Peramah yang Marah-Marah

INDONESIA itu bangsa peramah, bukan pemarah. Rakyat dan pemimpinnya suka ramah-tamah serta ogah marah-marah. Kalimat itu sudah didengungkan berabad-abad lampau sejak nama Indonesia belum Terdapat. Jadi, kalau Terdapat yang hobi marah-marah, jangan-jangan dia lupa bahwa ia orang Indonesia.

Hingga kini, watak bangsa ramah itu Lagi Maju dipromosikan. Ke seantero dunia, malah. Tujuannya agar orang luar mau berkunjung ke seluruh Nusantara dan menetap Pelan di tempat-tempat yang dikunjungi itu. Hanya dengan modal awal senyum, salam, dan Tegur, devisa bakal datang mengisi pundi-pundi negeri.

Tetapi, Tak Seluruh sepakat dengan pernyataan bahwa bangsa kita full peramah. Sejarah masa lampau menjadi argumennya. Banyak jejak yang menunjukkan kita juga bangsa pemarah. Sejumlah perebutan kekuasaan di negeri ini, contohnya, didahului kemarahan dan dilakukan dengan penuh amarah.

Demi takhta dan asmara, pada masa Kerajaan Singasari (sekarang Jawa Timur), Ken Arok melampiaskan amarahnya dengan membunuh Tunggul Ametung. Dalam Babad Tanah Jawa juga dilukiskan bagaimana elite kerajaan di Jawa mengajak rakyat Demi ‘marah Serempak-sama’ demi menumbangkan Musuh politik.

Cek Artikel:  Regulasi Batasi Hasrat Presiden

Berkali-kali pula sejarah pergantian kekuasaan di era pascakemerdekaan dilalui dengan amarah bahkan pertumpahan darah. Dari Orde Pelan ke Orde Baru, kemarahan meletup di mana-mana. Begitu pula Ketika Orde Reformasi melengserkan Orde Baru, kemarahan juga membuncah. Di era reformasi, pada masa transisi demokrasi, kemarahan malah mendapat Pentas.

Pada masa transisi politik, konflik sosial begitu gampangnya memicu kekerasan kolektif. Ketika sistem politik otoriter-sentralistis bermetamorfosis ke sistem demokratis-desentralistis, sistem ekonomi kapitalisme pertemanan ke sistem ekonomi pasar dan sistem sosial makin terpolarisasi, letupan kemarahan yang berujung konflik menjadi mudah kita temui.

Hanya gara-gara persoalan sepele, kemarahan Dapat menjadi kekerasan masif yang destruktif. Bahkan, mulai muncul keraguan bahwa kita bangsa penuh sopan santun. Kemarahan, juga kekerasan, seolah-olah menjadi saluran tunggal Demi penyelesaian suatu masalah.

Cek Artikel:  Melawan Gerakan Antivaksinasi

Pada Ketika Jakarta dipimpin Ahok, kemarahan seolah menjadi menu harian. Tetapi, Terdapat yang membela bahwa sudah saatnya Jakarta ‘dimarahi’. Demi sejenak, kemarahan Ahok serasa cespleng mengatasi masalah. Akan tetapi, dalam jangka menengah, ia menjadi bumerang bagi sang pemarah: Tak dipilih dalam Pilkada.

Ketika Ahok sudah mulai Dapat mengerem tabiat marah-marah, muncul pengulang Ahok. Namanya Tri Rismaharini. Bu Risma suka marah-marah sejak menjadi Wali Kota Surabaya. Kebiasaan itu ia bawa hingga menjadi Menteri Sosial. Meski sudah berkali-kali diingatkan Demi menghentikan kemarahan yang Tak perlu, Risma bergeming.

Alhasil, mulai Terdapat perlawanan. Sayangnya, juga dengan Langkah marah-marah. Itulah yang terjadi di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, tengah pekan ini, Ketika Mensos mengunjungi tempat yang disebut sang pemrotes sebagai ‘sarang supplier bansos’.

Dengan marah-marah dan menuding ke arah Bu Mensos, sang pemrotes menyarankan Risma sebaiknya Menyaksikan langsung distribusi bansos ke penerima yang ia sebut Lagi amburadul ketimbang menjenguk supplier. Dengan marah-marah pula Risma merasa difitnah dan meminta data bukti bahwa tempat yang ia kunjungi, termasuk supplier, yang boleh jadi bagian dari sengkarut distribusi bansos. Setidaknya, menurut versi pemrotes.

Cek Artikel:  Daya Magis ASN Jelang Pemilu

Tak mengherankan Apabila dalam ruang besar Republik ini, kemarahan begitu terlihat Jernih. Elite yang marah-marah, dibalas rakyat dengan marah-marah, berakhir dengan merebaknya spiral kemarahan. Maksud substantif dari kemarahan Demi menyetop kesengkarutan pun menguap.

Tetapi, sekali Kembali, saya meyakini itu bukan watak ‘Asli’ bangsa ini. Dalam istilah mahaguru sosiologi Emile Durkheim, itu anomi: situasi kegamangan, keadaan yang berbanding terbalik dengan situasi ‘normal’. Itu kondisi temporer, Tak permanen. Bakal menemukan titik keseimbangan baru manakala sudah mulai terkendali. Senjata kita Sekadar satu, yakni mari menonton parade kemarahan ini dengan rileks. Boleh Sembari menyeruput kopi sembari mendengarkan Rhoma Irama mendendangkan Musik Pemarah dan Santai.

Mungkin Anda Menyukai