungan bulan Pandai kembali terinfeksi karena lingkungan yang tercemar tinja atau air yang Tak layak minum. Program yang Terdapat Tak menuntaskan isu yang Terdapat. Akibatnya, prevalensi cacingan tinggi dan akan Maju tinggi. Kasus di Bengkulu dan Sukabumi hanyalah puncak gunung es (the tip of the iceberg). Ia kebetulan viral.
Kalau ditelusuri lebih dalam, jutaan anak Indonesia Lagi hidup dengan tubuh lemah akibat beban cacingan. Efeknya Tak sekadar pada kesehatan fisik, tetapi juga gizi Jelek, gangguan kognitif, dan penurunan produktivitas. Bank Dunia menegaskan bahwa cacingan pada anak Pandai mengurangi kemampuan belajar hingga 20% dan menurunkan potensi pendapatan di masa dewasa.
Ironisnya, cacingan hanyalah satu dari sekian banyak isu kesehatan dasar yang menggelantung tanpa penyelesaian di negeri ini. Banyak penyakit infeksi lain menghantui negeri ini. Filariasis, yang dikenal dengan Predikat kaki gajah, Lagi endemis di 236 kabupaten/kota dengan Sekeliling 10 ribu kasus kronis. Bahkan WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara dengan beban filariasis tertinggi di dunia.
Tuberkulosis (TB) juga menjadi momok tanpa solusi efektif. Indonesia adalah negara dengan beban TB tertinggi kedua di dunia setelah India. Terdapat lebih dari 1 juta kasus TB per tahun, dengan 125 ribu Mortalitas. Artinya, setiap jam 14 orang meninggal akibat TB. Demi bersamaan, kasus-kasus infeksi lain seperti leprosy (kusta) yang Lagi ditemukan ribuan per tahun, hingga dengue fever yang Maju berulang setiap musim hujan.
Semuanya menunjukkan bahwa Indonesia Lagi gagal menyelesaikan masalah-masalah kesehatan klasik. Ironisnya, penyakit-penyakit ini jarang masuk dalam prioritas pembangunan kesehatan. Ia kalah pamor ketimbang program bergengsi seperti pembangunan rumah sakit rujukan bertaraf Global.
Akibat pengabaian masalah kesehatan mendasar, profil dan indikator kesehatan Indonesia menjadi fragile dan terjungkal. Profil kesehatan kita Tak menggembirakan, bahkan pada tingkat ASEAN. Dari berbagai indikator kesehatan yang sering dipakai sebagai standar kemajuan kesehatan, Indonesia menempati urutan keempat terjelek setelah Laos, Myanmar, dan Filipina.
Bilangan Mortalitas bayi di negeri ini Lagi berkisar 16,9 per 1.000 Kelahiran hidup, jauh dari Bilangan serupa di Malaysia (6 per 1.000) atau Thailand (7 per 1.000). Bilangan Mortalitas ibu pada tahun 2021–2022 berkisar 189 per 100.000 Kelahiran hidup. Padahal WHO menargetkan Bilangan itu harus turun di Rendah 70 per 100.000 pada 2030. Artinya, Indonesia Lagi jauh tertinggal.
Usia Asa hidup penduduk Indonesia 71 tahun, 12 tahun lebih rendah daripada Singapura (83 tahun). Demi ini, terdapat 77 juta orang perokok aktif, menjadikan Indonesia peringkat ketiga dunia setelah Tiongkok dan India. Ini juga menjadi penyebab tingginya penyakit kronis seperti kanker paru, jantung koroner, dan strok.
Data-data ini menunjukkan bahwa kesehatan dasar masyarakat Indonesia sangat Renyah. Di Demi negara-negara tetangga sudah mencapai nilai cemerlang Buat indikator-indikator Dunia, kita Lagi tertatih-tatih. Bukan karena Tak Pandai, tetapi karena Tak serius dan salah Konsentrasi. Alih-alih Konsentrasi pada isu hulu ini, Kementerian Kesehatan lebih gandrung berselancar pada isu hilir. Padahal kalau isu hulu ini Tak terselesaikan, penatalaksanaan hilir Tak bermakna.
Kementerian Kesehatan sibuk membangun rumah sakit mewah dan memperbanyak alat cath lab jantung. Tapi apa guna alat ini bila Rupanya lebih seperempat penduduk Lagi merokok? Sebanyak apa pun mereka melakukan tindakan cath lab, kasus jantung akan Maju bermunculan akibat prevalensi merokok yang Tak terkendali dengan Bagus.
GAGAL Konsentrasi
Meski berbagai masalah kesehatan dasar menjerat, Kementerian Kesehatan Bahkan lebih sibuk dengan pembangunan berorientasi pencitraan. Ke mana-mana menterinya sibuk gembar-gembor tentang distribusi fasilitas, sarana, dan alat. Rumah sakit-rumah sakit megah Maju dibangun, lengkap dengan klaim berstandar Global. Bahkan, Terdapat yang digadang-gadang sebagai pusat kesehatan Buat melayani pasien luar negeri.
Tak berhenti di situ, pengadaan alat medis berteknologi tinggi seperti cath lab dan MRI terbaru digencarkan. Nilainya Tak kecil, mencapai puluhan triliun rupiah, dan sebagian besar dibiayai dengan utang. Celakanya, sebagian alat tersebut hingga kini menganggur. Tak dapat dioperasikan. Alasannya Berbagai Ragam: Tak Terdapat tenaga Spesialis yang Pandai mengoperasikan, Tak Terdapat izin operasional, atau Tak Terdapat persetujuan pendanaan dari BPJS.
Fenomena ini bukan hal baru. Laporan BPK beberapa tahun terakhir menyoroti adanya peralatan medis yang mangkrak di rumah sakit daerah. Alat dibeli dengan harga mahal, tetapi Tak memberi manfaat signifikan bagi masyarakat. Pada Demi bersamaan, puskesmas dan fasilitas kesehatan Istimewa yang Semestinya menjadi garda depan pelayanan masyarakat Bahkan kekurangan tenaga, obat, dan sarana dasar.
Ini ironis. Ketika anak-anak Lagi meninggal karena cacingan, pemerintah Bahkan membanggakan investasi alat jutaan dolar yang belum tentu terpakai. Padahal, sebagian besar dananya merupakan utang pinjaman luar negeri maupun skema utang dalam negeri. Nilainya mencapai puluhan triliun rupiah. Masalahnya, utang ini harus dilunasi oleh generasi mendatang, sementara magnitude manfaat langsungnya Tak Jernih.
Pertanyaannya, apakah masuk Pikiran menambah beban fiskal negara hanya demi membangun fasilitas berteknologi tinggi yang Tak menjawab masalah Istimewa kesehatan rakyat? Bukankah lebih bijak Kalau Biaya dialihkan Buat memperbaiki sanitasi, menyediakan air Kudus, memperkuat puskesmas, dan mengurangi Bilangan stunting yang berkisar 19,8%?
MELANGIT, LUPA MEMBUMI
Kebijakan kesehatan Indonesia memang tampak lebih mengejar Martabat ketimbang kebutuhan riil rakyat. Menteri Kesehatan dan jajaran tampak sibuk dengan program-program melangit: rumah sakit Global, proyek genom, hingga alat-alat canggih. Padahal, rakyat di desa-desa Lagi berjuang melawan penyakit klasik: cacingan, diare karena air kotor, atau batuk berdarah akibat TB.
Pertanyaan mendasarnya: Buat siapa pembangunan kesehatan ini sebenarnya? Buat rakyat yang Lagi berjuang agar anaknya Tak cacingan, atau Buat segelintir kalangan yang Pandai menikmati layanan kelas Global? Atau Buat kepentingan pejabat dan oligarki yang mendapat keuntungan atas setiap program atau Biaya yang dikucurkan Buat bidang kesehatan?
Paradoks ini Jernih menunjukkan kegagalan dalam membaca prioritas. Kesehatan publik bukan soal kemewahan, melainkan soal fondasi. Negara yang sehat bukanlah negara dengan gedung rumah sakit menjulang tinggi, melainkan negara yang Pandai memastikan setiap warganya Mempunyai air Kudus, gizi cukup, bebas dari penyakit menular, dan layanan Istimewa yang merata.
Kasus Mortalitas akibat cacingan Semestinya menjadi alarm keras. Ini pengingat bahwa Indonesia belum Betul-Betul menuntaskan masalah kesehatan dasar. Masyarakat butuh intervensi Konkret: sanitasi yang layak, gizi yang memadai, edukasi perilaku hidup sehat, serta penguatan puskesmas sebagai garda terdepan.
Membangun rumah sakit modern memang Krusial, tetapi jangan Tiba melupakan masalah paling mendasar. Jangan Tiba kita sibuk memoles Paras kesehatan dengan kosmetik mahal, sementara tubuhnya Renyah karena penyakit klasik.
Kalau Betul Ingin meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, arah pembangunan harus berubah: dari melangit kembali membumi. Karena kesehatan rakyat bukan ditentukan seberapa mewah rumah sakit yang dibangun serta seberapa banyak alat tersedia, melainkan oleh seberapa kokoh fondasi kesehatan dasar yang dijaga.

