Trump, Harvard, dan Obama

SEPERTI mitraliur, Donald Trump Lalu memberondong dunia dengan langkah ‘tak terduganya’. Moncong ‘senjatanya’ ia arahkan ke mana-mana. Seperti suka-suka. Hari ini main tarif. Besoknya menggertak Tiongkok. Lampau menyetop siaran media Voice of America (VOA). Kini, ia melabrak Harvard University, salah satu universitas bergengsi di ‘Negeri Om Sam’.

Mereka yang terdampak pada meriang hingga berang. Dekat Seluruh terkejut. Pasar shocked. Puluhan negara memilih negosiasi dan berdiplomasi soal pengenaan tarif tinggi. Tiongkok yang berang memilih melawan. ‘Negeri Layar Bambu’ itu membalas dengan mengenakan tarif impor ke ‘Om Sam’ dengan harga tinggi pula. Mirip slogan-slogan di tubuh truk di bagian belakang: Anda sopan, kami segan. Anda keterlaluan, kami melawan.

Di dalam negeri Amerika Perkumpulan (AS), banyak yang mulai masygul. Protes muncul di berbagai negara bagian. Termasuk yang akhirnya tak tahan Lalu-terusan memendam Bunyi ialah Presiden Ke-44 AS Barack Obama. Ia memang Kagak berteriak. Tetapi, Obama memuji mereka yang Tegar pendirian menentang Trump.

Obama memuji keputusan Universitas Harvard menolak tuntutan Gedung Putih agar universitas tersebut mengubah kebijakan mereka seusai terancam kehilangan Anggaran federal. Obama, yang juga seorang alumnus Harvard, menilai pembekuan Anggaran tersebut melanggar hukum dan Kagak adil.

‘Harvard telah memberikan Misalnya bagi lembaga pendidikan tinggi lainnya dengan menolak upaya yang melanggar hukum dan Kagak adil Buat mengekang kebebasan akademis, Sembari mengambil langkah konkret Buat memastikan Seluruh mahasiswa di Harvard dapat memperoleh manfaat dari lingkungan analitis intelektual, perdebatan yang ketat, dan rasa saling menghormati’, tulis Obama di akun media sosialnya seperti dilansir dari kantor Informasi AFP.

Obama meminta lembaga lain Buat mengikuti langkah Harvard dengan Kagak mengalah pada tuntutan Trump. Selama ini, Obama yang lulus dari sekolah hukum Harvard pada 1991 itu amat jarang mengkritik atau menegur pejabat pemerintah atau kebijakan pemerintah, khususnya di media sosial, sejak meninggalkan Gedung Putih Dekat satu Dasa warsa Lampau.

Cek Artikel:  Politik Perumahan ala Kadarnya

Obama menjadi salah satu dari sedikit tokoh politik AS dan pejabat universitas yang sekarang menentang upaya pemerintahan Trump Buat membentuk kembali universitas-universitas top negara itu melalui tekanan, salah satunya dengan ancaman memotong Anggaran penelitian. Sebelumnya, Trump mendorong Universitas Harvard meminta Ampun buntut kegiatan aktivisme yang Membangun Anggaran kampus itu terancam disetop.

Trump menganggap kampus itu menoleransi antisemitisme terkait dengan aktivisme kampus terhadap isu Palestina. “(Trump) Mau Menonton Harvard meminta Ampun dan Harvard harus meminta Ampun,” kata Sekretaris Pers Karoline Leavitt.

Trump pun membekukan lebih dari US$2 miliar Anggaran federal Buat Harvard karena universitas tersebut Kagak akan Membangun perubahan pada rekrutmen, penerimaan, dan praktik pengajaran yang menurut pemerintahan Trump merupakan kunci Buat memerangi antisemitisme di kampus. Trump yang bergaya komando dalam menjalankan pemerintahannya, Berkualitas di bidang ekonomi maupun politik, seperti mendapat sengatan baru dari Harvard dan Obama itu.

Cek Artikel:  Harimau Kertas Pertimbangan MK

Apa yang dilakukan Trump sebetulnya sudah mudah diduga. Ia sudah ‘membocorkan’ langkah-langkah yang ia lakukan itu beberapa bulan Lampau, Begitu kampanye capres. Apa yang ia lakukan sekarang ialah merealisasikan janji-janji kampanye. Mereka yang kaget sepertinya terbiasa dengan pengingkaran janji-janji. Atau, gagal mengukur dosis realisasi janji-janji.

Itu seperti yang dialami John Heisdorffer, sebagaimana dikisahkan Denny JA dalam tulisannya. Heisdorffer ialah petani kedelai generasi ketiga dari Iowa. Ladang yang ia garap telah diwariskan sejak Era kakeknya. Setiap musim gugur, Heisdorffer menatap panen dengan rasa syukur. Ia menanam, memanen, dan percaya pada janji Amerika.

Tetapi, sejak 2018, janji itu berubah menjadi pedang bermata dua. Perang dagang dengan Tiongkok dimulai. ‘Negeri Layar Bambu’ itu membalas tarif Amerika dengan menghentikan impor kedelai. Karena itu, harga kedelai AS anjlok. Penyimpanan-Penyimpanan penuh hasil panen yang tak laku dijual, termasuk Penyimpanan Punya Heisdorffer.

Cek Artikel:  Fadel Muhammad dan Sri Mulyani

Pada 2016, Heisdorffer memilih Donald Trump. Ia percaya pada semangat ‘Make America Great Again’. Ia Serius Trump akan melindungi petani. Tetapi, yang terjadi Malah sebaliknya. Delapan tahun kemudian, di Pemilu 2024, banyak petani seperti Heisdorffer tetap memilih Trump. Asa lelet dibungkus ulang dengan slogan baru: nasionalisme ekonomi, Perlindungan tenaga kerja, dan janji menekan Tiongkok habis-habisan.

Lampau, Trump menepati janjinya. Begitu dilantik kembali, ia menghidupkan senjata lamanya: tarif impor. Kali ini lebih luas, lebih keras, lebih ganas. Mobil listrik asal Tiongkok, semikonduktor, baja, aluminium, panel surya, semuanya dikenai bea masuk tinggi. Tetapi, belakangan barang-barang elektronik dari Tiongkok dikecualikan. Itu disebabkan Beijing melawan dan Trump mulai kedodoran.

Ia memang merealisasikan janji-janji. Tetapi, ia lupa bahwa janji itu alat, bukan tujuan. Seperti bermain sepak bola, janji itu seperti strategi Susunan, tujuannya ialah gol demi gol guna meraih Pemenang. Begitu Trump menjadikan alat sebagai tujuan, tembakannya ke mana-mana: ke Tiongkok, ke Palestina, ke VOA, ke Harvard. Begitu ia dilawan institusi yang memeluk Tegar Intelek sehat dengan menolak takluk, Trump terlihat pantang mundur. Apalagi setelah Obama ‘menegur’. Tetapi, benarkah Trump tak mungkin kendur?

Mungkin Anda Menyukai