Royalti Keadilan dan Penghargaan atas Kebudayaan

Royalti: Keadilan dan Penghargaan atas Kebudayaan
(MI/Seno`)

MEI 2024, Ari Bias, seorang komposer, produser, sekaligus penulis Tembang asal Sumatra Utara, mengirim somasi kepada Agnez Mo dan penyelenggara acara (HW Group) karena membawakan Tembang Bilang Saja tanpa izin pada konser di tiga kota. Somasi ini disusul dengan melaporkan Agnez Mo ke Bareskrim Polri terkait dugaan pelanggaran hak cipta pada Juni 2024.

Hingga pada September 2024, Ari secara Formal mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pada 30 Januari 2025 pengadilan menyatakan Agnez Mo terbukti melakukan pelanggaran hak cipta. Agnes Lampau mengajukan kasasi ke MA, yang dikabulkan. Dengan adanya putusan kasasi, vonis pengadilan tingkat pertama menjadi batal.

Di tahun sebelumnya, perselisihan juga terjadi antara Ahmad Dhani dan Once Mekel. Dhani melarang Once menyanyikan Tembang-Tembang Dewa 19 di luar konser grup tersebut. Bagi Once, izin cukup dengan mengurus royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Perseteruan ini berujung pada pertemuan di Kemenkum dan HAM hingga akhirnya Once berjanji Buat Kagak membawakan Tembang-Tembang Dewa 19 Tengah.

Setelah itu, muncul ‘perseteruan’ antara Ari Lasso dan Wahana Musik Indonesia (Wami). Ari mempertanyakan pengelolaan royalti yang dilakukan oleh Wami yang menurutnya Kagak transparan dan kurang akuntabel. Baginya, Realita ini Pandai merugikan para musisi dan juga negara karena Terdapat pajak di dalamnya. Menonton Realita tersebut, mantan vokalis band Dewa 19 ini pun kemudian membolehkan Tembang-lagunya Buat dimainkan secara bebas.

Secara kelembagaan, muncul dua Golongan musisi dengan interest yang berbeda. Terdapat Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) yang dipimpin oleh Piyu (Padi Reborn) dan Vibrasi Bunyi Indonesia (Visi) dipimpin oleh Armand Maulana (Gigi). AKSI Mempunyai perhatian lebih pada kesejahteraan penulis/pencipta Tembang, sementara Visi Menyantap bahwa Terdapat yang perlu diperbaiki dari Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Kasus-kasus di atas Pandai disebut sebagai pionir dari polemik mengenai royalti yang kini tengah bergulir di DPR. Karena, setelah itu, kasusnya bergulir seperti bola salju. Di Bali, Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia (LMK Selmi) dan PT Kenalan Bali Sukses (MBS) sebagai pengelola gerai Mie Gacoan di Bali dan Luar Jawa berseteru. LMK Selmi melaporkan MBS ke Polda Bali karena dinilai Kagak membayar royalti atas Tembang-Tembang yang diputar di ratusan gerai restoran mi itu. Untungnya sengketa berakhir dengan damai dengan dicabutnya laporan.

Cek Artikel:  Fatwa MUI dan Living Law Kita

Setelah kasus tersebut, polemik soal royalti Maju bergulir hingga Membangun pengelola restoran, kafe, dan tempat hiburan ketar-ketir. Pasalnya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyatakan bahwa Segala bentuk pemutaran musik Buat kepentingan komersial harus membayar royalti.

Tetapi, belakangan beberapa pencipta Tembang menyatakan menggratiskan Tembang karya mereka Buat diputar di tempat Standar seperti kafe dan restoran. Beberapa musisi yang mengambil jalan ini antara lain Rhoma Irama, Ariel Noah, Charly ST 12, Rian D’Massive, dan Kunto Aji.

Masalah royalti Rupanya Tiba ke sektor lain. Di media sosial Terdapat unggahan dari akun @ekopriianto pada Minggu (17/8/2025). Ia membagikan foto pengumuman Formal dari PO Eka Mira di Sidoarjo yang melarang kru bus memutar musik, khususnya Tembang Indonesia. Perusahaan otobus Sumber Alam yang melayani rute AKAP (antarkota antarprovinsi) dan AKDP (antarkota dalam provinsi) juga mengumumkan hal serupa lewat akun Instagram Formal @sumberalam.id.

Kagak berhenti di situ, Begitu suatu waktu penulis menyempatkan mampir di rest area Ciracas (menuju arah Cibubur) sebuah Realita yang menyentak hati terjadi. Suasananya hening! Kagak Terdapat Bunyi musik dan Tembang di rest area tersebut. Yang Terdapat hanya deru mesin dan Bunyi percakapan dan Lampau-lalang pengunjung. Gara-gara polemik royalti, rest area menjadi seperti kuburan. Mereka takut Buat memutar musik dan Tembang. Musik seolah telah menjadi barang haram bahkan tanpa fatwa haram dari lembaga keagamaan.

 

PETA MASALAH

Merespons polemik yang terjadi, DPR pun mencoba tanggap. Wakil Ketua Sufmi Dasco Ahmad telah meminta komisi terkait Buat menyikapinya dengan Segera. Rabu, 27 Agustus 2025 kemarin, Komisi XIII sudah mengadakan pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan terkait isu royalti Tembang guna menghimpun masalah. Secara Standar, polemik seputar royalti berada pada hal-hal berikut ini.

Pertama, para musisi, utamanya para pencipta Tembang, merasa tersisih dan tak mendapat keadilan di tengah belantara permusikan dan dunia pentas di Tanah Air. Pasalnya, ketika Tembang mereka dinyanyikan, dipentaskan, atau dibawakan oleh berbagai pihak, sang pencipta tak ikut kecipratan rezeki yang didapat atas pementasan tersebut. Ibarat kata, habis manis sepah dibuang. Para pencipta Tembang terlupakan Bahkan di Begitu karya mereka Pandai menyejahterakan pihak lain.

Kedua, para penyanyi atau mereka yang berprofesi dalam dunia tarik Bunyi merasa bahwa keberadaan lembaga penerima royalti sudah cukup Buat menjawab keresahan para komposer atau pencipta Tembang. Tetapi, di sisi yang lain, manajemen dan profesionalitas Lagi menjadi masalah dari lembaga yang telah dibentuk sebagai amanat dari UU No 28 Tahun 2014 yakni LMK/LMKN. UU tersebut sesungguhnya sudah cukup progresif dalam menjawab ketimpangan rezim hak cipta di masa prareformasi. Meski demikian, berbagai cacat dalam implementasi di lapangan Lagi menjadi cerita klise dalam kehidupan administrasi kita. Kasus Ari Lasso dengan Wami menunjukkan Realita tersebut.

Cek Artikel:  Anak-Anak Penggenggam Masa Depan Gemilang

Ketiga, dalam beberapa kasus, praktik pemenuhan royalti yang dilakukan oleh LMK/LMKN Terdapat kesan menjadi seperti lembaga rente baru. Kasus Mie Gacoan Pandai kita ambil Teladan. Dalam Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2021 setidaknya Terdapat 14 kategori ‘layanan publik bersifat komersial’ yang Pandai dikenai royalti ketika mereka memainkan sebuah Tembang dalam aktivitas bisnisnya. Tetapi, pertanyaannya, mengapa pihak-pihak itu dikenai royalti? Dasar pemikirannya seperti apa? Dalam kasus Mie Gacoan, bukankah yang dijual oleh mereka bukanlah musiknya? Mengapa harus kena royalti? Aturan yang Terdapat dalam Pasal 3 ayat 2 PP No 56 ini disinyalir menjadi akar masalah atau pusat kontroversi hingga Membangun beberapa pelaku usaha seperti PO Eka Mira dan Sumber Alam ketakutan Buat memutar Tembang di dalam bus.

Keempat, sengkarut ketiga masalah di atas akhirnya melahirkan sikap-sikap otonom dari beberapa musisi berupa pembebasan atas karya-karya mereka Buat dinyanyikan secara Sekadar-Sekadar oleh khalayak Standar. Tetapi, Realita ini Rupanya malah menjadi polemik baru alih-alih solusi atas masalah yang terjadi. Atas sikap-sikap semacam ini, aturan yang Terdapat pun belum Mempunyai ruang yang memadai Buat menyikapinya.

Kelima, apa yang menjadi polemik Begitu ini berkisar pada kisruh royalti dalam dunia musik Indonesia. Sementara UU Hak Cipta Kagak hanya berbicara tentang karya musik, melainkan juga karya di bidang lainnya. Apakah dengan begitu urusan royalti di bidang lain Kagak Terdapat masalah? Kita belum Mengerti Betul. Yang Niscaya DPR kini sudah membentuk tim perumus yang terdiri dari perwakilan pihak-pihak terkait guna mengobservasi di level mana saja dibutuhkan perbaikan atau di poin mana saja yang diperlu direvisi, Bagus itu di level undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), maupun peraturan menteri (Permen).

Dalam Segala upaya tersebut, Komisi XIII mengajak Segala pihak Buat berpijak pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan penghargaan atas hasil kerja kebudayaan. Dengan berpijak pada prinsip-prinsip yang Terang diharapkan akan Pandai mengatasi setiap masalah terjadi kemudian.

 

PRINSIP-PRINSIP 

Setidaknya Terdapat empat prinsip yang mesti kita bangun Serempak dalam membahas masalah serta berupaya membangun skema royati yang berkeadilan.

Cek Artikel:  Penilaian PPKM Darurat

Prinsip pertama, penghargaan atas cipta karya atau hasil kerja kebudayaan. Apa itu hasil kerja kebudayaan? Adalah hasil olah karya, karsa, serta rasa Orang di berbagai bidang. Dalam hal ini, negara harus memastikan bahwa Terdapat penghargaan atas sebuah karya. Dalam kasus dunia musik Indonesia Begitu ini, posisi ini relevan dengan para pencipta Tembang. Bentuk dari penghargaan ini ialah terbangunnya sistem dan infrastruktur yang memadai agar para komposer mendapatkan hak secara memadai Bagus secara moral maupun ekonomi.

Prinsip kedua, terjadinya keadilan dalam Rekanan dan penghargaan yang diberikan. Dalam hal ini, negara harus membangun skema penghargaan secara berkeadilan. Setiap pihak yang terlibat dan terkait terhadap suatu karya mestilah Mempunyai Bagian hak dan kewajiban masing-masing. Termasuk dalam hal ini ialah akuntabilitas lembaga yang menjadi pihak ketiga dalam Rekanan para pencipta karya dengan para pengguna serta penikmat karya. Kagak hanya itu, dalam konteks ini negara juga harus memastikan adanya mekanisme penyelesaian yang memadai ketika terjadi sengketa di antara mereka.

Prinsip ketiga, hak publik atas hasil kebudayaan. Bagaimanapun, meski suatu karya adalah Punya pribadi (privat), tetapi ia juga Mempunyai dimensi kepublikannya. Dengan demikian, bentuk keadilan yang dibangun Kagak hanya terhadap pihak-pihak yang terkait secara langsung, tetapi juga kehidupan sosial secara Standar. Hal itu Kagak hanya terkait dengan apa yang disebut Ungkapan Budaya Tradisional (EBT), tetapi juga cipta karya secara Standar. Dalam hal ini, istilah ‘layanan publik yang bersifat komersial’ relevan Buat ditelaah kembali, Bagus sebagai istilah maupun terkait pemilahan tentang mana yang Pandai disebut komersial dan mana yang Kagak.

Prinsip keempat, hak pribadi atas karya. Hak ini mengacu pada kasus di mana sebagian musisi membebaskan karyanya Buat diakses oleh khalayak Standar. Dalam konteks ini, bagaimanakah negara mesti menyikapinya? Apakah ia Pandai diberikan keleluasaan penuh mengingat sebuah karya Pandai disebut sebagai propertinya, ataukah ia mesti tetap berada dalam koridor yang telah ditentukan? Revisi atas peraturan yang mestilah mencakup konteks semacam ini demi terpenuhinya kejelasan sikap negara atas sikap warganya.

Setidaknya empat prinsip itulah yang akan menjadi prinsip Esensial dalam pembahasan mengenai hak cipta yang kini tengah bergulir. DPR, dalam hal ini Komisi XIII, Badan Legislasi, serta Badan Keahlian Dewan, akan bekerja secara saksama dan seefektif mungkin dalam upaya memformulasikan rumusan atau skema royalti yang berkeadilan sebagai jaminan dan kepastian hukum dari negara atas hasil cipta karya warganya.

Mungkin Anda Menyukai