Demokrasi di Balik Simbol

Demokrasi di Balik Simbol
(Dokpri)

PERAYAAN HUT ke-80 RI menyuguhkan Podium politik yang lebih teatrikal daripada substansial. Ketika Presiden Prabowo Subianto baru membacakan teks Proklamasi dan tokoh lelet memilih absen, muncul pertanyaan mendasar: apakah demokrasi kita Lagi berpijak pada etika, solidaritas, dan semangat pembebasan? Tulisan ini menelusuri dinamika politik Indonesia melalui lensa tiga filsuf Islam: Al-Farabi, Ibn Khaldun, dan Ali Shariati.

Simbolisme kenegaraan dan politik identitas

Upacara HUT ke-80 RI di Istana Negara bukan hanya Ritual, melainkan Podium simbolik yang mencerminkan arah politik nasional. Ketika Presiden Prabowo Subianto membacakan teks Proklamasi Demi pertama kalinya, publik menyaksikan pergeseran simbolik dari era Jokowi ke era Prabowo. Ini bukan hanya soal siapa yang membaca teks, tetapi tentang siapa yang kini memegang kendali narasi kebangsaan.

Ketidakhadiran Megawati Soekarnoputri dalam upacara tersebut memunculkan spekulasi politik internal PDIP. Dalam politik Indonesia, absensi tokoh besar dalam momen kenegaraan sering kali dibaca sebagai bentuk protes Hening, atau penegasan posisi politik. Ini menunjukkan bahwa politik identitas dan loyalitas partai Lagi menjadi elemen dominan dalam demokrasi kita.

Al-Farabi (872-950 M) dalam Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (dicetak dan dipublikasikan pertama kali tahun 1906), membayangkan negara ideal sebagai al-Madinah al-Fadhilah (Kota Esensial). Menurut Al-Farabi, pemimpin adalah sosok yang bijak, filosof, dan Mempunyai tujuan moral Demi membimbing rakyat menuju kebahagiaan sejati. 

Dalam konteks HUT RI ke-80, pembacaan teks Proklamasi oleh Presiden Prabowo Dapat dianalisis sebagai simbol transisi kepemimpinan. Tetapi, menurut Al-Farabi, simbolisme harus diiringi dengan etika kepemimpinan dan visi moral. Ketidakhadiran tokoh seperti Megawati menunjukkan kegagalan elite politik dalam membangun konsensus etis demi kebaikan Serempak (bonum commune). “Negara yang sempurna adalah yang dipimpin oleh seorang filosof, yang mengetahui kebenaran dan Pandai membimbing rakyat menuju kebahagiaan sejati. Kepemimpinan bukan hanya kekuasaan, melainkan tanggung jawab moral Demi menciptakan tatanan yang adil dan berakal.”

Cek Artikel:  Penghancuran Kreatif

Lebih lanjut, Ali Shariati (1933-1977 M) dalam On the Sociology of Islam (1980), menjelaskan Islam bukan hanya sebagai Religi ritual, tetapi sebagai kekuatan pembebasan sosial. Ia mengkritik elite Religi dan politik yang menjadikan Religi sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai sarana emansipasi rakyat. Dalam konteks Indonesia hari ini, di mana Religi sering dijadikan alat mobilisasi politik, Shariati mengingatkan bahwa partisipasi publik harus dibebaskan dari manipulasi simbolik.

Katika mengembangkan gagasan tentang Islam sebagai gerakan pembebasan, Shariati menggabungkan teologi Islam dengan teori perjuangan sosial dan antikolonialisme. Menurutnya, “Tauhid adalah penolakan terhadap Sekalian bentuk tuhan Bajakan, Yakni penindasan, ketidakadilan, dan Pendayagunaan Orang oleh Orang.” Tauhid bagi Shariati, bukan hanya doktrin teologis, tetapi juga prinsip sosial-politik yang menolak segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.

Polarisasi dan fragmentasi elite politik

Pasca pemilu, lanskap politik Indonesia menunjukkan gejala fragmentasi elite. PSI di Dasar Kaesang Pangarep aktif menggelar doa Serempak dan kampanye dukungan terhadap pemerintahan Prabowo, memperlihatkan upaya membangun legitimasi politik baru. Di sisi lain, partai-partai lelet seperti PDIP tampak sedang melakukan konsolidasi internal, mungkin Demi merumuskan ulang strategi oposisi. Fenomena ini menunjukkan, bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami transisi dari politik patronase ke politik performatif, di mana Imej publik dan narasi media menjadi alat Esensial dalam membentuk persepsi politik.

Cek Artikel:  Boikot Israel Sikap Tegas Seniman Dunia Menolak Genosida

Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam Al-Muqaddimah atau Prolegomena (1377), menekankan pentingnya ‘asabiyyah (solidaritas Golongan) dalam membentuk dan mempertahankan kekuasaan. Ia mengkritik siklus kekuasaan yang cenderung korup setelah mencapai puncak kejayaan. Fragmentasi elite politik pasca pemilu dan munculnya partai-partai baru, menunjukkan pergeseran ‘asabiyyah politik. 

Dia berpandangan, bahwa Kalau solidaritas ini Enggak dibangun atas dasar nilai dan visi kebangsaan, maka kekuasaan akan mengalami dekadensi. Baginya, urgensitas dari asabiyyah atau solidaritas adalah hal yang tak terelakkan. Alasan, “asabiyyah adalah kekuatan pendorong Esensial di balik kebangkitan dan kejatuhan peradaban – ketika solidaritas melemah, kekuasaan pun akan runtuh.” Menurut Khaldun, tanpa solidaritas sosial yang kuat, kekuasaan Enggak hanya akan kehilangan imunitasnya, tetapi juga legitimasinya.

Kritik terhadap oligarki dan partisipasi publik

Isu revisi UU Pilkada yang ditolak oleh komika dan aktivis menunjukkan bahwa masyarakat sipil mulai aktif mengawasi proses legislasi. Demonstrasi di depan DPR oleh figur publik menandakan, bahwa ruang partisipasi publik Enggak Kembali terbatas pada aktivis politik, tetapi juga merambah ke dunia seni dan budaya.

Ini adalah sinyal positif bagi demokrasi deliberatif, dimana Bunyi rakyat Enggak hanya hadir dalam bilik Bunyi, tetapi juga dalam ruang publik dan wacana kritis. Dengan merujuk kepada ‘asabiyyah versi Ibn Khaldun, demonstrasi publik menolak revisi UU Pilkada, merupakan bentuk resistensi terhadap kekuasaan yang dianggap mulai menjauh dari solidaritas rakyat. Sementara dalam bacaan Shariati, demonstrasi oleh komika dan aktivis adalah bentuk pembebasan wacana dari Kendali elite, dan bahwa hal itu sejalan dengan semangat Islam sebagai gerakan rakyat.

Cek Artikel:  Festival Handai Indonesia, Merayakan Persahabatan

Edukasi politik dan tantangan literasi demokrasi

Dinamika politik pasca HUT RI ke-80 juga mengungkap tantangan literasi politik masyarakat. Banyak Penduduk belum memahami implikasi dari revisi UU Pilkada, atau absensi tokoh politik dalam acara kenegaraan. Di sinilah pentingnya edukasi politik yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan, bukan hanya retorika partisan. Pendidikan politik dalam hal ini, harus Pandai menjembatani antara simbolisme kenegaraan dan realitas sosial, agar rakyat Enggak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor dalam demokrasi.

HUT ke-80 RI bukan hanya perayaan sejarah, tetapi juga momentum Cerminan tentang kiblat politik bangsa. Apakah kita sedang menuju demokrasi yang lebih inklusif, atau Bahkan kembali ke politik oligarki yang terselubung? Jawabannya tergantung pada sejauh mana rakyat Pandai mengartikulasikan aspirasinya dan elite politik bersedia mendengarkan. Pada titik ini, pemikiran dari ketiga filsuf mendapatkan relevansinya. Simbolisme politik harus diiringi dengan etika dan visi moral (Al-Farabi); solidaritas sosial harus menjadi fondasi kekuasaan, bukan hanya aliansi pragmatis (Ibn Khaldun); dan partisipasi publik harus dibebaskan dari manipulasi elite dan diarahkan pada emansipasi sosial (Shariati).

Akhirul Kalam

HUT ke-80 RI bukan hanya perayaan sejarah, tetapi juga cermin besar bagi demokrasi kita. Al-Farabi mengingatkan, bahwa negara ideal dibangun di atas visi moral dan kepemimpinan bijak. Ibn Khaldun menegaskan pentingnya solidaritas sosial sebagai fondasi kekuasaan. Shariati menyerukan pembebasan rakyat dari manipulasi elite. Kalau demokrasi Mau tetap hidup dan bermakna, ia harus berpijak pada etika, solidaritas, dan emansipasi. Tanpa itu, kita hanya akan Lanjut merayakan kemerdekaan dalam bentuk, tapi kehilangan maknanya dalam praktik.

Mungkin Anda Menyukai