Tutur Antikorupsi Berbasis Budaya dan Spiritualitas

Tutur Antikorupsi Berbasis Budaya dan Spiritualitas
Romo Hendrikus Maku, SVD, Dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur.(dok Pribadi)

DI tengah gelombang kasus korupsi yang Maju menghantui Indonesia, kita seolah kehilangan arah dalam memahami akar persoalan. Korupsi bukan hanya soal hukum yang dilanggar, tetapi soal nilai yang ditinggalkan. Dalam konteks budaya Manggarai, konsep toing, toming, titong agu tatong menawarkan lensa etis yang dalam Demi membaca krisis integritas bangsa.

Maksud Filosofis dari Toing, Toming, Titong, agu Tatong

Toing artinya memberi Petuah. Tindakan menasihati atau memberi petunjuk secara verbal. Dalam budaya Manggarai, toing adalah bentuk kepedulian dan kasih terhadap sesama. Orang Uzur, Abang, atau tokoh adat memberi Petuah sebagai Figur perhatian dan tanggung jawab moral terhadap orang lain. Toing bukan sekadar bicara, tetapi menyampaikan nilai kehidupan agar orang lain menjadi Pandai bertransformasi Demi menjadi lebih Berkualitas.

Toming berarti menjadi teladan atau meniru yang Berkualitas. Toming merujuk pada tindakan memberi Teladan atau menjadi panutan. Dalam proses pendidikan, toming berarti mengajar dengan keteladanan. Anak-anak belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari perilaku Konkret orang dewasa. Toming menekankan pentingnya konsistensi antara ucapan dan tindakan.

Titong dapat diartikan dengan aktivitas menuntun atau mengarahkan. Titong adalah tindakan mengarahkan seseorang menuju kebaikan. Berbeda dari toing yang bersifat verbal, titong melibatkan Rekanan aktif antara yang menuntun dan yang dituntun. Dalam tradisi Manggarai, titong juga Mempunyai dimensi spiritual: Allah (Mori Kraeng) disebut sebagai Penuntun hidup Orang. Maka, titong adalah tindakan luhur yang mencerminkan kasih dan tanggung jawab.

Cek Artikel:  Sinodalitas di Atas Batu Karang Paus Baru, Era Baru, Jalan Serempak

Tatong artinya Serempak-sama menuntun. Kata “agu” berarti “dan”, sedangkan “tatong” adalah bentuk lain dari “titong”, yang berarti menuntun. Ungkapan “agu tatong” sering digunakan Demi menekankan kebersamaan dalam proses mendidik dan membimbing. Ia mencerminkan semangat kolektif dalam membentuk Kepribadian dan nilai kemanusiaan.

Keempat kata ini bukan hanya istilah, tetapi mencerminkan filsafat hidup orang Manggarai: bahwa Orang tumbuh dalam Rekanan, saling memelihara, menasihati, menuntun, dan memberi teladan. Nilai-nilai ini sangat relevan Demi pendidikan Kepribadian dan gerakan sosial, termasuk dalam konteks pemberantasan korupsi dan krisis integritas.

Konsep Toing, Toming, Titong, agu Tatong dan Ikhtiar Melawan Korupsi

Konsep toing, toming, titong, agu tatong bukan sekadar warisan tutur adat, melainkan cermin kebijaksanaan etis yang mengakar dalam budaya Manggarai. Ia mengajarkan bahwa integritas bukan hanya soal Mengerti, tetapi soal keberanian dan keteguhan hati. Toing mengajak kita Demi sadar dan memahami realitas secara jernih. Toming menuntun kita membedakan mana yang Pas dan mana yang menyesatkan. Titong mendorong kita Demi berani bertindak sesuai kebenaran, meski penuh risiko. Dan tatong adalah panggilan Demi tetap Kokoh dalam kejujuran, meski godaan datang bertubi-tubi.

Cek Artikel:  Upaya Penanganan Kemiskinan Ekstrem

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh kompromi, keempat nilai ini menjadi kompas moral yang tak lekang oleh Era. Ia bukan hanya relevan Demi masyarakat adat, tetapi juga Demi pejabat publik, pendidik, pemimpin Keyakinan, dan setiap Anggota negara. Ketika kita hidup dengan toing, toming, titong, dan tatong, maka kita sedang membangun bangsa yang Kagak hanya cerdas, tetapi juga bermartabat.

Keempatnya membentuk satu kesatuan etika yang menuntut Orang Demi Kagak hanya Mengerti, tetapi juga bertindak dan bertahan dalam nilai. Dalam konteks korupsi, banyak pejabat Mengerti bahwa korupsi itu salah (toing), bahkan Pandai membedakan mana yang Pas dan salah (toming), tetapi Kagak berani bertindak jujur (titong), dan apalagi konsisten dalam integritas (tatong).

Korupsi: Ketika Toing Tak Berujung Tatong

Kasus-kasus besar seperti skandal Pertamina, PT Timah, dan kredit fiktif di lembaga keuangan menunjukkan bahwa korupsi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena keberanian moral yang hilang. Para pelaku Mengerti mereka merugikan negara, Mengerti mereka melanggar hukum, tetapi tetap melakukannya. Di sinilah titong dan tatong gagal hadir.

Kita hidup dalam masyarakat yang Mengerti banyak hal, tetapi Kagak cukup berani Demi hidup dalam kebenaran. Pendidikan formal mengajarkan etika, Keyakinan mengajarkan moral, tetapi keduanya belum cukup membentuk Kepribadian yang utuh. Maka, korupsi Maju terjadi, bukan karena kita bodoh, tetapi karena kita lemah secara moral.

Cek Artikel:  Podcast, Komunikasi Politik dalam Kacamata Generasi Muda

Menghidupkan Kembali Etika Lokal dalam Gerakan Antikorupsi

Konsep toing, toming, titong agu tatong Pandai menjadi fondasi gerakan antikorupsi yang berbasis budaya dan spiritualitas. Ia mengajarkan bahwa integritas bukan hanya soal aturan, tetapi soal keberanian Demi hidup Pas, meski Kagak Terkenal. Dalam masyarakat Manggarai, nilai ini diajarkan sejak kecil melalui cerita, ritual, dan Rekanan sosial.

Bayangkan Kalau nilai ini diintegrasikan dalam pendidikan Kepribadian, khotbah Keyakinan, dan kebijakan publik. Kita Kagak hanya membentuk Orang yang Mengerti hukum, tetapi Orang yang berani hidup dalam kebenaran. Korupsi akan menjadi aib, bukan sekadar pelanggaran.

Dari Kearifan Lokal Menuju Gerakan Nasional

Indonesia Kagak kekurangan hukum, tetapi kekurangan keberanian moral. Kita Kagak kekurangan lembaga, tetapi kekurangan keteladanan. Maka, gerakan antikorupsi harus dimulai dari akar: dari nurani, dari budaya, dari spiritualitas.

Konsep toing, toming, titong, agu tatong adalah warisan etis yang Pandai menjadi Terang dalam gelapnya praktik korupsi. Ia mengingatkan kita bahwa Mengerti saja Kagak cukup. Kita harus berani, dan kita harus konsisten. Karena hanya dengan itu, bangsa ini Pandai Pas-Pas merdeka dari korupsi.

 

Mungkin Anda Menyukai