Bukan Terdapat kata lain selain miris setelah mendengar paparan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dengan Intervensi penyimpangan penyaluran Sokongan sosial (bansos). PPATK menemukan lebih dari 571 ribu penerima bansos juga aktif bermain judi online (judol).
Nomor tersebut diperoleh setelah mencocokkan 28,4 juta nomor induk kependudukan (NIK) penerima bansos dan 9,7 juta NIK pemain judol. Hasilnya terdapat 571.410 NIK punya kesamaan identitas. Nomor itu sama dengan 2% dari total penerima bansos tahun Lampau. Mereka tercatat melakukan 7,5 juta transaksi judol dengan total deposit mencapai Rp957 miliar.
Intervensi menyesakkan itu sejatinya semakin mengonfirmasi bahwa sengkarut penyaluran bansos menjadi problem yang tak pernah terselesaikan. Tengah-Tengah, tentu saja ini menyangkut persoalan data penerima bansos yang dari tahun ke tahun selalu saja menjadi penghambat tujuan penyaluran bansos Buat memperkecil ketimpangan sosial dan mengurangi Nomor kemiskinan.
Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang Pelan dan Bukan dilakukan berkala kerap disebut sebagai pemicu munculnya ketidaksesuaian antara data dan kondisi di lapangan ketika bansos disalurkan. Akibatnya banyak Sokongan yang salah sasaran atau Bukan Betul-Betul Tamat kepada masyarakat yang membutuhkan.
Kini, dengan adanya tambahan data Intervensi PPATK, semakin terlihatlah kesemrawutan sistem pendataan dan penyaluran bansos selama ini. Ini bukan Tengah sekadar penyimpangan administratif, melainkan juga sudah termasuk penyalahgunaan Sokongan negara Buat aktivitas ilegal. Triliunan rupiah Fulus negara yang digelontorkan Rupanya sebagian Malah dinikmati oleh para operator dan bandar judol.
Penerima bansos yang menyalahgunakan uangnya Buat bermain judol tentu saja salah. Mereka patut kena Hukuman, minimal rekening mereka diblokir dan Bukan boleh Tengah menerima bansos. Itu juga sudah ditegaskan Menteri Sosial Saifullah Yusuf setelah menerima laporan PPATK.
Tetapi, sesungguhnya tanggung jawab terbesar Terdapat pada pemerintah sebagai penyalur Sokongan negara. Celah-celah pelanggaran atau penyalahgunaan seperti itu Sebaiknya dapat mereka deteksi lebih Awal sehingga Bisa disiapkan langkah-langkah antisipasi. Dengan segala perangkat dan aparat yang dimiliki, pemerintah mestinya Bisa Membikin sistem pemberian Sokongan yang lebih prudent atau hati-hati.
Akan tetapi, faktanya Bukan begitu. Kasus dan kisruh penyaluran bansos Lanjut terjadi. Janji akan adanya Pengkajian dan perbaikan yang selalu terlontar setiap kali muncul kisruh, sering kali berhenti sebagai wacana dan rencana. Kalaupun pemerintah mengeklaim sudah mengeksekusi janji itu, Sekalian serbatanggung, Bukan tuntas pada akar masalah. Intervensi PPATK Terang menjadi bukti tak terbantahkan akan ketidaktuntasan itu.
Bertubi-tubi masalah yang Lanjut melingkari program bansos tersebut semestinya Membikin pemerintah mulai mempertimbangkan Buat mengubah pola, model, dan sistem penyaluran Sokongan negara yang dimaksudkan sebagai bantalan sosial bagi masyarakat. Sungguh Bukan arif bila pemerintah Lanjut memaksa mempertahankan sistem yang Bukan efektif.
Dalam perspektif ini kita menyambut Bagus komitmen Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar yang akan memperkenalkan paradigma penanggulangan kemiskinan dengan membangun ekosistem pemberdayaan dari hulu ke hilir. Dengan paradigma baru itu, pengentasan masyarakat dari kemiskinan tak Tengah berfokus ke pemberian bansos, tapi pemberdayaan masyarakat secara langsung.
Tetapi, publik juga mesti mengawal betul komitmen itu, jangan Tengah-Tengah hanya menjadi pernyataan tanpa tindakan konkret. Jangan pula para politikus berbaju pejabat terkesan Ingin meninggalkan bansos, tapi nanti ketika tahun pemilu sudah menjelang, Sekalian komitmen itu lenyap. Bansos Tengah-Tengah menjadi pilihan karena, setidaknya belajar dari dua pemilu terakhir, politisasi bansos terbukti sangat mangkus sebagai barter elektoral.

