Ilustrasi PLTU. Foto: Kemenkeu.
Jakarta: Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi cadangan penyimpanan karbon terbesar di dunia. Potensi ini tersebar di sejumlah lapangan minyak dan gas (migas).
Seperti di Lapangan Arun yang berada di Lhokseumawe, Aceh, yang bakal dikembangkan menjadi tempat penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) di Tanah Air. Airlangga menyebut potensi kapasitas penyimpanan karbon hingga 30 juta ton CO2.
“Potensi warehouse atau gudang bawah tanah Indonesia untuk penyimpanan karbon merupakan salah satu yang terbesar,” ungkap Airlangga dalam acara Green Initiative di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa, 24 September 2024.
“Kalau kita mengandalkan Arun saja, dengan kapasitas 30 juta ton CO2 setahun, sedangkan kita punya emisi sekitar 778 juta ton CO2. Maka, dalam waktu 25 tahun kita sudah bisa menyerap seluruh karbon yang ada,” tambah dia.
Selain di Lapangan Arun, Airlangga menuturkan tempat penyimpanan karbon terbesar berada di cekungan Bintuni, tepatnya di proyek Ubadari Carbon, Capture, Utilization, and Storage atau CCUS Ubadari di Bintuni, Papua Barat. Capeksi itu memiliki potensi kapasitas penyimpanan CO2 hingga 1,8 gigaton atau setara dengan 1,08 miliar ton CO2.
Kemudian, penyimpanan karbon di proyek LNG Langgeng Blok Masela, Maluku, dengan perkiraan potensi kapasitas 1 gigaton. Lampau, proyek CCUS di Lapangan Gundih, Blok Cepu, Jawa Tengah dan juga Lapangan Sukowati, Bojonegoro, Jawa Timur.
“Kita juga punya proyek CCUS di Bintuni, Maluku, dan di Nusa Jawa yakni di Cepu. Nah, gudang-gudang penyimpanan ini biasanya akibat daripada ekstraksi gas dan minyak,” ungkap Airlangga.
Atur proyek CCUS
Pemerintah, lanjut Airlangga, saat ini tengah mematangkan regulasi untuk pengaturan detail proyek CCUS, termasuk soal biaya penangkapan dan penyimpanan karbon. Airlangga menyebut harga pasar karbon secara global di kisaran USD25 hingga USD30 per ton.
“Market karbon sekarang sekitar USD25 hingga USD30 per ton dan kita perlu mendorong regulasinya hingga perdagangan ini bisa dilakukan. Berapa yang kita bisa serap dari market internasional dan berapa untuk domestic market obligation,” jelas dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan Indonesia memiliki potensi cadangan penyimpanan karbon hingga 630 gigaton di akuifer garam dan reservoir minyak dan gas yang sudah habis.
Sejumlah investor asing disebut tertarik menanamkan modalnya untuk bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) di Tanah Air.
Luhut menuturkan salah satu proyek yang tengah dibidik investor ialah penerapan CCS di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Banten. Teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi CO2 di PLTU tersebut akan terpasang dalam waktu tiga tahun ke depan.
“Banyak investor yang antre. Misalnya di Suralaya. Teknologinya baru siap di 2027,” ungkap Luhut dalam acara 2nd International & Indonesia Carbon Capture and Storage (IICCS) Lembaga 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (31/7) lalu.