Membangun Platform Fiskal Zakat-Pajak dari Retorika ke Kebijakan

Membangun Platform Fiskal Zakat-Pajak: dari Retorika ke Kebijakan
(MI/Seno)

PERNYATAAN Menteri Keuangan Sri Mulyani Begitu membuka Sarasehan Ekonomi Syariah baru-baru ini kembali menggugah diskursus publik: apakah zakat dan pajak Bisa disetarakan sebagai kewajiban sosial menjadi bagian dari keuangan publik? Bagi sebagian kalangan, ucapannya memantik kritik karena dianggap menyederhanakan hal yang berbeda.

Tetapi, sesungguhnya momentum itu Krusial Buat membuka ruang pembaruan kebijakan fiskal. Indonesia sudah saatnya membangun platform fiskal yang mengintegrasikan zakat dan pajak secara adil, transparan, dan berdampak Konkret.

 

DUA Paras KEWAJIBAN: TEOLOGIS DAN FISKAL

Zakat ialah kewajiban teologis umat Islam dengan distribusi ketat kepada delapan golongan penerima (mustahik). Pajak ialah kewajiban kenegaraan yang berlaku lintas Religi. Keduanya berbeda sumber legitimasi, tetapi di Indonesia keduanya berjalan berdampingan.

Bagi seorang muslim, zakat Bukan Bisa ditawar. Sementara itu, sebagai Kaum negara, pajak juga wajib dibayar. Artinya, Eksis potensi beban ganda. Apabila Bukan Eksis jembatan kebijakan, publik akan merasa zakat dan pajak berjalan dalam dua lorong terpisah, padahal keduanya sama-sama ditujukan Buat kemaslahatan publik.

 

STATUS QUO: DEDUCTIBLE YANG KURANG EFEKTIF

Begitu ini Indonesia menempatkan zakat sebagai tax deductible. Berdasarkan PP No 60 Tahun 2010, zakat yang disetorkan melalui Baznas atau LAZ Formal dapat mengurangi Pendapatan bruto sebelum pajak dihitung. Dengan kata lain, zakat hanya menurunkan dasar pengenaan pajak, bukan langsung memotong pajak terutang.

Konsekuensinya, Akibat zakat terhadap beban pajak sangat bergantung pada tarif. Apabila seorang wajib pajak berada pada tarif 5%, zakat Rp10 juta hanya mengurangi pajak Rp500 ribu. Tetapi, Apabila berada di tarif 30%, dampaknya Rp3 juta. Skema itu terasa Bukan adil secara psikologis karena insentifnya Bukan sebanding dengan zakat yang dibayarkan.

Cek Artikel:  Problematika Dosen Antara Meneliti, Memublikasi, dan Mengadministrasi

Bukan heran Apabila survei Baznas menunjukkan banyak muzaki mengaku tetap merasa ‘bayar dua kali’ meski sudah Eksis pengurang pajak. Inilah yang Membangun Insentif fiskal berbasis zakat terasa kurang menggugah partisipasi.

 

BELAJAR DARI MALAYSIA DAN PAKISTAN

Malaysia memilih pendekatan berbeda. Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN) memberi perlakuan zakat sebagai rebate (tax credit). Artinya, zakat yang dibayarkan langsung mengurangi pajak terutang, ringgit demi ringgit, hingga sebesar kewajiban pajaknya. Apabila seseorang membayar zakat RM5.000 dan pajaknya RM6.000, pajaknya tinggal RM1.000.

Pakistan lebih konservatif. Mereka tetap menempatkan zakat sebagai deductible meski Eksis beberapa kombinasi Insentif Buat donasi tertentu. Beberapa negara Timur Tengah bahkan memasukkan zakat sebagai substitusi pajak bagi muslim meski model ini Bukan relevan dengan sistem fiskal Indonesia yang plural.

Pelajarannya Terang: desain fiskal zakat-pajak ialah pilihan politik dan teknokratis. Negara Bisa memilih model kredit Buat mendorong kepatuhan zakat atau tetap di jalur deductible dengan risiko Insentif yang kurang kuat.

 

POTENSI ZAKAT: BESAR, TAPI TERTINGGAL

Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi zakat terbesar di dunia. Laporan Baznas dan Bank Dunia memperkirakan potensi zakat nasional mencapai Rp327-Rp350 triliun per tahun. Tetapi, realisasi jauh di Dasar itu. Pada 2024, total penghimpunan zakat, infak, sedekah, dan Biaya sosial keagamaan lain baru mencapai Sekeliling Rp26 triliun atau kurang dari 8% dari potensinya.

Padahal, kontribusi zakat terhadap pengentasan kemiskinan sangat signifikan. Data Baznas menunjukkan lebih dari 60% penerima manfaat zakat ialah rumah tangga miskin dan program zakat produktif berhasil meningkatkan pendapatan mustahik rata-rata 30%-40% dalam setahun. Dengan kata lain, Apabila potensi zakat Pas-Pas tergarap, ia Bisa menjadi akselerator serius Buat menekan Nomor kemiskinan ekstrem yang per Maret 2025 Tetap tercatat 9,36% penduduk (Sekeliling 25 juta orang).

Cek Artikel:  Menemukan kembali Momentum The Magpies

Di sisi lain, penerimaan pajak Tetap menjadi tulang punggung APBN. Pada 2024, pajak menyumbang lebih dari Rp1.900 triliun atau 78% dari pendapatan negara. Artinya, integrasi zakat dengan pajak Bukan boleh merusak basis penerimaan, tapi Malah harus memperkuat legitimasi fiskal negara di mata publik.

 

TAX CREDIT VS TAX DEDUCTIBLE: PILIHAN STRATEGIS

Perdebatan ini tampak teknis, tapi dampaknya strategis.

– Tax deductible: zakat mengurangi Pendapatan kena pajak. Akibat ke pajak Bukan langsung dan terasa kecil bagi tarif rendah. 

– Tax credit: zakat langsung mengurangi pajak terutang, rupiah demi rupiah. Insentifnya Terang, mudah dipahami, dan lebih adil bagi muzaki.

 

Tetapi, tax credit berarti biaya fiskal negara meningkat. Apabila zakat Rp50 triliun diakui sebagai kredit penuh, potensi penerimaan pajak berkurang Rp50 triliun. Karena itu, solusi tengah ialah kredit terbatas: misalnya diberi plafon maksimal 10%-15% dari pajak terutang atau hanya berlaku pada Golongan wajib pajak tertentu sebagai pilot project.

 

MERANCANG PLATFORM FISKAL

Apabila Indonesia serius membangun platform fiskal zakat-pajak, Eksis tiga fondasi Esensial. Pertama, regulasi. Ubah aturan agar Terang apakah zakat tetap deductible atau beralih ke kredit. Apabila kredit, perlakukan sumbangan wajib Religi lain setara agar Bukan diskriminatif.

Kedua, data dan teknologi. Integrasikan sistem DJP dengan Baznas/LAZ melalui API. Setiap setoran zakat Mekanis tercatat di SPT sehingga mengurangi risiko ganda dan memudahkan audit.

Cek Artikel:  Mudik Kenyamanan Publik, Langkah Presisi Kapolri

Ketiga, Insentif bertahap. Mulai dengan ASN, BUMN, hingga segmen UMKM. Pengkajian Akibat sosial dan fiskalnya, Lampau kembangkan bertahap. Dengan tiga langkah itu, zakat dan pajak Bukan Tengah berjalan terpisah, tetapi bersinergi dalam satu ekosistem fiskal yang kuat.

Risiko dan jalan keluar. Tiga risiko besar menanti:

1. Kepatuhan. Tanpa integrasi digital, bukti zakat rawan dipalsukan.

2. Kebocoran fiskal. Tax credit Bisa mengurangi penerimaan signifikan. Karena itu, perlu plafon, audit ketat, dan sunset clause.

3. Keadilan. Skema harus inklusif, memberi perlakuan setara Buat sumbangan keagamaan wajib Religi lain. Risiko ini Konkret, tapi Bisa dikelola dengan regulasi Terang, sistem digital modern, dan Pengkajian periodik.

 

PENUTUP: DARI RETORIKA KE KEBIJAKAN

Selama ini, isu zakat dan pajak kerap berhenti pada retorika. Potensi zakat ratusan triliun, tetapi realisasi hanya puluhan triliun. Insentif fiskal Eksis, tapi kurang efektif. Padahal zakat Bisa menjadi instrumen Krusial dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan, terutama pengentasan kemiskinan dan penguatan jaring pengaman sosial.

Tax credit bukan sekadar Insentif. Ia Bisa menjadi simbol keberanian negara memberi ruang lebih besar bagi instrumen keuangan syariah Buat menopang fiskal nasional. Indonesia Bukan harus menyalin Malaysia sepenuhnya, tapi Bisa merancang model hybrid yang sesuai dengan kebutuhan dan struktur ekonominya.

Momentum pernyataan Menkeu jangan dibiarkan lewat. Saatnya beranjak dari wacana menuju kebijakan Konkret. Dari retorika ke aksi. Dari deductible ke arah kredit yang terukur. Dengan itu, zakat Bukan hanya menjadi ibadah personal, tapi juga instrumen kolektif yang memperkuat keadilan sosial dan legitimasi fiskal negara.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

 

Mungkin Anda Menyukai