Negara Jangan Berat Sebelah

PESTA demokrasi pemilihan umum (pemilu) presiden yang diikuti tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program. Menjadi ajang kandidasi kepemimpinan yang mencerahkan, bukan memuramkan iklim demokrasi.

Tragedi Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan karpet merah terhadap putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, jelas-jelas telah mengkhianati proses demokrasi di negeri ini, telah membuat sejumlah elemen demokrasi kecewa, bahkan marah.

Pemilu yang seharusnya sebagai sarana kompetisi yang sehat dan membahagiakan telah tercederai dan malah menjadi ajang pesta demokrasi lima tahunan yang menakutkan dan menyeramkan. Hal itu disebabkan kekuasaan menggunakan semua kewenangan mereka untuk memastikan kemenangan, bahkan sebelum pemilu dimulai.

Rakyat tentu berharap aksi culas semacam itu tidak lagi diduplikasi pada tahapan-tahapan pemilu berikutnya. Terutama para kandidat diharapkan bersaing secara sehat, bertarung bersama-sama dengan cara yang lebih mengedepankan keadaban.

Cek Artikel:  Penyesalan Menteri Basuki

Jangan sampai hanya karena nafsu berkuasa ingin jadi capres-cawapres, lantas menghalalkan segala cara dengan kampanye hitam, hoaks, dan ujaran kebencian. Hal itu hanya akan merusak konsolidasi demokrasi dan merugikan rakyat secara keseluruhan.

Malah yang harus dilakukan ialah mendidik rakyat agar menghargai perbedaan pilihan politik. Agar tidak ada lagi polarisasi bahwa pilihan politik bukanlah alasan untuk saling mencemooh, bermusuhan, apalagi sampai menimbulkan perpecahan.

Yang justru harus rakyat lawan ialah ketidakadilan, upaya-upaya untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri. Rakyat harus bersatu untuk mengawal jalannya pesta demokrasi yang berlangsung jujur dan adil, tanpa campur tangan siapa pun, tanpa cawe-cawe tangan kekuasaan.

Pemerintah seolah gagal menciptakan iklim kompetisi politik yang sehat, tidak mampu untuk menyediakan level of playing field yang sama. Yang terjadi justru terlihat berat sebelah, sejumlah temuan justru mengungkap alat negara ikut membantu salah satu paslon.

Cek Artikel:  Menjaga Bunyi dari Kecurangan

Buat itulah, harapan rakyat bertumpu pada penyelenggara pemilu untuk menegakkan hukum. Terutama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk bertindak cepat bila ada sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, bertentangan dengan netralitas, dan nilai-nilai peradaban demokrasi.

Apalagi, pasangan calon telah ditetapkan, tidak ada lagi alasan bagi Bawaslu untuk lepas tangan ketika ada pelanggaran seperti selama ini dengan berlindung pada klausul belum adanya penetapan paslon. Jangan sampai Komisi Pemilihan Lumrah (KPU) dan Bawaslu membiarkan semua krisis demokrasi terjadi dan seolah-olah diam membisu.

Kalau itu yang terjadi, publik akan menjadi semakin tidak punya harapan sehingga potensial mencari saluran keadilan lainnya dengan turun ke jalan. Mari cegah itu terjadi.

Cek Artikel:  Segera Lindungi Anak Kita

KPU secara resmi menetapkan capres-cawapres yang akan berlaga dalam Pilpres 2024, yaitu pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, serta Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Semoga penetapan itu menjadi tekad penyelenggara pemilu untuk menjaga profesionalisme, integritas, dan independensi mereka demi terciptanya pemilu yang berkualitas.

Tetapi, tekad penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) akan sia-sia jika pemerintah pakai ‘kacamata kuda’ memenangkan pasangan Prabowo-Gibran yang dianggap penerus sejati kepemimpinan Jokowi.

Mungkin Anda Menyukai