BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer. Bisikan itu menyebutkan Terdapat pengaruh orang kuat di balik peradilan kasus korupsi Hasto Kristiyanto dan Thomas Trikasih Lembong.
Saking santernya bisikan itu Tamat-Tamat publik menerimanya sebagai kebenaran. Seakan-akan Betul Terdapat pengaruh orang kuat di balik vonis 3,5 tahun penjara Buat Hasto dan 4 tahun 6 bulan penjara Buat Tom Lembong.
Dampak bisikan itu ialah publik meragukan argumentasi majelis hakim yang dipakai Buat memvonis Hasto dan Tom. Disebutkan Terdapat kesenjangan menganga antara argumentasi yang dibangun dan vonis yang dijatuhkan.
Keraguan publik muncul karena terlalu banyak perkara di negeri ini dibiarkan menggantung karena kemandulan solusi dan keberanian. Pada titik itulah muncul solusi dan keberanian yang dimiliki Presiden Prabowo Subianto. Presiden memberikan solusi amnesti Buat Hasto dan abolisi bagi Tom. Penghapusan hukuman dan tuntutan keduanya memancarkan keberaniannya.
Solusi dan keberanian Prabowo serta-merta menepis bisik-bisik dialah orang kuatnya. Telunjuk pun mengarah kepada sosok yang dipercayai Tetap Mempunyai sisa-sisa kekuatan meski sudah lengser keprabon.
Entahlah siapa orang kuat itu dan Bukan Krusial-Krusial amat Buat mengetahuinya. Satu yang Niscaya bahwa keterlibatan orang kuat memantik dugaan adanya intervensi politik atas kasus hukum. Politisasi hukum.
Intervensi politik menjadi tema sentral kegelisan para akademisi yang mengajukan diri sebagai amicus curie, sahabat pengadilan, Hasto. Para akademisi khawatir terkait dengan kemungkinan penuntutan yang bermotif politik dan pentingnya menjaga independensi peradilan dari tekanan politik.
Peradilan Hasto dan Tom membenarkan teori Otto Kirchheim tentang politisasi hukum. Ia menjelaskan aktor politik memanfaatkan sistem hukum Buat memperkuat kekuasaan dan mengejar kepentingan politik tertentu, sering kali dengan mengorbankan independensi hukum itu sendiri.
Hasto dan Tom hari-hari ini menghirup udara bebas. Bukan mustahil Tetap banyak ‘Hasto’ dan ‘Tom’ yang lain kini mendekam di bui. Mereka Bukan Mempunyai keistimewaan seperti Hasto dan Tom Buat diberi amnesti dan abolisi.
Amnesti Hasto dan abolisi Tom mesti dijadikan momentum Buat membenahi secara total dunia peradilan. Jangan sekali-kali membiarkan hukum menjadi alat balas dendam politik. Perbedaan pilihan politik bukan Argumen Buat mengkriminalisasi Rival.
Presiden terpilih pertama Argentina pascatumbangnya rezim militer, Raul Alfonsin, menulis, ‘Pada akhirnya hukuman hanyalah sebuah instrumen dan bukan alat satu-satunya dan yang terpenting Buat membentuk sebuah Bunyi hati kolektif’.
Bunyi hati kolektif bangsa ini ialah hukum menghadirkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Tatkala hukum di ruang sidang pengadilan dijadikan alat politik, instrumen hak prerogatif presiden Dapat digunakan. Hak prerogatif itu ialah amnesti dan abolisi. Lainnya grasi dan rehabilitasi.
Meski menjadi hak prerogatif, tidaklah elok bila presiden mengobral amnesti dan abolisi. Daya magis hak prerogatif Dapat meluntur Apabila diobral terlalu murah, sedikit-sedikit memberikan amnesti dan abolisi Lamban-Lamban menjadi bukit.
Tiba saatnya Buat mencarikan solusi terkait dengan kepastian hukum kewenangan prerogatif presiden. Solusi ideal ialah segera membentuk undang-undang terkait dengan amnesti dan abolisi. Pemberian amnesti dan abolisi selama ini mengacu kepada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Padahal, UU yang diteken Presiden Sukarno pada 27 Desember 1954 itu hakikatnya bersifat sekali Mengenakan.
Disebut sekali Mengenakan karena Pasal 2 UU 11/1954 menyebutkan amnesti dan abolisi diberikan kepada Segala orang yang sebelum 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang Konkret akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.
Sejauh ini, UU 11/1954 dipakai sebagai acuan yang berkaitan dengan akibat hukum pemberian amnesti dan abolisi. Pasal 4 menyebutkan, dengan pemberian amnesti, Segala akibat hukum pidana dihapuskan. Dengan pemberian abolisi, penuntutan ditiadakan. Setelah itu hingga kini amnesti dan abolisi ditetapkan melalui keputusan presiden, bukan undang-undang.
Kiranya amnesti dan abolisi dengan persetujuan DPR, juga grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Akbar, perlu diatur secara berkepastian hukum di dalam undang-undang. Pemerintah dan DPR sudah menyepakati pembentukan undang-undang grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi (GAAR) masuk prolegnas jangka menengah.
“Momentumnya (Mempunyai UU GAAR) pas Buat kita lakukan. Presiden memberikan saran agar mungkin setiap tahun dengan selektif akan memberikan amnesti Buat kasus-kasus tertentu,” kata Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pada 17 Desember 2024.
UU GAAR hendaknya mengatur secara terperinci tata Langkah permohonan dan penyelesaian permohonan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi agar tercipta kepastian dan keadilan hukum. Pengaturan itu demi transparansi dan menghindari tudingan hanya orang-orang dekat presiden yang diampuni.
Amnesti menjadi amnesia Apabila Bukan segera dibahas pembentukan undang-undang amnesti dan abolisi, juga pembenahan secara total dunia peradilan. Amnesti tanpa amnesia bila pembebasan Hasto dan Tom dijadikan momentum perbaikan bangsa.

