SEBUAH foto SBY dan karya lukisannya beredar di medsos. Ia mengenakan kaus Corak hitam, berbaret hitam, dan berdiri di dekat lukisan di kanvas besar. Yang dilukis laut biru berombak gulung-menggulung ke pantai. Kiranya realisme itu dikerjakan di kediamannya di Cikeas.
Eksis yang berseloroh perihal baret yang dikenakan SBY, pertanda diri seorang seniman. Tino Sidin juga berbaret. Di masa Orde Baru, ia mengajak anak-anak Getol menggambar melalui TVRI. Seraya menunjukkan karya seorang anak ke kamera, ia akan berucap yang menyenangkan. “Bagus, bagus,” Bunyi Pak Tino memberi apresiasi, menyemangati anak bangsa.
Mantan Presiden AS George W Bush juga melukis setelah pensiun. “Hidup ini harus ditantang,” katanya. “Saya ditantang di lapangan golf. Saya ditantang Demi tetap fit. Saya ditantang dengan lukisan-lukisan saya.”
Bush melukis binatang kesayangannya, potret dirinya, dan tokoh-tokoh dari berbagai negara yang Berjumpa dengannya Ketika ia menjabat presiden. Bush melukis terinspirasi Winston Churchill, tokoh yang dikaguminya.
Winston Churchill melukis setelah memperhatikan Goonie, istri adiknya melukis. Itu terjadi di masa liburan keluarga (1915). Churchill ketika itu berusia 41 tahun. Hobi melukis itu berlanjut Tamat negarawan Inggris itu lanjut usia. Pada 1998, 105 lukisannya dipamerkan di London. Dalam dua pekan dikunjungi 12 ribu orang.
SBY intens melukis di masa pemberlakuan Restriksi kegiatan masyarakat (PPKM). Salah satu karyanya ialah batu karang dan laut. Ini kado Tertentu Demi ulang tahun AHY (lahir 10 Agustus 1978). Lukisan itu diberi judul panjang: Kokoh Laksana Batu Karang, Lentur Bagaikan Samudera. Terasa klise, tetapi rupanya SBY merasa Krusial memberi pesan yang sangat eksplisit Bagus dalam gambar berupa batu karang di tepi laut maupun berupa judul lukisan yang tak memerlukan tafsir. Kiranya inilah pesan dari Orang Sepuh Demi putranya, pewaris takhta Ketua Lumrah Partai Demokrat.
Kepemimpinan AHY sempat diguncang dari dalam, melibatkan Moeldoko, orang luar partai yang berkedudukan sebagai Kepala Staf Presiden. Gagal. Lukisan kado ulang tahun itu sepertinya semacam Usulan bagi AHY bahwa memimpin partai politik perlu sebuah paradoks, ‘kukuh dan lentur’.
Dari sisi personal, menasihati anak bukan urusan gampang, terlebih Demi anak yang telah punya anak. Ini perkara banyak orangtua. Terkadang orangtua kudu tega sesekali anak yang dewasa itu perlu terbentur Fakta betapa kerasnya kehidupan. Mengalami sendiri ialah guru terbaik.
Dari sisi kepublikan, di usia 43 tahun, AHY merupakan ketua Lumrah termuda partai politik yang punya kursi DPR. Eksis yang menilai dirinya menjadi ketua Lumrah akibat ‘kecelakaan sejarah’, yakni mundur dari TNI, gagal menjadi Gubernur Jakarta. Eksis juga yang menilai jabatan itu ‘Kesempatan keberuntungan sejarah ke masa depan’. Ujian kepublikan pertama baginya bukan guncangan kongres luar Normal yang gagal itu, melainkan seberapa besar rakyat memercayai partai yang dipimpinnya pada Pemilu 2024.
Barangkali Bukan pas Akurat membahasakan sebagai ‘kecelakaan’ atau ‘keberuntungan’ sejarah karena sejarah tak berpihak terhadap nasib apakah dia ‘anak Pak Harto’, atau ‘anak Megawati’, atau ‘anak SBY’, atau kelak ‘anak Jokowi’. Sekalian itu bukan anak ‘seseorang’, melainkan anak ‘seorang presiden’, dengan goresan nasibnya masing-masing. Anak Pak Harto gagal bikin partai. Jokowi rasanya tak berselera bikin partai sehingga Gibran kiranya tak punya warisan menjadi ketua Lumrah partai. Mantan Presiden Megawati dapat mewariskan kedudukan ketua Lumrah partainya, seperti halnya SBY. Bedanya ialah akibat kecelakaan sejarah, SBY sudah duluan melakukannya.
Kiranya orang perlu Menyantap genealogi kekuasaan, bagaimana gairah mantan presiden Demi menjadikan anaknya, suatu hari, juga presiden. Dia Dapat bernama Puan yang balihonya Eksis di mana-mana, Dapat pula bernama AHY. Sekalipun bukan pendiri partai politik, trajektori sang Orang Sepuh dari Wali Kota Surakarta via Gubernur Jakarta menjadi Presiden RI — bukanlah perjalanan yang tak boleh diimajinasikan atau diimpikan oleh yang bernama Gibran.
Apa yang dimuliakan demokrasi? Persamaan hak? Bunyi rakyat Bunyi Tuhan? Jawabnya barangkali semacam darah biru baru, semula hasil samping sirkulasi elite, kemudian menjadi hasil Primer demokrasi kita.

