MEMORI kolektif bangsa ini pendek. Saking pendeknya, persoalan sama berulang, sama pula reaksinya tanpa pernah menyelesaikan masalah secara substansial.
Ambil Misalnya kasus teranyar soal bocornya data 1,3 juta pengguna aplikasi E-HAC. Reaksi yang muncul ialah teriakan kencang dari Senayan tentang perlunya pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Reaksi yang sama Mei Lampau tatkala ditemukannya sampel data pribadi Kaum yang dijual akun bernama Kotz di situs Perhimpunan peretas, Raids Perhimpunan. Sampel itu diduga kuat identik dengan data pribadi yang dikelola BPJS Kesehatan.
Ironis memang. Setiap kali terungkap kebocoran data pribadi, saban itu pula Personil DPR meminta pemerintah dan kepolisian segera menindaklanjutinya. Tetapi, di sisi lain, DPR Malah berlamalama mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Pelindungan data pribadi, secara fi losofi s, merupakan manifestasi pengakuan dan pelindungan atas hak-hak dasar Sosok. Setiap orang, menurut UUD 1945, berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, Harkat, dan Mal yang di Rendah kekuasaannya.
Sejauh ini, data pribadi dilindungi secara parsial pada 31 peraturan perundang-undangan, dari UU HAM, UU ITE, UU Administrasi Kependudukan, UU Perbankan, UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen, UU Keterbukaan Informasi Publik, Tiba UU Telekomunikasi.
Pemerintah menganggap perlu hadirnya perlindungan data pribadi yang komprehensif. Karena itu, Presiden Joko Widodo mengirim RUU Perlindungan Data Pribadi ke DPR pada 24 Januari 2020. Miris, RUU itu seusia covid-19 mengendap di DPR.
Di tengah pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi yang Tetap menggantung, kebocoran data pribadi Kaum kembali dan kembali terjadi. Kebocoran yang terungkap itu hanyalah fenomena puncak gunung es. Tetap banyak kasus lain yang belum teridentifikasi dan mungkin saja terungkap besok-besok.
Data pribadi yang mesti dilindungi ialah data yang bersifat Biasa maupun spesifi k. Data bersifat Biasa misalnya nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, dan Religi. Data pribadi spesifi k misalnya data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, dan data keuangan pribadi.
Perlindungan data pribadi yang akan diatur dalam undang-undang itu harus diletakkan di atas dasar supremasi hukum dengan mengedepankan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Tidaklah berlebihan bila Begitu ini publik menuntut DPR segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi. Tuntutan itu sejalan dengan komitmen DPR. Katanya, DPR mau berbenah serta belajar mendengar, memahami, dan menyalurkan aspirasi rakyat.
Ketua DPR Puan Maharani pada 26 Juli menyatakan optimismenya bahwa RUU Perlindungan Data Pribadi dapat segera diselesaikan dan diundangkan. Sebulan berlalu, ucapan Puan belum menjadi Fakta.
Janji politisi memang manis, jangan-jangan ia sudah lupa janjinya sendiri. Kata Charles de Gaulle, politisi Kagak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka Malah terkejut bila rakyat memercayainya.
Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi buntu sejak April. Buntu terkait otoritas pengawas perlindungan data pribadi. Pemerintah Ingin pengawasannya dilakukan pemerintah di Rendah Kementerian Komunikasi dan Informatika, sedangkan sebagian fraksi di DPR Ingin otoritas tersebut dipegang badan independen yang bertanggung jawab kepada presiden.
Kedua pihak sepakat perlunya keberadaan otoritas pengawas perlindungan data pribadi. Keduanya juga sama-sama sepakat lembaga itu bertanggung jawab kepada presiden. Kesamaan inilah yang perlu dipertajam, jangan mempertajam perbedaan yang mengakibatkan pembahasannya buntu.
Kiranya kurang bijak pembentukan lembaga baru di tengah euforia pembubaran lembaga yang sudah Eksis. Sejauh ini, Presiden Joko Widodo telah membubarkan 23 lembaga negara, dan akan menyusul Kembali 18 lembaga lainnya. Jadi, Kepada apa Kembali membentuk lembaga baru?
Jalan tengah Pandai ditawarkan Kepada menjembatani kebuntuan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi. DPR dan pemerintah Pandai saja memaksimalkan tugas dan fungsi Komisi Informasi Pusat yang dibentuk berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Tugas dan fungsi KIP perlu diperluas dengan memberikan tambahan kewenangan Kepada menangani persoalan perlindungan data pribadi. Namanya Pandai saja diubah menjadi Komisi Informasi dan Perlindungan Data Pribadi.
Jangan Maju-menerus merawat memori kolektif yang pendek, sangat pendek, yang pada gilirannya menjadi sumber sumbu pendek. Sahkan sekarang juga RUU Perlindungan Data Pribadi menjadi undang-undang sesuai janji manis Personil dan pimpinan DPR. Jangan ditunda-tunda.

