Catatan Selayang Pandang dari Rakernas PDIP

Liputanindo.id OPINI – Di acara Rakernas PDIP kemarin para menteri yang tidak hadir adalah Luhut, Prabowo, Sri Mulyani. Tito diwakili Jhon Wempi, Wamendagri yang kader PDIP.

Terkecuali Prabowo yang memang sudah definitif menjadi capres pesaing Ganjar yang diusung partai Banteng, rasanya agak aneh juga Luhut dan Tito tidak hadir pembukaan Rakernas PDIP. Sementara Menkopolhukam di sana ada Mahfud MD yang selevel dengan Menko Maritim dan Investasi. Bahkan pun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno saja hadir.

Baca Juga:
Tak Akan Hening Hadapi Kecurangan Capres Lain, Ganjar Pranowo: Akan Saya Bongkar!

Dari perhelatan macam ini kita jadi semakin paham cara pandang Mega dalam berpolitik. Istilah yang dipakai Harian Kompas nampaknya pas dalam melukiskan para menteri non PDIP yang hadir.  Para menteri sahabat-sahabat PDIP yang tentunya para sahabat Megawati.

Cek Artikel:  Mecca and Beyond Pergeseran Praktik Ziarah Kelas Menengah Muslim

Memang begitulah cara pandang Mega berpolitik sejak 1993. Posisi politik boleh saja berseberangan oleh sebab satu dan lain hal, namun selama menurut perasaannya itu cuma karena keragaman alih alih perbedaan, mereka dipandang Mega tetap sahabat. Dan dengan dasar itu ia yakin semua perbedaan bisa diatasi. Meski berseberangan posisi dan sikap sekalipun.

Ini yang kerap gagal diselami kawan apalagi lawan. Padahal kalau kita cermati dengan jeli, sejak berkuasa pada 2001-2004 Mega banyak merekrut dan mendudukkan orang-orang dekatnya yang berasal dari era Orde Baru.

Bambang Kesowo, ia percaya memegang jantung kekuasaan istana, sebagai mensesneg. Endriarto Sutarto yang saat genting-gentingnya krisis 1998 merupakan komandan Paspamres Suharto, ia jadikan Panglima TNI. Tjahyo Kumolo dan Jakob Tobing yang kader Golkar tulen, dengan enteng diminta menjadi andalan Mega mengatasi masalah-masalah nasional yang krusial dan rumit berkat kecakapan teknokratisnya yang ditempa semasa aktif di Golkar.

Cek Artikel:  Menggugat Independenitas Presiden

Dan yang paling fenomenal dari semuanya adalah merapatnya dua jenderal didikan Benny Murdani, yaitu Hendro Priyono dan Agum Gumelar. Yang mana ķeduanya merupakan mantan pemain kunci dari imperium intelijen kreasi Benny Murdani di era Soeharto yaitu Badan Intelijen Strategis (BAIS). Pada masa itu BAIS lebih berkuasa dibandingkan BAKIN yang sekarang berubah nama jadi BIN.

Kecakapan Hendro dan Agum dalam menyelamatkan muka Suharto seraya tetap mengamankan hasil kongres PDI di Sukolilo Surabaya pada 1993, menyebabkan hubungan persahabatan Mega dengan Hendro dan Agum tetap solid hingga kini.

Satu catatan lagi terkait pembukaan Rakernas PDIP Jumat kemarin. Berbeda dengan sebelumnya, dalam pidato kali ini yang mengangkat isu kedaulatan pangan, sebagai ketua umum partai yang mengusung ilmu dan ajaran Bung Karno, Mega berani menyatakan secara terbuka bahwa Marhaenisme harus jadi landasan ideologis pemberdayaan para petani dan nelayan. Asal Mula petani dan nelayan hakikinya mandiri dan bertumpu pada modalitas dirinya sendiri dan tak menggantungkan nasibnya pada orang lain.

Cek Artikel:  Kejar Tayang Kinerja Semu Pengelolaan APBN 2023

Sehingga Marhaenisme sejatinya bukan komunisme yang mengandalkan buruh dan kaum proletar sebagai basis sosialnya. Padahal buruh sejatinya tidak mandiri karena bekerja dan menggantungkan nasibnya pada orang lain, dalam hal ini tentu yang dimaksud adalah kaum pemilik modal sebagai majikan.

Penulis: Hendrajit (Siaranwan Senior)

Definisikel penulis tidak mewakili pandangan dari caritau.com

 

Baca Juga:
Ketua TPN Ganjar, Arsjad Rasyid: Berpolitik Dibuat Asyik Aja, Jangan Dibikin Seram

 

Mungkin Anda Menyukai