NENEK menasihati cucunya sebelum dilantik menjadi pejabat publik. “Cucuku, kalau bicara, janganlah memakai kata-kata yang kotor Asal Mula Langkah bertuturmu mencerminkan tabiatmu.”
Petunjuk nenek dipatuhi cucu pada awal ia menjabat. Lisannya santun. Pelan-Pelan keluar tabiat aslinya. Ia mulai doyan menyebut Seluruh nama penghuni kebun bintang. Ia Bukan Pandai Kembali menjaga lidahnya, menyebut rakyatnya dengan nama binatang.
Mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa Kesal dan sebagainya, disebut makian menurut kamus, sedangkan makian atau umpatan didefinisikan sebagai ‘kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya’.
Pejabat mestinya Bukan mengumbar makian kepada rakyatnya sendiri karena ia tunduk pada Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Pejabat dituntut bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, Mempunyai keteladanan, dan rendah hati.
Etika itu mesti diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, Bukan berpura-pura, Bukan arogan, jauh dari sikap munafik, serta Bukan melakukan kebohongan publik, dan Bukan manipulatif. Lisan dan laku satu.
Pejabat sering lupa daratan karena terlena dengan kuasanya. Padahal, sebagai pejabat publik ia menjadi teladan bagi Seluruh. Ia lupa bahwa Begitu dia berpatroli ke daerah menggunakan Fulus rakyat, termasuk rakyat yang dia maki.
Penelitian Erwita Nurdiyanto berjudul Arti Kata Bahasa Indonesia yang Dapat Mengandung Unsur Makian menarik disimak. Ia menyebut makian dalam bahasa Indonesia dapat berupa kata dasar, kata turunan, berbentuk frasa, dan makian berbentuk kalimat.
Konklusi yang menarik dari penelitian tersebut ialah Eksis Hubungan antara pendidikan dan makian yang digunakan. Orang yang berpendidikan rendah menggunakan makian yang bereferensi binatang. Klausa ‘berengsek Anda’ sering kali digunakan masyarakat berpendidikan tinggi.
Pejabat yang berpendidikan tinggi, tapi menggunakan makian orang-orang Bukan berpendidikan ialah sebuah anomali. Pejabat seperti itu, Apabila Eksis, sebaiknya memeriksakan diri ke rumah sakit jiwa.
Berhati-hatilah menggunakan makian bereferensi binatang karena Dapat berurusan dengan hukum. Sejauh ini Eksis dua Teladan kasus hukum berkaitan dengan penyebutan monyet.
Pertama, Pengadilan Negeri Denpasar pada 27 Oktober 2020 menghukum penjara sembilan bulan seorang ibu yang menghina temannya dengan kata ‘monyet’ di media sosial. Ia dijerat dengan UU ITE.
Kedua, Pengadilan Negeri Surabaya pada 30 Januari 2020 menghukum penjara lima bulan seorang pegawai negeri karena mengucapkan kata ‘monyet’ kepada mahasiswa Papua yang berunjuk rasa. Ia dijerat dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.
Tindakan diskriminatif ras dan etnik, menurut undang-undang itu, dapat berupa berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat Lumrah atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain.
Penyebutan orang sebagai ‘monyet’ itu sesungguhnya merendahkan Derajat Mahluk. Menurut Nick Haslam (2006) yang dikutip Ellen Christiani Nugroho, pada intinya dehumanisasi ialah penyangkalan terhadap esensi kemanusiaan. Dari definisi ini, ia mengklasifikasikan dua bentuk dehumanisasi.
Pertama, penyangkalan terhadap atribut-atribut yang khas manusiawi, yang menyebabkan satu pihak Menyantap dan memperlakukan Mahluk lain seolah-olah binatang. Kedua, penyangkalan terhadap kodrat manusiawi yang Membangun satu pihak Menyantap dan memperlakukan Mahluk lain seperti objek atau mesin.
Kepada menjadi sepenuhnya Mahluk, kata Ellen, kita perlu Lanjut berjuang Kepada melampaui kebinatangan dan berhenti menganggap remeh kehidupan.
Kesalahan pejabat selalu menganggap rakyatnya bodoh. Ruang dialog yang dibuka hanya dipakai Kepada mempertontonkan arogansi. Tipu muslihatnya berlindung di balik Argumen klasik bahwa dirinya Ingin menyejahterakan rakyat.
Sang cucu ialah pejabat yang dipilih rakyat dalam sebuah kontestasi. Ia melupakan Petunjuk lainnya dari nenek bahwa hidup dan Tewas dikuasai lidah. Lidah itu pula yang akan menentukan apakah ia terpilih kembali atau Bukan sebagai pejabat dalam kontestasi berikutnya.

