Haji Ramah Anak

Haji Ramah Anak
(Dokpri)

SETIAP musim haji tiba, jutaan Insan berhimpun. Mereka menanggalkan identitas duniawinya, dari pangkat, status, gelar, dan mengenakan dua helai kain putih yang menyatukan dalam barisan para pencari Tuhan. Tetapi, di balik pusaran ritual itu, Eksis narasi lelet yang nyaris luput, yakni kisah tentang keluarga, riwayat seorang anak yang dijaga, diuji, Lewat diselamatkan, ihwal seorang ibu yang tak kenal lelah, juga seputar Kasih yang melampaui logika.

Ibadah haji Bukan berdiri sendiri. Rukun Islam kelima ini amat terikat erat dengan narasi keluarga Nabi Ibrahim AS, sebabak kisah masyhur yang memahat keteladanan tentang Kasih, tanggung jawab, dan pengorbanan terhadap anak. Nabi Ibrahim yang diuji kedahsyatan rasa gundah gulana, Ismail kecil ditinggalkan di lembah gersang, serta Sayyidah Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwah.  

Ritual sa’i, misalnya, bukanlah Sekadar pengulangan gerak. Praktik lari-lari kecil itu merupakan jejak kasih seorang ibu dalam mempertahankan hidup. Dari langkah cemas itu, muncullah zamzam, mata air yang tak pernah kering hingga hari ini.

Al-Qur’an mengabadikan kisah ini dalam QS Ibrahim: 37. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya telah Diriku tempatkan sebagian keturunanku di lembah yang Bukan punya tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah)…” 

Kisah keluarga Ibrahim ini pun menjadi inti simbolik ibadah haji. Bermuatan Kasih tanpa pamrih, doa tanpa henti, serta perlindungan total terhadap anak-anak, bahkan dalam kondisi paling ekstrem.

Cek Artikel:  Menimbang Bacawapres Koalisi Indonesia Maju

Simbol haji, pesan sosial

Balang jumrah pun bukan sekadar prosesi melempar batu, melainkan simbol pengusiran bisik kejahatan, termasuk kezaliman terhadap yang lemah. Wukuf di Arafah bukan hanya Hening di padang. Puncak haji itu disyariatkan sebagai momen kontemplasi, tentang diri, tanggung jawab, dan kepedulian sosial, terlebih terhadap anak-anak.

Sayangnya, pemaknaan spiritual ini sering Bukan terbawa pulang. Banyak jemaah yang kembali tanpa membawa perubahan sosial. Buktinya, anak-anak tetap menjadi korban, bahkan di institusi keagamaan sekalipun. Laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tahun 2024 mencatat 573 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah, termasuk lembaga pendidikan yang mengeklaim diri berbasis keagamaan hingga pesantren. Malahan, Bilangan itu melonjak dua kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. 

Kekerasan yang terjadi pun Bukan hanya menyasar fisik. Macam-macam-Macam-macam bentuknya, dari mulai kekerasan verbal, psikologis, seksual, hingga spiritual. Tangan-tangan yang Sepatutnya membimbing, anehnya, Malah menyakiti.

Padahal, sudah jauh hari Nabi Muhammad SAW mewanti-wanti, “Siapa yang Bukan menyayangi, maka ia Bukan akan disayangi.” (HR Bukhari).

Pesan ini memang tampak sederhana, tetapi sejatinya menyimpan Maksud dalam. Siapa pun yang merendahkan anak berarti menolak kasih. Dan menolak kasih berarti kehilangan rahmat.

Urgensi tafsir baru haji 

Selain media pemurnian jiwa, prosesi haji semestinya harus menjadi inspirasi perubahan sosial. Salah satunya melalui kesadaran penuh bahwa anak adalah amanah. Bukan Punya, bukan objek kuasa. Persis yang dipesankan Imam Al-Ghazali, “Anak adalah amanah di tangan orangtua. Hatinya Bersih. Apabila dibiasakan kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan.”

Cek Artikel:  Menyongsong Museum sebagai Ruang Publik Inovatif

Gagasan ini harus melampaui keluarga. Lembaga pendidikan, masjid, pesantren, hingga komunitas dakwah wajib menjadikannya prinsip Primer. Haji yang mabrur Bukan boleh berhenti pada tataran ritual. Predikat kemabruran harus menghasilkan komitmen moral.

Rilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada Februari 2024 menunjukkan bahwa 60% anak Indonesia pernah mengalami kekerasan, Bagus di rumah maupun sekolah. Fakta ini menegaskan bahwa kekerasan bukan isu sampingan. Fenomena ini lebih pas disebut ancaman sistemik dan harus dihadapi secara tegas, termasuk melalui kesadaran spiritual pasca-haji.

Lempar jumrah Bisa ditafsirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Kekerasan terhadap anak sering dibungkus dengan Argumen pendidikan atau disiplin. Padahal yang terjadi adalah Kendali, bukan pembinaan.

Anak Bukan dilahirkan Demi dikendalikan. Mereka hadir Demi ditumbuhkan. Karena itu, peran haji sebagai titik balik harus diperluas. Setelah pulang, jemaah mesti menjadi pembela hak anak. Para haji harus bertekad menjadi pelindung, bukan pemilik.

Al-Qur’an menegaskan Pelarangan berlaku zalim terhadap anak. “Dan janganlah Anda membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan…” (QS Al-Isra’: 31). Ayat ini Bukan hanya tentang pembunuhan fisik, melainkan juga mencakup pembunuhan masa depan, termasuk dengan kekerasan yang merusak mental dan jiwa anak.

Cek Artikel:  Mengawal Pemilu Bervisi Ekologi

Penyelenggaraan rukun kelima Islam ini Bukan boleh Sekadar ditandai oleh gelar haji di depan nama. Haji Sepatutnya melahirkan aksi Konkret dengan menjadikan Sekalian pihak, seluruh pemangku kepentingan, dan setiap lapisan masyarakat giat mendorong agar sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan model apapun lebih ramah anak, Mempunyai keberpihakan pada korban, dan berani membongkar sistem yang toksik, serta menolak tafsir keagamaan yang melegalkan kekerasan.

Data dari UNICEF (2023) menyatakan bahwa negara-negara yang menerapkan kebijakan perlindungan anak berbasis Keyakinan secara progresif mengalami penurunan kasus kekerasan hingga 35% dalam lima tahun. Bilangan ini menunjukkan bahwa Keyakinan dan perlindungan anak semestinya berjalan beriringan. Bukan perlu dipertentangkan dan Malah harus disinergikan.

Haji ramah anak bukan wacana Nihil. Konsep ini Bisa dimaknai secara serius sebagai semacam seruan etis. Semangat haji ramah anak harus lahir dari kesadaran bahwa mencintai Tuhan wajib diiringi dengan mencintai ciptaan-Nya, terutama yang paling rentan, yakni anak-anak.

Spirit haji Sepatutnya Bukan hanya vertikal. Haji harus menembus relung-relung sosial. Haji yang mabrur bukan hanya Rapi ritualnya, tetapi juga pulang membawa keberpihakan pada anak-anak yang terluka.

Haji ramah anak adalah tanggung jawab kolektif. Haji ramah anak adalah cermin akhlak dan iman. Apabila ajaran Ibrahim diresapi, anak-anak akan disambut sebagai titipan, bukan beban, bukan Punya, tetapi Sinar yang harus dijaga.

Mungkin Anda Menyukai