PERSIDANGAN sengketa hasil Pilpres 2024 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki tahap pembacaan keputusan besok. Beberapa pakar hukum tata Negara memprediksi empat opsi keputusan yang bakal dikeluarkan para hakim konstitusi ini.
Opsi pertama adalah MK akan menolak seluruh permohonan dan menguatkan putusan KPU yang memenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan memberikan catatan perbaikan penyelenggaraan pilpres. Opsi kedua, MK akan mengabulkan diskualifikasi Paslon 02 Prabowo-Gibran dan melakukan pilpres putaran kedua antara Paslon 01 dan 03.
Selanjutnya, opsi ketiga MK akan mengabulkan sebagian permohonan, dengan mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres melanjutkan pilpres dengan cawapres pengganti. Sedangkan opsi keempat MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan kemenangan cawapres Gibran dan tetap mengukuhkan Prabowo sebagai presiden serta memerintahkan pemilihan wapres sesuai Pasal 8 ayat (2) UUD 1945.
Baca juga : 23 Amicus Curiae di PHPU Pilpres, Siapa Saja?
Amar putusan pada opsi keempat yang tidak berasal dari petitum pemohon disebut ultra petita sesuai Pasal 53 Ayat 2 Peraturan MK No 4/2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilpres.
Dari keempat opsi tersebut, opsi kedua dan ketiga dilaksanakan melalui pilpres putaran kedua. Sesuai Pasal 238 dan Pasal 416 UU No 7/Pahamn 2017 tentang Pemilu, pilpres putaran kedua hanya diikuti dua pasang capres/cawapres untuk memastikan terpilihnya satu pasang pemenang.
Terselenggaranya pilpres putaran kedua sepenuhnya tergantung ketuk palu hakim penjaga konstitusi tersebut yang dapat memerintahkan KPU dan Bawaslu menindaklanjutinya.
Analisis ini dilakukan untuk menepis pendapat beberapa pihak yang mendengungkan biaya pilpres putaran kedua hampir menyamai biaya pilpres satu putaran.
Baca juga : Konklusi 3 Pasang Capres-Cawapres Vital bagi MK dalam Sidang Sengketa Pilpres
Kebijakan minus anggaran
Sebagai tindak lanjut UU No 7/2017, KPU mengeluarkan seperangkat Peraturan KPU (PKPU). Terdapat dua PKPU yang menunjukkan niat baik lembaga penyelenggara pemilu tersebut melaksanakan pilpres putaran kedua yaitu PKPU No 3/2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Pahamn 2024 dan PKPU No18/2023 tentang Biaya Kampanye Pemilu.
Pada Perpres No 76/2023 tentang Rincian APBN 2024 yang mengalokasikan belanja DIPA KPU sebesar Rp28,4 triliun dan DIPA Bawaslu sebesar Rp11,61 triliun belum termasuk biaya pilpres putaran kedua. Ahli hukum tata negara menilai keengganan pemerintah menganggarkan biaya untuk pilpres putaran kedua menjadi bukti keinginan presiden agar pilpres satu putaran terwujud.
Baca juga : MK Tegaskan Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres akan Sesuai Jadwal
Menghitung kebutuhan pilpres putaran kedua mengacu pada kebutuhan pilpres tanggal 14 Februari 2024. Seluruh pos biaya yang akan dikeluarkan pada pilpres putaran kedua dipastikan telah dicairkan pada pilpres 14 Februari 2024. Sedangkan beberapa pos biaya pada pilpres 14 Februari 2024 sudah tidak dibutuhkan pada pilpres putaran kedua.
Terdapat dua pendekatan dalam menghitung kebutuhan biaya suatu program atau kegiatan atas beban APBN yaitu anggaran berdasarkan aktivitas dan anggaran berbasis kinerja. Konsep anggaran berdasarkan aktivitas (activity base budgeting) ini memperkenalkan suatu cara penyusunan anggaran berdasarkan aktivitas, dimana tidak ada anggaran tanpa adanya aktivitas.
Sedangkan anggaran berbasis kinerja mensyaratkan keterkaitan antara input, proses, dan output dari suatu anggaran belanja. Konsep anggaran ini menekankan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan harus menghasilkan keluaran (output) dan manfaat (benefit) yang jelas.
Baca juga : Ini Argumen 4 Menteri Dipanggil MK ke Sidang PHPU Pilpres
Tabel 1 berikut ini menyajikan komponen biaya tertentu yang dialokasikan KPU dan Bawaslu khusus untuk Pemilu satu putaran pada APBN 2023 dan 2024.
Tabel 1 merupakan analisis komponen biaya pemilu yang memiliki hubungan langsung dengan perhitungan biaya pilpres putaran kedua sebesar Rp43,45 triliun atau 69% dari total biaya pada DIPA APBN KPU dan Bawaslu sebesar Rp63,10 triliun. Biaya itu terbagi atas beban APBN 2023 sebesar Rp23,09 triliun dan beban APBN 2024 sebesar Rp40,01 triliun.
Volume dan bobot kegiatan Pemilu 2024 berbeda dengan pilpres putaran kedua. Pemilu tanggal 14 Februari 2024 merupakan pemilu serentak untuk memilih presiden/wakil presiden, anggota DPD, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Selain itu, untuk menyelenggarakan pemungutan suara 14 Februari 2024 tersebut membutuhkan waktu relatif panjang sejak pendaftaran peserta pemilu tanggal 1 Agustus 2022. Kegiatan ini berakhir sampai pengumuman KPU mengenai hasil penghitungan suara tanggal 20 Maret 2024.
Sedangkan pilpres putaran kedua dimulai tanggal 23 April 2024, satu hari sejak MK membacakan putusan sengketa pilpres. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut berakhir tanggal 20 Juli 2024 dengan kegiatan sangat terbatas.
Biaya pilpres putaran kedua
Sesuai PKPU No 3/2022, aktivitas yang dilaksanakan pada pilpres putaran kedua adalah pemutakhiran data pemilih, kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan hasil pemilu. Beberapa kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan lagi, dikeluarkan dari perhitungan kebutuhan biaya pilpres putaran kedua.
Kegiatan tersebut pada KPU antara lain belanja pegawai sebesar Rp2,90 triliun, belanja modal sebesar Rp0,29 triliun, perencanaan, anggaran dan penyusunan peraturan pelaksanaan pemilu sebesar Rp4,44 triliun, dan dukungan manajemen sebesar Rp1,16 triliun.
Sedangkan, belanja pada Bawaslu tahun 2023 dan 2024 yang tidak diperhitungkan lagi untuk pilpres putaran kedua antara lain belanja pegawai sebesar Rp1 triliun, belanja modal sebesar Rp0,13 triliun, perencanaan, program anggaran, dan penyusunan peraturan pengawasan penyelenggaraan pemilu sebesar Rp4,47 triliun, pengawasan tertentu sebesar Rp1,91 triliun, dan dukungan manajemen sebesar Rp1,76 triliun.
Mengacu pada biaya pemilu yang telah dialokasikan dan direalisasikan, kebutuhan biaya pilpres putaran kedua lebih mudah dihitung dengan memperhatikan aktivitas yang diperlukan dan waktu yang digunakan.
Sebagai contoh, pemutakhiran data dan daftar pemilih telah dilakukan pada tahun 2023, sehingga kebutuhan dana hanya untuk update pemilih pemula saat pemungutan suara ulang tanggal 26 Juni 2024.
Selain itu, lama waktu untuk kampanye pilpres mencapai 75 hari pada putaran pertama dan 20 hari pada putaran kedua. Bobot biaya untuk waktu penyelenggaraannya yang singkat akan berkurang secara proporsional.
Berdasarkan tabel 1 tersebut, dengan mempertimbangkan aktivitas yang relevan dan waktu yang dibutuhkan sebagai faktor penyesuaian pada tabel 2 dapat ditentukan kebutuhan biaya penyelenggaraan pilpres putaran kedua dengan perhitungan pada tabel 3 berikut.
Dari analisis di atas, biaya sebesar Rp8,69 triliun yang dibutuhkan untuk pilpres putaran kedua ternyata tidak terlalu menguras pundi-pundi APBN. Biaya itu masih jauh di bawah bansos yang dikucurkan pada Januari 2024 yang mencapai sebesar Rp12,45 triliun.
Sebagai perbandingan, pada negara demokrasi biaya pemilu tidak dianggap sebagai pemborosan. India dan Amerika Perkumpulan adalah negara yang berani berinvestasi besar dalam pembiayaan pemilu. India menghabiskan uang negara hingga sebesar Rp209,6 triliun pada Pemilu 2019, sedangkan Amerika Perkumpulan pada Pemilu 2020 menghabiskan sebesar Rp205,4 triliun.
Biaya pilpres putaran kedua bukan merupakan pengorbanan yang sia-sia. Pasalnya, belanja APBN yang dikeluarkan menghasilkan multiplier effect terhadap perekonomian nasional atas pembayaran belanja barang dan honor penyelenggara pilpres.
Seyogianya untuk memastikan kehidupan demokrasi tidak mengalami sekarat di Negeri Zamrud Khatulistiwa ini, belanja APBN untuk pilpres yang harus dikeluarkan bukan menjadi tolok ukur. Buat itu, biaya tidak signifikan sebagai pertimbangan memutuskan menggelar pilpres putaran kedua.