Liputanindo.id OPINI – Pada 5 April 2023, bertepatan dengan bulan Ramadan (bulan suci umat Islam), pihak keamanan Israel menyerang Kawasan Masjid Al-Aqsa beserta orang-orang sipil Palestina, termasuk wanita dan anak-anak yang sedang beribadah di dalamnya. Serangan tersebut setidaknya menimbulkan 31 korban luka-luka. Sebelum terjadinya serangan, pihak otoritas Israel memberikan aturan pelarangan untuk melakukan I’tikaf selama bulan Ramadan, kecuali pada 10 malam terakhirnya. Tetapi, orang-orang Palestina menolak aturan tersebut dan tetap melaksanakan I’tikaf.
Baca Juga:
Kebijakan Penonaktivan NIK Anggota Jakarta: ‘Kagak baik Jenis Cermin Dibelah’
Oleh karena adanya aturan tersebut, maka pihak keamanan Israel, sekitar pukul 10 malam, mengusir orang-orang yang masih beribadah di pelataran Masjid Al-Aqsa. Di waktu yang bersamaan, puluhan orang yang sedang ibadah lainnya mengunci diri di masjid Al-Qibli (salah satu masjid di Kawasan Masjid Al-Aqsa) sehingga pihak keamanan Israel merangsek masuk untuk mengusir orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya. Hal tersebut menjadi justifikasi pihak keamanan Israel untuk melakukan serangan di Kawasan Masjid Al-Aqsa.
Serangan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata, seperti granat kejut (stun grenades), gas air mata, dan senjata dengan peluru karet. Serangan juga dilakukan dengan kekerasan yang melibatkan pemakaian pentungan dan popor senapan. Serangan Israel terhadap Kawasan Masjid Al-Aqsa di bulan Ramadan bukan kali pertama terjadi. Israel pernah melakukan serangan serupa ke Masjid Al-Aqsa pada Ramadan 2021 dan 2022.
Pada dasarnya, hukum internasional telah menjamin hak setiap orang atas kebebasan beragama (freedom of religion), termasuk bebas menyatakannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menaatinya. Hal tersebut diatur secara jelas pada Pasal 18 Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan bahwa:
Everyone has the right to freedom of … religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.
Definisinya, larangan otoritas Israel untuk tidak melakukan I’tikaf tersebut sejak awal telah bertentangan dengan ketentuan hukum internasional dan telah mencederai hak setiap manusia, yaitu kebebasan beragama.
Terkait serangan Israel terhadap Kawasan Masjid Al-Aqsa, serangan tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan hukum humaniter internasional. Dua hal yang menjadi persoalan utama mengapa serangan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa bertentangan dengan ketentuan hukum humaniter internasional sebagai berikut:
1. Israel menyerang orang-orang sipil.
Penduduk sipil dan orang-orang sipil dilindungi dari segala bentuk serangan. Pasal 51 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977 untuk Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa:
The civilian population as such, as well as individual civilians, shall not be the object of attack. Acts or threats of violence the primary purpose of which is to spread terror among the civilian population are prohibited.
Definisinya, pihak sipil, baik secara individu maupun penduduk sipil, tidak boleh menjadi sasaran serangan. Embargo juga meluas, yaitu termasuk dilarang melakukan tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menimbulkan teror di antara para penduduk sipil.
Faktanya, pihak keamanan Israel merangsek masuk ke Kawasan Masjid Al-Aqsa ketika orang-orang sipil, termasuk wanita dan anak-anak, belum selesai melaksanakan ibadahnya. Kemudian, para sipil tersebut diserang dengan menggunakan berbagai macam senjata, termasuk dengan kekerasan sehingga menimbulkan korban luka-luka. Definisinya, ketentuan individual civilians, shall not be the object of attack tidak dipatuhi oleh pihak keamanan Israel. Berdasarkan hal tersebut, maka Israel telah melanggar ketentuan Pasal 51 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977 untuk Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan orang-orang sipil.
2. Israel menyerang tempat peribadatan.
Pasal 53 Protokol Tambahan I 1977 untuk Konvensi Jenewa 1949 yang menyatakan bahwa:
…it is prohibited: a) to commit any acts of hostility directed against the historic monuments, works of art or places of worship which constitute the cultural or spiritual heritage of peoples.
Pasal tersebut secara khusus melarang para pihak yang bersengketa melakukan segala bentuk tindakan permusuhan yang ditujukan terhadap tempat peribadatan yang merupakan warisan spiritual suatu bangsa.
UNESCO menetapkan Yerusalem serta perbatasannya (the Old City of Jerusalem and its Walls), termasuk di dalamnya Masjid Al Aqsa, sebagai situs keagamaan warisan dunia. Masjid Al-Aqsa merupakan salah satu situs suci/sakral bagi bangsa Palestina yang terletak di Al-Quds (Yerusalem), Palestina yang sarat akan histori dan makna spiritual. Masjid Al-Aqsa adalah tempat ibadah yang disakralkan oleh umat muslim setelah Mekkah dan Madinah serta merupakan kiblat pertama, bukan hanya untuk umat muslim Palestina, tetapi juga muslim seluruh dunia.
Berdasarkan hal tersebut, Masjid Al-Aqsa adalah tempat ibadah yang termasuk dalam kategori places of worship which constitute spiritual heritage of peoples yang dimaksud pada Pasal 53 tersebut. Maka dari itu, serangan yang dilakukan oleh pihak keamanan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa pada 5 April 2023 telah melanggar ketentuan Pasal 53 Protokol Tambahan I 1977 untuk Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan bagi obyek budaya dan tempat peribadatan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka tindakan permusuhan yang dilakukan oleh pihak keamanan Israel terhadap Kawasan Masjid Al-Aqsa dan orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya telah bertentangan dengan hukum humaniter internasional. Dengan kata lain, Israel telah melanggar ketentuan hukum humaniter internasional. Pelanggaran yang dilakukan termasuk ke dalam kategori pelanggaran berat apabila merujuk pada Pasal 85 Protokol Tambahan I 1977 untuk Konvensi Jenewa 1949.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya masyarakat internasional mengecam tindakan yang dilakukan oleh Israel tersebut. Juga, sudah sepatutnya masyarakat internasional mendorong organisasi internasional, khususnya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk melakukan tindakan setingkat lebih konkrit terhadap Israel, yaitu pemberian sanksi atas tindakannya menyerang kawasan Masjid Al-Aqsa, serta orang-orang sipil yang sedang beribadah di dalamnya, yang tidak hanya dilakukan sekali ini saja.
Penulis: R. Ayu Haristy Almosuz (Pemerhati Hukum, Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman)
Definisikel penulis tidak mewakili pandangan dari caritau.com
Baca Juga:
Serangan Israel di Gaza dan Natal yang Suram di Kota Natalis Yesus