Menjaga Lisan

MENTERI Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memulai tugas sebagai menteri dengan ‘heboh’. Saya agak maklum. Peraih gelar doktor di bidang ilmu ekonomi dari Purdue University, Indiana, Amerika Perkumpulan, itu Lagi baru. Ia Niscaya butuh adaptasi.

Purbaya memang suka ceplas-ceplos. Sebagian orang yang dekat dengannya menyebut bahwa ia memang tipe percaya diri, jarang berbasa-basi, dan agak jarang disorot kamera. Karena itu, ketika ia dimintai tanggapan soal tuntutan 17+8, Purbaya menjawab secara ‘apa adanya’.

Purbaya mengatakan, “Saya belum mempelajari itu, tapi basically begini, itu kan Bunyi sebagian kecil rakyat kita. Kenapa, mungkin sebagian ngerasa keganggu, hidupnya Lagi kurang ya. Once saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6%, itu akan hilang dengan Mekanis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan Nikmat dibandingkan mendemo.”

Pernyataan itu langsung Membangun gaduh. Di jagat medsos, pernyataan itu memantik sejumlah komentar pedas. Eksis yang menilainya nirempati, Angkuh, atau Eksis yang meminta agar ia belajar berkomunikasi ke publik.

Dalam situasi normal, dalam suasana ketika perdebatan dan pernyataan sepedas apa pun dianggap bagian dari demokrasi, pernyataan seperti itu memang tak terlalu dipersoalkan. Atau, bila yang menyampaikan pernyataan seperti itu ialah seorang akademisi, orang ramai memaklumi. Mereka akan bilang tak mengapa.

Cek Artikel:  Rule by Law

Tetapi, dalam kondisi dan hawa politik yang belum sepenuhnya mendingin, jawaban seperti itu dari seorang menteri tentu akan dipergunjingkan. Bahkan, Pandai menjadi spekulasi liar. Orang akan berkomentar negatif. Mungkin pasar Pandai saja merespons negatif Buat sementara.

Ucapan seorang menteri, atau pejabat yang punya otoritas dalam sejumlah hal, akan dianggap sebagai pernyataan yang sesungguhnya. Tak Eksis ruang Buat menyebutnya sebagai ‘hanya bercanda’, ‘Hanya guyon’, ‘sekadar lelucon’, atau ‘gaya saya memang begitu’. Alasan, betapa banyak berhamburan kata yang disampaikan pejabat di mana pun di kolong langit ini yang berujung pada kegaduhan yang Tak perlu.

Beberapa tahun Lewat, misalnya, Ketika Presiden Jokowi menyebutkan ‘saatnya kita berdamai dengan covid-19’ ketika Indonesia dilanda pandemi, sebagian orang punya persepsi berbeda atas ajakan itu. Sebagian orang tak Acuh bahwa maksud pokok dari pernyataan itu ialah agar kita waspada, mengenali, menjaga agar Tak terkena. Sebagian orang mengartikan pucuk pimpinan di negeri ini sudah menyerah dalam perang melawan covid-19.

Cek Artikel:  Memaafkan Korupsi di Desa

Pepatah klise lelet ‘mulutmu harimaumu’ kiranya tak Pandai dientengkan. Kalimat bijak Antik bahwa lidah memang Tak bertulang Lagi relevan adanya. Meski Tak bertulang, lidah dapat menjadi sesuatu paling tajam. Bahkan, tajamnya Mengungguli sebilah pedang. Tak sedikit orang yang mudah terluka karena omongan, karena lisan, atau karena jari-jari yang liar menari di medsos.

Untungnya, Purbaya menyadari itu. Ketika serah terima jabatan menteri keuangan, kemarin, ia meminta Ampun. Ia berjanji memperbaiki ucapan dan pernyataannya. Tetapi, Tak Seluruh ucapannya salah sehingga mesti dihapus Seluruh. Eksis pernyataan Purbaya yang Bahkan mesti diawasi, dibuktikan, Buat nantinya ditagih: Membangun pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%.

Pertumbuhan itu, kata dia, bakal berbanding lurus dengan penyerapan pekerjaan, tersedianya lapangan pekerjaan, kecukupan pangan sehingga publik Tak perlu berdemonstrasi Tengah. Ia bahkan menyebut tiga bulan Tengah Indonesia bakal cerah. Itulah kalimat-kalimat yang Pandai membangkitkan optimisme, tapi tetap mesti dinanti pembuktiannya.

Ketika pengangguran terbuka Lagi lebih dari 7,2 juta orang, ketika mereka yang Tak bekerja penuh (seperempat atau Sebelah menganggur) bertambah dan lebih dari 25,7 juta orang, kala jumlah pekerja informal Lagi lebih dari 74,2 juta orang (57,2%), pernyataan Purbaya itu boleh dicatat tebal-tebal sebagai janji solusi. Janji itu, seperti pidato pertamanya di Kemenkeu, silakan ditagih Ketika sudah mulai dijalankan dalam hitungan bulan.

Cek Artikel:  Vonis Wafat Minus Eksekusi

Seluruh Sasaran dan janji itu membutuhkan gaya berkomunikasi yang setara, Tak mendominasi, Tak Memperhatikan Bunyi publik (walaupun jumlahnya kecil) sebagai sekadar objek. Dalam bahasa Jurgen Habermas, itu Seluruh dirangkum dalam sebuah tindakan komunikatif. Tatanan sosial dan kerja sama antarindividu didasarkan pada pemahaman dan persetujuan Berbarengan, bukan hanya pada kepentingan individu atau alat kekuasaan.

Dalam tindakan komunikatif, peserta berupaya mencapai kesepahaman dengan menggunakan argumen rasional dan berdasarkan empat klaim validitas: kebenaran (truth), ketepatan (rightness), kejujuran (sincerity), dan keterpahaman (comprehensibility).

Jadi, daripada nanti sering-sering meminta Ampun karena ‘keseleo lidah’ atau ‘hanya bercanda’, jagalah lisan. Kata Ali bin Abi Thalib, “Jagalah lidahmu sebagaimana Anda merawat emas dan perak.”

 

Mungkin Anda Menyukai