Waspada Utang Negara

UTANG sepertinya Lagi akan menjadi salah satu tulang punggung anggaran negara tahun depan. Bahkan, pemerintah berencana menarik utang baru yang relatif jumbo, yakni Rp781,9 triliun. Jumlah itu merupakan yang terbesar dalam kurun empat tahun terakhir.

Dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 disebutkan, utang akan ditarik melalui dua Langkah, Ialah penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman. Penerbitan SBN akan terbagi dua, Ialah penerbitan surat utang negara (SUN) dan surat berharga syariah negara (SBSN)/ sukuk negara.

Sementara itu, pinjaman akan dilakukan melalui dua Langkah juga, yakni pinjaman luar negeri dan dalam negeri. Utang yang direncanakan ditarik Demi menutup defisit anggaran 2026 itu bakal menjadi yang terbesar sejak pandemi covid-19. Pada Demi pandemi 2021, pemerintah menarik utang Rp870,5 triliun.

Kemudian, utang 2022 yang ditarik Rp696 triliun, pada 2023 sebesar Rp404 triliun, dan pada 2024 Rp558,1 triliun. Pada outlook 2025, pemerintah menarik utang Rp715,5 triliun. Lampau, menurut rencana, tahun depan, pemerintah bakal menarik utang lebih jumbo, yakni Rp781,86 triliun (dibulatkan menjadi Rp781,9 triliun).

Berbagai kalangan sudah mengingatkan kian menumpuknya utang negara dalam satu dasawarsa terakhir. Bila Lalu ditumpuk, Terang bakal Membangun anggaran negara sesak napas karena mesti membayar utang Terperosok tempo dan Kembang utang di kemudian hari. Tahun ini, APBN sudah mesti merogoh Anggaran lebih dari Rp1.200 triliun Demi membayar utang yang Terperosok tempo ditambah Kembang. Tahun depan, bahkan mesti membayar lebih dari Rp1.300 triliun Demi pokok utang Terperosok tempo plus Kembang.

Cek Artikel:  Menyelamatkan Kaum Difabel

Karena itu, kita mesti Menyaksikan bagaimana tren penumpukan utang terjadi. Pada akhir 2014, pada akhir pemerintahannya SBY ‘mewariskan’ utang negara Sekeliling Rp2.600 triliun, atau Sekeliling 20% dari produk domestik bruto (PDB), alias seperlima dari total PDB waktu itu. Sepuluh tahun kemudian, pada akhir pemerintahannya, Jokowi ‘mewariskan’ utang lebih dari Rp8.600 triliun, alias Dekat 40% dari PDB, atau 10% menuju separuh total PDB kita.

Pas belaka bahwa jangan hanya Menyaksikan utang negara dari nilainya, tapi lihat juga rasionya terhadap PDB. Undang-undang kita memang memberikan kelonggaran bagi pemerintah Demi ‘menimbun’ utang negara hingga 60% dari PDB. Tetapi, Dekat Segala rezim di negeri ini tak mau menarik utang hingga 60%. Para Ahli memberi batas ‘garis kuning’ bila rasio utang terhadap PDB kita sudah 40%.

Cek Artikel:  Setelah Kemajon Lewat Kemlinthi

Kini, rasio utang negara sudah mendekati garis kuning itu, alias di Bilangan Sekeliling 38%. Meski sejumlah negara yang skala ekonominya mirip-mirip Indonesia Mempunyai rasio utang lebih besar daripada negeri kita, kelangsungan fiskal sejumlah negara itu relatif lebih Dapat diandalkan ketimbang kita.

Thailand, misalnya. Negeri itu Mempunyai rasio utang Sekeliling 60% dari PDB. Tetapi, rasio perpajakan (tax ratio) Thailand yang Sekeliling 16% lebih Dapat diandalkan Demi menopang fiskal Indonesia yang rasio perpajakannya Lagi di Sekeliling 10,7% hingga 11,4%. Amerika Perkumpulan juga Mempunyai rasio utang lebih dari 120% PDB mereka. Tetapi, ‘Negeri Om Sam’ itu Mempunyai rasio perpajakan 16,6%, atau 5,5% lebih tinggi ketimbang Indonesia.

Selain itu, tingkat Kembang utang negara kita yang tinggi berisiko menekan keuangan negara. Rasio Kembang utang negeri ini terhadap pendapatan di Indonesia Sekeliling 20%. Bilangan itu dua kali lipat lebih tinggi Kalau dibandingkan dengan rata-rata negara berpenghasilan menengah ke atas yang hanya Sekeliling 8,5%.

Jadi, meskipun guncangan ekonomi Dunia akibat tekanan yang Membangun negara-negara menumpuk utang sudah mereda, bagi Indonesia tekanan terhadap Kembang utang Lagi serupa badai. Risiko kenaikan Bangsa Kembang Dunia Lagi terbuka lebar. Kalau itu terjadi, biaya utang pemerintah Dapat meningkat akibat naiknya yield surat berharga negara (SBN).

Cek Artikel:  Fadel Muhammad dan Sri Mulyani

Selain itu, kondisi nilai Ganti rupiah Dapat memengaruhi tekanan terhadap fiskal. Dengan tekanan dari potensi capital outflow, rupiah menjadi rentan melemah terhadap fluktuasi Dunia. Itu Dapat berdampak langsung terhadap besarnya kewajiban pembayaran utang.

Belum Kembali Variasi program populis lainnya yang umumnya at all cost tak boleh diganggu dengan Dalih biaya. Karena itu, berapa pun biayanya akan dibayar. Kalau anggaran seret, sangat mungkin pemerintah menarik utang lebih besar Kembali. Itu berisiko menimbulkan tekanan refinancing, yakni utang Terperosok tempo yang harus dibayar atau diterbitkan ulang, biasanya dengan Kembang yang lebih tinggi. Akan Eksis utang di atas utang, Kembang di atas Kembang.

Saya Mau mengunci tulisan ini dengan janji Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bu Sri menggaransi penarikan utang akan dilakukan dengan kehati-hatian. Pemerintah juga lebih memprioritaskan penarikan utang dari dalam negeri. Menkeu menjamin bahwa pemerintah akan tetap ‘Paham batas’ dengan menjaga rasio utang terhadap PDB Enggak menabrak ‘Area waspada’. Rasio utang Indonesia, kata dia, tak pernah berubah dalam tiga tahun terakhir. Jumlahnya 39,96% terhadap PDB Indonesia.

Saya sabar menanti janji hati-hati mengelola utang itu konsisten ditepati. Apakah Anda punya kesabaran serupa?

Mungkin Anda Menyukai