Herd-Covidiotity

Herd-Covidiotity
(MI/Seno)

TIDAK mudah mengendalikan pandemi kali ini. Determinannya terlalu kompleks. Makanya, meski telah bergulat lebih dari 18 bulan dengan pandemi, belum ada negara yang benar-benar didaulat sukses menanggulangi pandemi. India pernah mengklaim berhasil. Tetapi, beberapa bulan setelah mengumumkan victory claim di forum internasional, gelombang kedua menerpa negeri tersebut. Mereka kelabakan dan nyaris kolaps. Untung selamat. Akhirnya, sekarang pemerintahnya amat berhati-hati mengeluarkan statement.

Salah satu determinan negatif pandemi ialah penolakan realitas pandemi. Segolongan masyarakat tidak percaya covid (baca: covid-19) dengan segala embel-embelnya. Mereka menolak pemeriksaan PCR, diagnosis covid, pengobatan, dan vaksinasi. Bagi mereka, semua itu akal-akalan. Sebagian lagi menganggap pandemi merupakan konspirasi dan taktik megabisnis. Pandemi tidak lebih dari halusinasi dan ilusi. Karena pemikiran ini, mereka pun enggan menggunakan masker, menentang program pembatasan pergerakan, dan menolak vaksinasi.

Dalam berbagai sumber, penolak realitas ini digelari covidiot. Istilah ini terdiri atas kata covid dan idiot. Mendengar kata idiot, orang bisa saja tersinggung. Kata ini dianggap menghina. Memang kata idiot awalnya digunakan dalam psikiatri untuk menggambarkan gangguan intelektual. Tetapi, dalam perkembangannya, terminologi ini meluas. Kini, istilah idiot juga digunakan untuk menggambarkan orang yang tidak paham, tidak mengerti atau melakukan hal-hal tidak tepat. Dekat semua kamus yang ada, termasuk Merriam-WebsterCambridge, dan Collin, menggunakan narasi di atas saat menjelaskan terminologi idiot.

Hal yang penting ialah istilah covidiot tentu saja tidak bisa diterjemahkan secara parsial berdasarkan pecahan kata covid dan idiot. Maksudnya menjadi tidak tepat dan blunder. Dibutuhkan terjemahan lebih komprehensif. Macmillan Dictionary merujuk covidiot sebagai orang atau golongan yang tidak mengacuhkan, menolak, atau menentang prinsip dan pesan kesehatan terkait covid. Manifestasi covidiot banyak: gemar menyebarkan berita hoaks, menolak prokes, marah ketika diminta menggunakan masker atau menjaga jarak, ngotot kumpul-kumpul, serta menentang program penanganan pandemi.

Dalam konteks lebih jauh, mereka mengembangkan sikap antisains. Meski sains telah membuktikan eksistensi covid terlihat pada mikroskop elektron, mereka tetap menolak. Atau ratusan juta orang telah terinfeksi dan jutaan meninggal karena covid, tetap mereka menganggap covid tidak ada. Terdapat negasi terhadap fakta dan sains. Bahkan, menuduh sains telah dimanipulasi.

 

Penyebab multifaktor

Pemicu muncul dan berkembangnya covidiot amat kompleks. Secara sederhana, terdiri atas tiga faktor. Pertama, multitude of pandemic effects. Pandemi dan penatalaksanaannya mengusik semua ruang kehidupan manusia. Mengganggu dan membatasi manusia mencari rezeki, bersosialisasi, beribadah, beraktivitas, berolahraga, hingga mencari pengobatan. Dinamika manusia tereduksi dan terestriksi.

Cek Artikel:  Booster Vaksin, Persinggungan Nasionalisme dan Universalisme

Ini sangat tidak mengenakkan dan mengganggu. Akhirnya, lebih mudah bagi manusia mengambil posisi tidak mengacuhkan covid dan menjadi covidiot. Semakin terestriksi manusia, semakin kuat penolakan terhadap covid. Makanya, orang dengan tingkat sosial ekonomi rendah lebih rentan menjadi covidiot. Mereka harus keluar rumah mencari hidup, apa pun risikonya.

Di Amerika, 78% penduduk dengan sosial ekonomi tinggi bersedia divaksin, sedangkan pada penduduk dengan sosial ekonomi rendah tingkat kesediaannya hanya 39%-54%. Pada orang dengan sosial ekonomi tinggi, covid dan penatalaksanaannya tidak mereduksi dan merestriksi hidup mereka secara signifikan. Tanpa keluar rumah pun mereka tetap bisa makan, beraktivitas, dan berolahraga karena duitnya tersedia dan rumahnya luas.

Kedua, pandemic fatigue. Setelah lebih 1,5 tahun didera pandemi, manusia tiba pada ambang toleransi psikologis. Mereka lelah dengan isu pandemi dan penatalaksanaannya. Enggak sedikit orang yang awalnya patuh terhadap prokes kini memilih tidak mengindahkan penatalaksanaan ini. Berbulan-bulan menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, serta terekspos berita menakutkan terkait penambahan kasus dan kematian membuat manusia tiba pada fase penolakan (denial). Sikap ini senada dengan kisah anak yang selalu di-bully, yang pada akhirnya mengambil sikap berani melawan pem-bully-nya.

Ketiga, post-truth syndrome. Ini merupakan era yang mana banyak orang percaya sesuatu yang tampak benar padahal tidak benar sama sekali. Pemicunya bisa bermacam-macam. Salah satunya akibat Google minded. Dengan tersedianya Google, orang tiba-tiba merasa menjadi pandai dalam segala hal. Dengan membaca beberapa halaman Google, mereka merasa telah menjadi ahli dan mampu bicara apa saja. Dengan modal bacaan Google beberapa hari, mereka menantang ahli yang telah berkecimpung puluhan tahun di bidangnya.

Elemen lain ialah akibat comfort zone (ruang nyaman). Masyarakat mudah percaya sesuatu yang praktis, taktis, mudah dilakukan, dan tidak mengusik ruang hidup mereka. Maka itu, jangan heran jika masyarakat lebih senang percaya manfaat bawang putih atau minyak kayu putih daripada manfaat vaksin. Argumennya, bawang putih merupakan bahan yang dikenal, murah, dan mudah didapat bagi mereka. Mereka juga lebih senang mendengar bahwa covid ialah penyakit flu biasa dan tidak berbahaya. Karena inilah membuat mereka tenang. Ini membuat mereka tetap berada pada comfort zone mereka.

Selain itu, memang ada sekelompok orang memiliki kepentingan terkait penyebaran berita dan paham tidak benar. Motifnya politik, bisnis, atau adanya anomali psikologis, seperti post-power syndrome. Terdapat yang ingin terkenal, ingin memperoleh jabatan, ingin barangnya laku. Terdapat pula yang senang menjadi nonconformist atau bertentangan norma sosial. Media pun punya interest; mereka senang hal kontroversi karena itu menyangkut rating tayangan.

Cek Artikel:  Hizbut Tahrir, Mimpi Negara Fasis

 

Pengaruh multidimensi

Covidiot sangat berdampak terhadap perjalanan pandemi. Pada tingkat kognisi, covidiot menggerus pemahaman rasional masyarakat dan menjerumuskan mereka ke dalam dunia informasi keliru. Terjadilah retardasi pemahaman dan pengetahuan covid. Ini mudah terjadi karena masyarakat tidak memiliki pengetahuan memadai tentang evidence-base medicine yang merupakan kerangka berpikir ilmiah, terstruktur, dan sistematis yang berlaku dalam dunia kesehatan.

Evidence base medicine mencakup struktur berpikir dan hierarki pengambilan keputusan klinik, penilaian hasil berbagai uji klinik, telaah kritis bukti klinis, dan sebagainya. Evidence base ialah pilar utama pengetahuan medis. Kalau tidak memahami evidence base, orang akan terjebak dalam struktur berpikir yang tidak dapat diterima dalam dunia kesehatan.

Sulitnya, evidence base tidak bisa dipelajari dalam waktu singkat karena komponennya meliputi pemahaman ilmu kesehatan dan sains. Orang yang tidak paham evidence base akan mudah digiring ke dalam opini keliru yang berujung pada timbulnya kekeliruan pemahaman, persepsi, dan kepercayaan. Retardasi pemahaman dan pengetahuan ini menular lewat banyak cara, terutama media sosial. Terjadilah retardasi pemahaman komunal. Jumlah orang yang keliru paham pun meningkat. Kondisi ini mendukung timbulnya herd covidiotity atau covidiot berkelompok.

Pengaruh selanjutnya pada tingkat tindakan (action). Orang yang kemasukan paham keliru tidak berhenti hanya sampai pada tahap kognitif. Mereka akan mengimplementasikan pemahaman keliru ke dalam tindakan keliru. Bila pada tahap kognitif mereka percaya covid ialah akal-akalan, di tahap action, mereka tidak akan berobat walau sakit, menolak pemeriksaan dan perawatan, serta menolak vaksin.

Studi pada 27 negara menunjukkan bahwa akibat informasi keliru tentang vaksin, satu dari empat orang tidak bersedia divaksin. Tindakan keliru ini ditularkan kepada keluarga dan masyarakat. Makin banyak orang melakukan tindakan keliru. Bentuk action lain ialah timbulnya kebencian terhadap pelaksana program covid, terutama tenaga kesehatan. Mereka dicurigai, dimarahi, di-bully, dan difitnah. Akhirnya, tenaga kesehatan down dan mengurangi aktivitas mereka. Ujung-ujungnya, terjadilah peningkatan angka-angka kasus positif, kesakitan, dan kematian. Ini akibat herd covidiotity.

Tahap akhir yang dipengaruhi ialah distorsi penatalaksanaan pandemi pada level komunitas. Herd covidiotity mendegradasi upaya pencegahan, pengobatan, dan penatalaksanaan pandemi. Reproduction number covid meningkat dan cakupan vaksinasi rendah. Terjadi peningkatan transmisi. Orang tertular dan meninggal dalam periode singkat. Penggunaan obat dan tindakan irasional marak. Ujung-ujungnya, muncul gelombang tambahan pandemi. Bukan hanya gelombang kedua, melainkan juga gelombang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Cek Artikel:  Tiga Mengertin Kemaritiman Jokowi-JK

Dalam kondisi belum tercapainya kekebalan komunitas dan munculnya gelombang tambahan pandemi, kemungkinan timbulnya varian baru menjadi sangat terbuka. Varian baru sudah terjadi di negara yang pernah mengalami chaos pandemi, seperti Inggris, Afrika Selatan, dan Brazil. Bukan tidak mungkin varian baru berbahaya juga muncul dari Indonesia.

 

Memancing varian baru? 

Covidiot itu ada yang bersifat total dan parsial. Yang terbanyak tipe parsial. Ini merupakan tipe setengah hati. Di satu sisi, mereka membantah prinsip-prinsip covid, tapi pada saat yang sama, mereka menerima dana bantuan covid, menggunakan masker, melakukan vaksinasi, dan takut berhadapan dengan penderita covid. Sementara itu, tipe total ialah penolak secara kognisi dan secara action.

Bagus tipe total maupun parsial, sifat covidiot bisa tough dan fragile. Yang tough, sifatnya keras dan menganggap dirinya tahu segala-galanya. Hanya pendapatnya yang benar, di luar dari itu salah. Mereka seolah-olah paham semua jenis ilmu dari kedokteran hingga virologi. Sedemikian tough mereka sehingga berani membantah orang ahli sekalipun. Aneh, tapi nyata.

Sementara itu, tipe fragile lebih terbuka menerima masukan. Mereka dapat melakukan perubahan sepanjang disuguhkan pemahaman benar yang dapat mereka terima. Berdasarkan kesediaan menerima vaksin, Daniel Salmon, Direktur Vaksin John Hopkins University, membagi populasi atas tiga kategoi: 50% orang siap sukarela divaksin, 40% masih ragu-ragu (wait and see), dan 10% yang menolak mentah-mentah. Yang 10% ini sangat sulit diubah dengan pendekatan apa pun. Mereka tidak mengubah pandangannya.

Covidiot ini memang berpotensi mengganggu penatalaksanaan pandemi apalagi bila jumlahnya besar dan menjadi herd covidiotity. Pendekatan terhadap covidiot tergantung jenisnya. Covidiot parsial dan fragile mesti didekati dengan pendekatan rasional, ilmiah, dan tepat. Bukan pendekatan hukuman apalagi kekerasan. Itu karena dasarnya mereka kurang memahami atau belum memperoleh informasi tepat terkait covid. Pemberian informasi benar dan rasional harus diberikan dengan pendekatan tepat.

Sementara itu, bagi covidiot total dan tough, harus dihadapi lebih serius. Bila perlu, dengan pendekatan hukuman. Argumennya, tipe covidiot seperti ini sangat gencar membodohi masyarakat serta melawan peraturan penatalaksanaan pandemi. Mereka bahkan mem-bully dan melakukan aksi fisik terhadap orang yang tidak bersesuaian dengan prinsipnya.

Pemberian hukuman perlu dilakukan agar menimbulkan efek jera dan menjadi preseden bagi orang lain. Bila dibiarkan terus melakukan aksinya, covidiot jenis demikian menjadi kontributor bagi timbulnya gelombang tambahan pandemi. Bahkan dapat menjadi salah satu faktor pemicu munculnya varian-varian baru yang lebih berbahaya di negeri ini.

Mungkin Anda Menyukai