Pendidikan Tinggi dan Penguatan Soft Skills Tantangan Relevansi dan Kesiapan Kerja

PADA 124 tahun yang Lewat, tepatnya pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan kebijakan politik etis Belanda Buat rakyat kolonialnya. Kebijakan yang dikenal sebagai Trias Van Deventer itu Mempunyai tiga program: irigasi (membangun sarana pengairan), emigrasi (mendorong perpindahan penduduk/transmigrasi), dan edukasi.

Sejarah mencatat, dari tiga program itu, edukasi membawa Pengaruh paling signifikan bagi lahirnya Negara Indonesia. Di kala itu, program edukasi sejatinya dimaksudkan Buat mencetak tenaga-tenaga terampil yang akan membantu jalannya administrasi pemerintahan Hindia Belanda.

Tetapi, tinta sejarah menorehkan cerita yang berbeda. Edukasi Tak saja sukses menjadi instrumen mobilitas sosial dengan meningkatkan derajat rakyat Indonesia Ketika itu, tapi juga memicu kesadaran akan semangat kemerdekaan. Kaum muda terpelajar terbukti menjadi aktor Esensial misi kemerdekaan Indonesia.

Satu abad berlalu, peran pendidikan, terutama pendidikan tinggi, dan isu mobilitas sosial itu menjadi semakin Krusial Buat dicermati, terutama di tengah ancaman fenomena middle income trap bagi perekonomian Indonesia. Terdapat banyak bukti yang mengungkap Kaitan pendidikan tinggi dengan mobilitas sosial. Salah satunya riset yang dijalankan Institute for Fiscal Studies (IFS) Berbarengan Sutton Trust.

Riset itu menarik karena melacak jejak mahasiswa yang masuk ke berbagai perguruan tinggi di Inggris pada periode 2004-2006, lulus kuliah 2007-2009, kemudian dihitung pendapatan mereka Ketika memasuki usia 30-an pada 2015-2019. Hasilnya menunjukkan pelajar yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah Mempunyai Kesempatan 4 kali lipat lebih tinggi Buat mencapai mobilitas sosial menjadi keluarga berpendapatan lebih tinggi Apabila masuk ke perguruan tinggi, apabila dibandingkan dengan pelajar dari Golongan sama yang Tak masuk ke perguruan tinggi.

Cek Artikel:  Makan Bergizi Gratis, From Farm to Plate

 

FENOMENA SARJANA PENGANGGURAN

Di Indonesia, optimalisasi perguruan tinggi sebagai tangga kemakmuran atau eskalator mobilitas sosial menghadapi dua tantangan Esensial. Tantangan pertama, akses. Tak dapat dimungkiri, Tak Segala pelajar di Indonesia Mempunyai akses yang setara Buat menapaki tangga pendidikan tinggi. Ketimpangan ekonomi, geografis, dan kultural Tetap menjadi penghalang Esensial. Dalam konteks itu, beasiswa yang inklusif menjadi kunci Buat membuka Kesempatan yang lebih luas.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menunjukkan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah Mempunyai akses yang lebih kecil ke pendidikan tinggi dan bahkan ketika mereka berhasil masuk, mereka menghadapi tantangan dalam Bertanding dengan rekan-rekan yang Mempunyai akses lebih besar terhadap kegiatan pengayaan.

Tantangan kedua, kompetensi. Itu terkait dengan fenomena sarjana pengangguran yang marak di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Februari 2025 menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai Nomor 7,28 juta orang. Dari jumlah tersebut, 1,01 juta di antaranya sarjana atau lulusan perguruan tinggi. Itu Nomor yang sangat besar.

Mengapa fenomena semacam itu terjadi? Bicara Nomor pengangguran memang harus dilihat dari dua perspektif, yakni supply and demand. Dari sisi demand, stagnasi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir yang berkutat di Nomor 5% menjadi salah satu Asal Mula turunnya serapan tenaga kerja. Apalagi, sepanjang triwulan I 2025, ekonomi hanya tumbuh 4,87% dan sepanjang tahun diproyeksi sulit mencapai Nomor 5%. Artinya, tantangan dari sisi demand akan makin berat.

Bagaimana dari sisi supply? Setiap tahun, Indonesia mencetak Sekeliling 1,8 juta sarjana. Artinya, dari aspek kuantitas cukup banyak. Tetapi, aspek kualitas menjadi PR besar yang harus Betul-Betul serius diselesaikan.

Cek Artikel:  Sentralisasi Layanan Jaminan Kesehatan Nasional

Kementerian Ketenagakerjaan menyebut penyebab paling dominan dari tingginya pengangguran sarjana ialah mismatch. Artinya, kompetensi lulusan perguruan tinggi Tak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Kalangan pengusaha seperti Kadin atau Apindo juga sering mengungkap hal serupa.

 

SOFT SKILLS SEBAGAI INVESTASI SOSIAL JANGKA PANJANG

Mengapa mismatch Lanjut terjadi? Future of Jobs Report 2025 dari World Economic Lembaga (WEF) menyebut beberapa core skills atau keterampilan Esensial yang harus dimiliki tenaga kerja pada 2025. Apa itu? Analytical thinking (berpikir kritis); resilience, flexibility and agility (Mempunyai daya tahan, Luwes, tangkas); leadership and social influence (berjiwa kepemimpinan dan Pandai memberi pengaruh sosial); creative thinking (berpikir kritis); dan motivation and self-awareness (motivasi dan kesadaran diri).

Karena itu, meminjam istilah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Rhenald Kasali, mahasiswa Tak boleh terjebak dalam predikat ‘mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang)’ Asal Mula proses belajar Tak hanya terjadi di ruang kelas. Mahasiswa harus memanfaatkan ekosistem yang Terdapat di kampus Buat Lanjut mengembangkan diri, mengasah soft skills melalui berbagai kegiatan di luar kelas, aktif berjejaring, hingga berbagai kegiatan di masyarakat Buat membangun kepekaan sosial.

Info baiknya, sejak 2025, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek) telah meluncurkan program Kampus Berdampak, dengan salah satu inisiatif unggulan mereka magang berdampak. Program itu merupakan pengembangan dari magang merdeka dan dirancang Buat memberikan pengalaman kerja Konkret selama satu semester, mengintegrasikan kontribusi sosial mahasiswa, memberikan konversi hingga 20 SKS, dan memberikan Fulus saku sebesar Rp 2,8 juta per bulan.

Cek Artikel:  Legasi Kepemimpinan Muhadjir Effendy, dari UMM Demi Bangsa

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat dalam pengembangan soft skills, misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) Mempunyai program Student Leadership Camp dan Community Empowerment yang mengasah kepemimpinan dan empati sosial mahasiswa. Institut Teknologi Bandung (ITB) mengintegrasikan project-based learning dan interdisciplinary collaboration dalam kurikulum.

Terdapat pula Universitas Indonesia (UI) yang menjalankan Career Development Center yang aktif memberikan pelatihan komunikasi, simulasi wawancara, dan personal branding. Universitas Brawijaya mengembangkan Entrepreneurship Camp dan Innovation Hub, serta program Mahasiswa Membangun Desa Buat menumbuhkan kesadaran sosial, jiwa wirausaha, dan kreativitas mahasiswa.

Kesadaran akan pentingnya soft skills itu menjadi landasan program beasiswa Teladan Tanoto Foundation yang Ketika ini kembali dibuka. Kami percaya beasiswa harus menjadi alat transformasi sosial, bukan sekadar Donasi finansial. Program Teladan yang telah berjalan sejak 2020 Tak hanya memberikan Donasi finansial, tetapi juga membekali mahasiswa dengan pelatihan kepemimpinan, pengembangan soft skills, dan persiapan karier.

Optimalisasi dan transformasi peran kampus akan menjadi titik krusial bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Dengan demikian, pilihannya apakah kampus sekadar menjadi pabrik pencetak sarjana atau menjadi katalis yang Pandai memberdayakan mahasiswa hingga sukses meniti tangga kemakmuran dan mencetak pemimpin masa depan.

Pilihan kita tentu sudah Jernih. Konsekuensinya, perlu peran aktif dan kolaborasi berbagai pihak Buat serius mendorong optimalisasi peran perguruan tinggi dan memberdayakan mahasiswa. Masa depan Indonesia ditentukan di ruang kelas dan di luar kelas. Mari ambil bagian, membantu perguruan tinggi dalam mencetak lulusan yang teladan dan berdampak.

Mungkin Anda Menyukai