
MELALUI Putusan No 135/PUU-XXII/2024, MK akhirnya memutuskan desain keserentakan pemilu dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Butuh waktu tiga kali pemilu Demi Tiba pada kebijakan hukum ini. Pasca-Pemilu 2014, gagasan pemilu serentak dengan desain memisahkan pemilu nasional dan lokal ini sudah pernah disusun masyarakat sipil dan disampaikan kepada pembentuk undang-undang. Tetapi, Ketika RUU yang kemudian menjadi UU No 7/2017 disahkan, gagasan tersebut belum pernah diakomodasi.
Setelah Pemilu 2019, tepatnya pada akhir Februari 2020, MK menetapkan Putusan No 55/PUU-XVI/2019, di mana MK melakukan penafsiran konstitusi yang menghasilkan lima alternatif keserentakan pemilu. Putusan itu membawa agenda penguatan sistem presidensial melalui desain waktu penyelenggaraan pemilu, di mana keserentakan pemilu presiden dan pemilu DPR dan DPD bersifat imperatif, sedangkan keserentakan dengan pemilu Personil DPRD dan kepala daerah bersifat alternatif.
Menjelang Pemilu 2024 sama sekali Bukan terjadi perubahan kebijakan hukum pemilu sehingga mekanisme keserentakannya Tetap sama dengan Pemilu 2019. Sebagai akibatnya, beban penyelenggaraan pun Tetap sama, bahkan terasa lebih berat karena pada tahun yang sama juga digelar pemilihan kepala daerah.
Banyak keluhan yang disampaikan kalangan politisi, penyelenggara pemilu, dan masyarakat terkait dengan beratnya beban keikutsertaan dalam pemilu. Bagi kalangan politisi parpol, kerja mempersiapkan kader, kebutuhan kampanye pemilu, dan kesiapan berkontestasi menjadi beban yang berat.
Bagi penyelenggara, tertumpunya penyelenggaraan pemilu dalam kurun waktu tertentu menyebabkan sebagian pekerjaan Bukan dapat dikelola secara Bagus sehingga kualitas penyelenggaraan pun Bukan sepenuhnya dapat dijaga. Muncul berbagai persoalan penyelenggaraan yang Bukan dapat diselesaikan dengan Bagus akibat tingginya beban kerja penyelenggara.
Adapun pada pemilih, dalam dua kali pemilu terakhir selalu dihadapkan dengan sulitnya menentukan pilihan secara rasional akibat sangat banyaknya pejabat yang mesti dipilih dalam waktu bersamaan.
Berbasis pengalaman tersebut, dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kontekstual, MK melalui putusan mutakhirnya menyatakan pendirian hukum baru, bahwa desain keserentakan pemilu yang konstitusional adalah serentak dengan memisahkan antaran pemilu presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD dengan pemilu Personil DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan pilkada. Pendirian ini jauh lebih spesifik daripada keyakinan hukum MK dalam Putusan No 55/PUU-XVI/2019, yang waktu itu Tetap menyediakan ragam alternatif keserentakan pemilu.
KONTEKSTUALISASI KONSTITUSI
Bagi sebagian kalangan, putusan terbaru tersebut Tetap memunculkan sejumlah pertanyaan yang perlu penjelasan lebih jauh. Pertama, bagaimana sesungguhnya putusan ini Apabila dihadapkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945? Bukankah Pasal 22E ayat (2) konstitusi yang mengatur jenis pemilu dirumuskan dengan frasa ‘dan’ yang dalam ilmu perundang-undangan bermakna kumulatif? Hal mana dengan kerangka berpikir demikian, maka pemilu presiden/wakil presiden, pemilu Personil DPR, DPD, dan DPRD mesti dilaksanakan secara serentak? Bukankah Metode penafsiran berbasis teks konstitusi itu pula yang telah digunakan selama ini dan menjadi basis argumen MK Demi memutus desain keserentakan pemilu seperti yang diterapkan dalam Pemilu 2019 dan 2024? Dalam kajian konstitusi, penafsiran atas konstitusi akan selalu berayun antara dua pendulum, Yakni mempertahankan Maksud teks seperti apa adanya atau memaknai Kebiasaan konstitusi sesuai perubahan kebutuhan hukum yang Terdapat.
Dalam banyak putusan terkait dengan pengujian UU Pemilu, MK pada dasarnya lebih Ingin menjaga konsistensi pemaknaan teks UUD 1945, seperti putusan tentang ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden dan beberapa putusan lainnya. Hanya saja, dengan perkembangan kebutuhan hukum keserentakan pemilu, MK telah menggeser penafsirannya ke pendekatan non-orisinalis.
Pergeseran itu terjadi karena MK Memperhatikan bahwa terdapat sejumlah kemudaratan dalam metode keserentakan yang diterapkan Ketika ini. Pergeseran pendekatan tersebut diyakini akan dapat menjaga keseimbangan berbagai kepentingan dalam penyelenggaraan pemilu sehingga kualitas penyelenggaraannya pun Bisa ditingkatkan.
Lebih jauh, sesuai mandat konstitusional yang dimilikinya, pergeseran pendekatan penafsiran yang dilakukan MK merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin suatu hasil penafsiran hendak dipertahankan bila mana sudah diketahui terdapat masalah dalam pelaksanaannya. Atas Dalih konstitusi diperuntukkan bagi Seluruh orang dan penafsirannya juga Punya Seluruh Kaum negara, maka rasa keadilan dan perlindungan terhadap Seluruh kepentingan jauh lebih diutamakan dalam melakukan penafsiran konstitusi.
Dalam konteks itu, pergeseran pendekatan penafsiran konstitusi bukanlah semata soal konsistensi, melainkan ihwal bagaimana MK sebagai badan peradilan menempatkan dirinya sebagai penjaga tujuan berkonstitusi. Atas Dalih demikian, pergeseran pendirian MK mengenai desain keserentakan pemilu melalui Putusan No 135/PUU-XXII/2024 merupakan sesuatu yang Bukan perlu dipertanyakan Kembali.
Putusan tersebut mesti dinilai sebagai upaya MK melakukan kontekstualisasi Kebiasaan konstitusi, khususnya Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Bila langkah tersebut Demi mengurangi mudarat yang ditimbulkan, Bagus bagi peserta, penyelenggara pemilu, maupun pemilih, maka pilihan menggeser pendekatan penafsiran adalah pilihan yang Akurat.
TRANSISI PEMILU SERENTAK
Kedua, bagaimana Putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 yang juga memuat pengunduran pemilu Personil DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah dapat dilaksanakan Apabila dihadapkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur asas keberkalaan pemilu setiap lima tahun sekali?
Sesuai asas pemilu berkala lima tahun sekali, maka pemilu Personil DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah serentak harusnya dilaksanakan Kembali pada tahun 2029? Hanya, MK melalui putusan tersebut mengundurnya hingga lebih kurang dua tahun setelah Pemilu 2029 yang nanti hanya Demi memilih presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD. Apakah penundaan demikian Bukan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945?
Pertanyaan itu dapat dijawab dengan berbasis konsep masa transisi sebuah kebijakan hukum. Pada Ketika terjadi perubahan kebijakan hukum, dipastikan perubahan itu akan menimbulkan Dampak hukum tertentu Ketika dilakukan transisi menuju keadaan hukum baru. Dalam konteks ini, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu Kebiasaan yang terdampak dari adanya kontekstualisasi Kebiasaan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang dilakukan MK. Artinya, sistem keserentakan pemilu yang memisahkan pemilu nasional dan daerah dimaksud berdampak pada Bukan akan dilaksanakannya asas pemilu berkala secara terbatas.
Dengan demikian, akan terjadi ketidakpastian terkait dengan Penyelenggaraan keberkalaan pemilu. Agar masalah ini dapat dijawab dan diselesaikan, maka kondisi tersebut harus diletakkan dalam rezim transisi hukum. Bahwa transisi tersebut hanya akan terjadi dan berlaku Demi satu kali pemilu dan setelahnya akan berlangsung secara berkala sesuai desain keserentakan pemilu yang baru. Karena itu, Bukan terlaksananya asas keberkalaan secara terbatas pada tahun 2029 Demi pemilu Personil DPRD dan kepala daerah Bukan dapat dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Ketiga, bagaimana proses transisi periodesasi masa jabatan Personil DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah Apabila Pemilu 2029 dilaksanakan hanya Demi memilih presiden/wakil presiden, Personil DPR, dan DPD saja? Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pengaturan tentang masa transisi merupakan wewenang pembentuk undang-undang. Karena itu, hal tersebut menjadi ranah presiden dan DPR Demi mengatur lebih lanjut dalam perubahan UU Pemilu.
Terkait dengan hal itu, setidaknya terdapat beberapa alternatif desain yang dapat dipilih. Pertama, UU Pemilu secara tegas menyatakan memperpanjang masa jabatan Personil DPRD yang Terdapat Ketika ini. Alternatif itu akan menjadi pilihan paling sederhana dan Bukan akan menimbulkan banyak masalah dalam pelaksanaannya. Personil DPRD hari ini merupakan Personil DPRD yang telah dipilih dan meraih Bunyi terbanyak dalam pemilu, sehingga ketika terjadi perubahan kebijakan hukum yang berdampak pada masa periode masa jabatan, maka sudah cukup hanya dilakukan perpanjangan terhadap masa jabatan mereka.
Kedua, UU Pemilu menyerahkan kebijakan perpanjangan masa jabatan Personil DPRD kepada partai politik pengusung. Dalam konteks ini, Personil DPRD eksisting Bisa diperpanjang atau Bisa juga diganti, sepanjang diganti dengan calon Personil DPRD yang terdapat dalam daftar calon tetap (DCT) yang Tetap memenuhi syarat. Akan tetapi, pilihan ini lebih berisiko menimbulkan kegaduhan politik. Oleh Alasan itu, agar proses transisi keserentakan pemilu berjalan Fasih, akan lebih Akurat Apabila pembentuk undang-undang memilih Demi memperpanjang masa jabatan Personil DPRD hasil Pemilu 2024.
Sebagai catatan penutup, ijtihad hukum MK yang menghasilkan desain keserentakan pemilu baru harus dipandang sebagai upaya berkelanjutan dalam membenahi tata kelola pemilu. Ketika ini, DPR pun sudah memulai langkah perbaikan kebijakan hukum melalui perubahan UU Pemilu.
Sehubungan dengan itu, putusan MK ini setidaknya sudah menyelesaikan salah satu persoalan pokok yang Niscaya akan menimbulkan perdebatan panjang di DPR. Dengan modal putusan ini, pemerintah dan DPR tinggal merumuskan detail kebijakan hukumnya ke dalam UU Pemilu baru, sehingga RUU Pemilu Bisa disahkan lebih awal, jauh sebelum tahapan Pemilu 2029 dimulai.

