Kemitraan yang Berkeadilan

DALAM beberapa tahun terakhir, ojek online (ojol) telah menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat urban Indonesia. Kemudahan akses, kecepatan layanan, dan biaya yang relatif terjangkau menjadikan aplikasi transportasi digital sebagai pilihan Esensial.

Tetapi, di balik kemudahan yang ditawarkan kepada konsumen, terdapat realitas pahit yang dihadapi oleh para pengemudi ojol, yakni potongan aplikasi yang dirasakan memberatkan dan kebijakan yang dinilai Bukan berpihak kepada mereka. Para pengemudi disebut sebagai Kenalan, tetapi mereka berada dalam posisi yang Bukan setara. Salah satu bentuk ketimpangan paling Konkret ialah pembagian pendapatan antara perusahaan dan pengemudi.

Potongan biaya aplikasi yang dikenakan oleh perusahaan penyelenggara aplikasi sering Melampaui batas yang ditetapkan oleh regulasi. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022 menetapkan bahwa potongan maksimal ialah 20%. Tetapi, kenyataannya, banyak pengemudi melaporkan potongan mencapai 30%, bahkan hingga 40% dalam beberapa kasus.

Cek Artikel:  Smes buat Ketua Standar PBSI

Kondisi itu Terang bertentangan dengan regulasi yang Eksis. Di beberapa kasus, ketika Bonus dipangkas, jumlah potongan bahkan lebih besar Kalau dibandingkan dengan pendapatan Kudus yang dibawa pulang oleh pengemudi.

Banyak pengemudi yang terpaksa bekerja lebih Lamban Buat memenuhi kebutuhan hidup, dengan mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Buat mendapatkan Pendapatan layak, seorang pengemudi harus bekerja 10 hingga 14 jam per hari.

Hal-hal itulah yang menjadi tuntutan Esensial aksi mogok dan demonstrasi besar-besaran ojol yang serentak dilakukan di sejumlah kota. Mereka menuntut agar potongan aplikasi maksimal hanya 10%. Aksi mogok massal ini adalah reaksi atas akumulasi ketidakadilan yang dirasakan pengemudi dan sudah berlangsung Lamban. Perusahaan sering berdalih bahwa mereka hanyalah platform, bukan pemberi kerja. Dengan narasi itu, mereka melepaskan diri dari tanggung jawab atas kesejahteraan para pengemudi sebagai pihak yang paling rentan.

Cek Artikel:  Independenitas demi Pemilu Berkualitas

Di situlah letak persoalannya. Di tengah glorifikasi Penemuan teknologi digital, nilai-nilai keadilan sosial dan kemanusiaan terpinggirkan. Ketika pengemudi dibayar murah demi efisiensi bisnis, maka teknologi bukanlah alat pembebas, melainkan dirasakan sebagai instrumen penindasan baru yang tak kasatmata.

Situasi ini menciptakan Rekanan kerja yang Bukan hanya eksploitatif, tetapi juga Bukan manusiawi. Pengemudi Bukan hanya kehilangan kendali atas jam kerja, tetapi juga kehilangan nilai kerja itu sendiri. Dalam Rekanan yang disebut kemitraan, nyatanya hanya satu pihak yang mengendalikan sistem, yakni aplikator.

Karena itulah, pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai penonton, melainkan sebagai regulator yang Pandai menjadi jembatan yang adil antara pengemudi dan aplikator. Regulasi yang mengatur potongan aplikasi yang adil, menjamin perlindungan sosial, dan membuka ruang dialog antara pengemudi dan perusahaan, sangat mendesak Buat dibuat.

Cek Artikel:  Pembuktian Independenitas tak sekadar Makan Siang

Pemerintah harus merancang eksosistem transportasi berbasis aplikasi digital yang adil. Jangan Tamat dalam sistem yang mengagungkan kecepatan dan efisiensi, para pengemudi ojol Lanjut-menerus menjadi korban dari Rekanan kerja eksploitatif yang tak terkendali.

Di sisi lain, pemerintah jangan lupa dengan tanggung jawab Buat segera membenahi ekonomi agar Pandai menciptakan lapangan kerja formal yang lebih banyak Kembali. Dengan iklim seperti itu, pekerja Pandai bergeser dari sektor informal yang rentan Pendayagunaan ke sektor formal yang melindungi.

Selama ini, sektor informal, termasuk pengemudi ojol, seolah dibiarkan menjadi tulang punggung Buat menyerap jumlah pekerja yang tiap tahun bertambah seperti deret ukur, di tengah lapangan kerja yang hanya bertumbuh seperti deret hitung. Negeri ini harus Pandai keluar dari jebakan seperti itu.

 

Mungkin Anda Menyukai