
INDONESIA baru saja mendapat pelajaran mahal tentang bagaimana sebuah niat Bagus Pandai tersesat di lorong kebijakan. Ketika Kejaksaan Akbar pada 4 September 2025 menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi periode 2019–2024 sebagai tersangka perkara pengadaan perangkat berbasis ChromeOS, publik kembali bertanya: apakah triliunan rupiah yang kita keluarkan Betul-Betul berubah menjadi jam belajar bermutu, atau hanya berhenti sebagai Bilangan di lembar kontrak? Pertanyaan ini layak dijawab dengan kepala dingin, data Formal, dan keberpihakan pada murid serta guru.
Segala Bilangan pokoknya Terang. Kejaksaan Akbar dalam ekspos perkara menyebut perkiraan kerugian keuangan negara Sekeliling Rp1,98 triliun seraya menegaskan hitungan final Lagi menunggu proses audit lebih lanjut. Pada konferensi pers pertengahan Juli 2025, pejabat penyidik menerangkan total nilai pengadaan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berbasis Chromebook pada periode 2019–2022 berada di kisaran Rp9,3 triliun, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Alokasi Spesifik pendidikan. Di sisi lain, pernyataan Formal sang menteri pada Juni 2025 mencatat perangkat telah terdistribusi sebanyak 97% ke Sekeliling 77 ribu sekolah pada 2023. Rangkaian data ini mengikat dua fakta: skala belanja sangat besar, dan janji manfaat yang sedianya terasa langsung di kelas.
Tetapi, inti persoalan bukan sekadar Terdapat atau tidaknya pelanggaran hukum. Bagi tata kelola publik, yang lebih menentukan adalah apakah keputusan belanja mengikuti prinsip kompetisi yang adil, analisis biaya seumur hidup kepemilikan atau total cost of ownership, dan pembuktian kemanfaatan belajar. Total cost of ownership bukan istilah manajemen mengawang. Ia mewajibkan pemerintah menghitung seluruh biaya selama masa Mengenakan perangkat, mulai dari harga unit, lisensi, pengelolaan dan keamanan, konektivitas dan kapasitas jaringan, pelatihan tenaga pengajar, layanan purna jual, hingga penggantian.
Di Kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar yang sering kita sebut 3T, Bilangan ini cenderung meningkat karena akses internet tak Kukuh, kebutuhan kunjungan teknisi, dan penyediaan konten luring. Keputusan yang Bagus Sepatutnya menguji dan membandingkan total cost of ownership lintas ekosistem—ChromeOS, Windows, Android—berdasarkan fungsi: mengetik, presentasi, akses konten literasi dan numerasi, kompatibilitas Asesmen Nasional Berbasis Komputer, sensitivitas terhadap kualitas jaringan, ketahanan baterai, dan jam Mengenakan efektif per minggu.
Di titik ini, spesifikasi teknis menjadi ujian integritas. Hukum pengadaan melarang syarat yang mengarah pada merek atau produk tertentu, kecuali dengan justifikasi yang Bukan terbantahkan. Spesifikasi fungsional adalah kuncinya: negara menulis kebutuhan, bukan preferensi merek. Rumusan semisal “perangkat Pandai menjalankan Asesmen Nasional Berbasis Komputer; Mempunyai manajemen perangkat jarak jauh; kompatibel dengan konten pembelajaran; dan sanggup bekerja andal pada konektivitas yang fluktuatif” akan menjaga kompetisi.
Inilah ruh yang semestinya dijaga oleh jabatan fungsional pengadaan barang dan jasa pemerintah serta diawasi secara kuat oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pendampingan dari Jaksa Akbar Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara memang diperlukan Kepada kepatuhan administratif, tetapi ia Bukan boleh berubah menjadi pemberi stempel teknis yang de facto mengunci pasar pada satu ekosistem. Setiap nota pendampingan harus eksplisit non-mengikat, Independen-tekno, dan Bukan menetes menjadi kewajiban terselubung dalam juknis atau persyaratan Anggaran Alokasi Spesifik.
Bagaimana dengan manfaat di kelas? Distribusi 97% patut diapresiasi sebagai kerja logistik. Tetapi kelas bukan Penyimpanan. Di banyak sekolah, terutama pada Kawasan 3T, perangkat yang sangat bergantung pada internet Kukuh akan segera menabrak tembok realitas. Keluhan guru tentang keterbatasan memasang aplikasi pelengkap atau mengelola akun di luar ekosistem Formal adalah alarm Pagi. Tanpa jaminan jaringan, pelatihan yang merata, dan dukungan layanan yang Segera, perangkat akan mengalami demosi fungsi: dari alat pembelajaran harian menjadi sekadar piranti Kepada Asesmen Nasional Berbasis Komputer setahun sekali. Padahal Asesmen Nasional Berbasis Komputer sendiri adalah instrumen Pengkajian sistem—bukan tujuan belajar itu sendiri. Program ini, sesuai penjelasan Formal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, memotret mutu pendidikan melalui tiga instrumen: Asesmen Kompetensi Minimum Kepada literasi membaca dan numerasi, survei Kepribadian, serta survei lingkungan belajar. Bila perangkat hanya hidup pada musim asesmen, kita gagal mengubah teknologi menjadi kebiasaan belajar.
Karena itu, pembenahan ke depan mesti dimulai dari Metode negara menghitung manfaat. Ukuran yang relevan bukan banyaknya unit terkirim, melainkan biaya per jam belajar efektif. Pemerintah Pandai dan harus merancang uji coba multiekosistem minimal dua semester pada klaster sekolah dengan kualitas jaringan berbeda. Indikatornya terang: kenaikan jam Mengenakan mingguan Konkret di kelas, perbaikan tugas dan presentasi siswa, kemudahan guru menyiapkan bahan ajar, dan keberhasilan menjalankan Asesmen Nasional Berbasis Komputer tanpa mengorbankan pembelajaran reguler. Hanya bila ambang efisiensi dan reliabilitas tercapai, Perluasan nasional layak dilanjutkan.
Transparansi adalah fondasi. Publik berhak mengetahui rincian harga satuan, komponen lisensi, biaya logistik, standar layanan purna jual, dan performa pascaterima. Di era belanja elektronik, analitik forensik pengadaan perlu ditingkatkan—mulai dari jejak perubahan Berkas, Rekanan waktu rapat dengan penyusunan spesifikasi, hingga pola transaksi antarpemasok. Lembaga pengawasan seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan perlu dipersenjatai perangkat analisis berbasis data agar Pandai mendeteksi penguncian spesifikasi yang canggih, sementara Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memperkuat aturan interoperabilitas dan portabilitas data agar negara Bukan terkunci pada satu vendor ketika kontrak berakhir. Kontrak teknologi informasi pemerintahan wajib memuat klausul antiketergantungan: standar terbuka, mekanisme keluar yang murah, dan kewajiban pemasok Kepada memastikan data dapat berpindah sistem tanpa biaya berlebihan.
Langkah berikutnya menyentuh prasyarat paling dasar: konektivitas. Membeli perangkat tanpa mengatasi persoalan jaringan adalah seperti membangun bandara tanpa landasan pacu. Pada daerah yang belum siap, strategi luring Istimewa—konten tersimpan, sinkronisasi berkala—harus didahulukan, diiringi peningkatan kapasitas jaringan sekolah secara bertahap. Barulah kemudian pelatihan guru diberikan dalam dosis kecil tetapi berulang, terukur oleh praktik kelas, serta didukung pusat Sokongan yang responsif, bukan Ritual satu kali yang segera dilupakan.
Akhirnya, marilah kita luruskan tujuan. Digitalisasi pendidikan bukan perlombaan belanja tercepat, melainkan ketekunan mengubah anggaran menjadi pengalaman belajar yang Konkret. Negara wajib memastikan Mekanisme adil, biaya seumur hidup terhitung jujur, dan manfaat terukur dengan instrumen Pengkajian yang Benar. Bila itu Segala dijalankan, maka perangkat apa pun—apakah berbasis ChromeOS, Windows, atau Android—sekadar menjadi sarana Kepada sebuah misi yang lebih mulia: literasi yang dalam, numerasi yang kokoh, Kepribadian yang tumbuh, dan kepercayaan publik yang terawat.
Hook yang Sepatutnya menghentak kita sederhana: anak-anak Indonesia Bukan membutuhkan komputer Kepada difoto, mereka membutuhkan perangkat yang menyala setiap jam pelajaran. Ketika kebijakan kembali ke Pikiran sehat—kompetisi yang adil, kontrak yang melindungi pilihan publik, serta pengukuran manfaat yang Bukan Pandai dimanipulasi—barulah kita dapat mengatakan bahwa anggaran pendidikan Betul-Betul bekerja Kepada masa depan republik. (H-4)

