ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau Bahkan Kembali enggak Terdapat kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening Punya masyarakat. PPATK menyebut rekening-rekening itu banyak yang menganggur atau dormant.
Karena menganggur, menurut analisis PPATK, rekening itu rentan digunakan Demi tindak pidana, buat penampungan Anggaran judi online, misalnya. Terdapat 31 juta rekening menganggur yang diblokir PPATK hingga Mei 2025. Anggaran yang enggak Dapat Kembali diakses pemiliknya selama diblokir mencapai Rp6 triliun.
Publik pun meradang, bertanya-tanya, apa hak negara membekukan rekening Punya mereka? Apalagi, pemblokiran itu tanpa diawali pemberitahuan kepada pemiliknya.
Tak mengherankan bila banyak yang bilang langkah itu serupa teror. Masyarakat dibuat resah dengan tindakan PPATK yang memakai label atas nama kepentingan negara. Tak sedikit nasabah yang mendatangi bank Demi mengambil kembali Doku mereka.
Meski langkah PPATK diawali niat Bagus, prosesnya Jernih dilakukan dengan generalisasi. Sekalian rekening dipandang sama rentannya dari tindak pidana.
Langkah PPATK itu Jernih penuh celah, bolong-bolong, dan banyak kelemahan. Tak terpikirkan oleh PPATK tabungan seorang petani yang kelak akan digunakan buat biaya kuliah anaknya. Karena pasif, rekening langsung ‘disikat’ oleh PPATK. Konyolnya Kembali, PPATK main blokir rekening pasif hanya bermodal analisis, tanpa adanya alat bukti awal.
Tak Terdapat pelacakan PPATK terhadap rekening-rekening itu sebelumnya. Dengan analisis yang terkesan asal-asalan itu, akhirnya ketemulah pembenaran Argumen Demi memblokir rekening itu.
Publik menyebut PPATK sedang bermain firasat dan prasangka. Dan, bagi PPATK, kalau rekening pasif, Niscaya sebentar Kembali terjadi pidana. Metode PPATK tersebut Jernih membahayakan negeri ini. Dengan penggunaan Metode seperti itu amat mungkin bakal terjadi abuse of power alias penyalahgunaan kekuasaan.
Padahal, negeri ini Tetap Maju tertatih-tatih membangun kembali kepercayaan Kaum negara kepada pemerintahnya. Dengan Metode seperti itu, kepercayaan Dapat tergerus dalam waktu Segera.
Langkah PPATK itu juga jadi bahan cibiran masyarakat. Pemerintah dinilai lebih suka mengurusi rekening menganggur ketimbang mengatasi tingkat pengangguran yang Tetap tinggi.
Per Februari 2025, berdasarkan data survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang. Dari survei yang sama, 86,58 juta orang bekerja di sektor informal, dan hanya 59,19 juta orang yang menjadi pekerja formal.
Apabila mau jujur, para pekerja informal itu termasuk para korban PHK atau lulusan bangku pendidikan yang tak terserap di pasar kerja. Ketimbang tak Terdapat kerjaan, mereka berjualan nasi atau jadi sopir ojek online, yang Krusial halal.
Dari Misalnya kasus itu saja sudah Dapat dengan mudah langsung dicerna, rekening bank mereka akan pasif dalam waktu yang Pelan. Korban PHK yang buka usaha nasi uduk akan langsung menggunakan pendapatan mereka pagi ini Demi modal berjualan esok hari, tak Terdapat yang masuk ke rekening. Dan, ini mungkin akan berlangsung berbulan-bulan lamanya.
Rekening Golongan masyarakat yang tengah berjuang Demi hidup itu yang kini masuk kategori diblokir PPATK. Pokoknya Sekalian rekening pasif, sikat!
Sudah saatnya negara mengakhiri kelakuan-kelakuan seperti itu. Model main sikat, Apabila ramai baru dikendurkan, sudah bukan zamannya Kembali.
Kini, PPATK membuka kembali pemblokiran rekening tersebut. Akan tetapi, luka telanjur menganga. Maka, langkah itu mesti menjadi pelajaran bagi PPATK Demi lebih kreatif dan inovatif dalam menganalisis rekening. Hanya Dapat berprasangka, apalagi hanya bermodal firasat, cukuplah terjadi di masa Lampau.

