Kabinet Indonesia Maju, Covid-19, Stunting, dan Tb

Kabinet Indonesia Maju,  Covid-19, Stunting, dan Tb
(MI/Seno)

BEBERAPA media membuat analisis dan evaluasi situasi kesehatan Indonesia dalam masa dua tahun pertama Kabinet Indonesia Maju. Kabinet ini diumumkan pada 23 Oktober 2019 dan dilantik berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 113/P Mengertin 2019 tentang Pembentukan Kementerian Negara, dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024, termasuk tentunya menteri kesehatan.

Dari media, kita membaca arahan Presiden kepada Dr Terawan Agus Putranto yang dilantik menjadi menteri kesehatan ketika itu, antara lain, tentang penanggulangan stunting, industri kesehatan, pelayanan kesehatan dasar, dan juga tata kelola BPJS.

Sementara itu, seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet RI, Presiden Jokowi mengatakan, “Kita ini selalu berada dalam posisi bencana dan ancaman endemik di Indonesia masih ada. Orientasinya ialah preventif. Itu yang akan lebih dititikberatkan. Definisinya, yang berkaitan dengan pola hidup sehat, pola makan yang sehat, olahraga yang sehat, bukan titik beratnya pada mengurusi yang telah sakit. Membangun rakyat kita sehat.”

Tentu, dunia kesehatan kemudian berupaya keras untuk memenuhi harapan Presiden di awal kerja Kabinet Indonesia Maju ini. Kita lihat, ada beberapa kajian konsep dan diskusi sampai ke tingkat DPR tentang BPJS misalnya, juga upaya tentang industri kesehatan. Tetapi, kita tahu semua bahwa yang menjadi masalah utama sepanjang 2020–bahkan sampai sekarang–memang ialah pandemi covid-19.

Sesudah sekitar satu tahun Kabinet Indonesia Maju berjalan, Presiden pada 23 Desember 2020 mengangkat Ir Budi Gunadi Sadikin sebagai menkes. Menkes Ir Budi Gunadi Sadikin diminta Presiden untuk menangani masalah pandemi covid-19 secepatnya dan sebaik-baiknya.

Seperti dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden tanggal 23 Desember 2020, Ir Budi Gunadi Sadikin mengatakan a.l “Tertentu mengenai tugas yang diminta oleh Bapak Presiden agar difokuskan adalah bagaimana kami bisa menangani covid-19 dengan secepatnya, dan sebaik-baiknya”. “Agar semua murid bisa kembali sekolah dengan segera, agar semua pengusaha UMKM bisa segera kembali menggelar tokonya, agar semua keluarga kita bisa kembali bersilaturahim, dan agar seluruh rakyat Indonesia bisa hidup normal kembali”.

 

Kasus covid-19 melandai

 

Kita ketahui bersama bahwa 31 Desember 2019, hanya sekitar dua setengah bulan sejak kabinet Indonesia Maju dilantik, kantor perwakilan WHO di Tiongkok mendapat informasi tentang penyakit yang kini kita kenal sebagai covid-19. Pada tanggal 11 Maret 2020, Direktur Jenderal WHO menyatakan covid-19 sebagai pandemi. Ketika itu sudah ada 118.000 kasus di lebih dari 114 negara, termasuk di Indonesia yang melaporkan kasus pertama pada 2 Maret 2020.

Kemudian, kita menghadapi berbagai dinamika program pengendalian pandemi covid-19 di negeri kita. Kasus terus meningkat, dan mencapai puncak pertama pada 31 Januari 2021 dengan 14.518 kasus sehari. Gelombang pertama ini akhirnya dapat diredam, kasus menurun dan pada 15 Mei 2021 tercatat ada 2.385 kasus baru. Ketika itu sudah mulai dilaporkan ada varian delta, sudah ada juga pengalaman negara lain, seperti India yang mengalami peningkatan kasus tidak terkendali.

Kasus di Indonesia juga terus meningkat, dan baru pada 3 Juli 2021 diputuskan untuk diterapkan PPKM darurat. Di tanggal itu, kasus baru sudah 27.913 orang. Definisinya, kasus sudah meningkat lebih dari 10 kali lipat dan baru diterapkan pembatasan sosial yang ketat.

Memang, setelah PPKM darurat ditetapkan, dan dilanjutkan dengan PPKM sampai sekarang maka kasus naik sampai 56.757 orang di 15 Juli 2021, dan kemudian turun dengan baik. Pada 16 Oktober 2021, dilaporkan ada penambahan 997 kasus dan 44 orang yang meninggal. Tentu, kita menyadari bahwa dalam periode Juli Agustus sudah terjadi cukup banyak kematian anak bangsa karena covid-19, sesuatu hal yang tragis yang seyogianya harus dicegah semaksimal mungkin.

Di hari-hari ini, kita amat bersyukur, kasus sudah amat menurun, dan tetap landai sekitar 1.000 kasus/hari dalam beberapa waktu terakhir ini. Nomor kepositifan, dan angka reproduksi juga sudah turun dan terkendali. Sebaiknya, memang kita mensyukuri data nyata yang kita lihat setiap hari yang diberitakan luas di media kita, dan tidak perlu terlalu terpengaruh dengan hasil indeks dari badan di luar negeri.

Seperti banyak dibicarakan, memang pada ‘Nikkei Recovery Index’ versi 6 Oktober 2021, Indonesia ada di peringkat ke 54. Beberapa negara-negara ASEAN lain peringkatnya di bawah kita, yaitu Singapura di peringkat 70, Malaysia ke 102, Myanmar di 105, Thailand 109, Vietnam 118, Laos 120, dan Filipina di peringkat 121.

Cek Artikel:  Ke Mana Pemilih Bimbang Berlabuh

Hanya, kita perlu ketahui ‘Nikkei Recovery Index’ ini menilai 120 negara dan kita ada di peringkat 54, artinya masih sekitar separuh negara yang dinilai indeks ini yang peringkatnya lebih baik dari kita. India misalnya, juga pernah mengalami kasus yang amat tinggi sampai 414.188 orang per hari pada 6 Mei 2021, lalu juga amat berhasil menangani kasus covidnya, dan pada 6 Oktober 2021 India ada di peringkat ke 40 pada ‘Nikkei Recovery Index’.

Negara-negara lain, yang peringkatnya juga lebih baik dari kita di ‘Nikkei Recovery Index’ antara lain ialah Togo, Pakistan, Bangladesh dan Arab Saudi di urutan kelima yang khabarnya mulai melonggarkan social distancing di dalam Masjid.

Di sisi lain, ada juga ‘Bloomberg Resilience Index’ yang memberi memberi peringkat pada 53 negara di dunia. Pada 28 Juli 2021, negara kita ada di peringkat terbawah, ke 53 dari indeks mereka. Lampau peringkat kita terus membaik dan pada versi 28 September menjadi peringkat 49. Peringkat negara-negara ASEAN lain juga di bawah kita, yaitu Thailand di peringkat 50, Malaysia di 51, Vietnam 52, dan Filipina peringkat 53.

Jadi, walaupun banyak negara ASEAN peringkatnya di bawah kita, tetap saja Indonesia ada di peringkat 49 dari 53 negara. Negara yang peringkatnya lebih baik dari kita dalam ‘Bloomberg Resilience Index’ versi 28 September 2021 ini ialah India di peringkat ke 45, Nigeria ke 47, Bangladesh ke 39, Mesir ke 36, dan Singapura di peringkat ke 19, cukup jauh di atas kita.

Satu data lain, yang juga cukup banyak dikutip ialah John Hopkins University yang pada 12 September 2021 mengapresiasi RI karena tercatat berhasil menurunkan kasus sebesar 58% dalam waktu dua pekan. Tetapi, kalau kita lihat dari sisi lain, ‘John Hopkins University’ juga menyajikan data kematian yang pada 15 Oktober 2021 menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke tiga tertinggi angka fatalitas (observed case-fatality ratio – CFR) dari 20 negara yang paling terdampak, yaitu 3,4%, di bawah Meksiko (7,6%) dan Bulgaria (4,2%).

Negara ASEAN lain lebih rendah angka fatalitasnya, Vietnam 2,4%, Filipina 1,5%, Malaysia 1,2% dan Thailand 1,0%. India dengan angka fatalitas 1,3%, juga lebih rendah daripada kita. Definisinya, memang kita dapat saja melihat perbandingan dengan negara lain. Tetapi, akan lebih baik kalau kita berkonsentrasi, dan sekali lagi mensyukuri landainya kasus yang ada sekarang ini. Tentu dengan terus melakukan upaya keras agar kasus tidak meningkat lagi.

 

Akhir tahun

Sekarang banyak dibicarakan tentang perkiraan akan ada peningkatan kasus di akhir tahun 2021. Tentu saja, ini hanya perkiraan, yang setidaknya berdasar pada tiga hal. Pertama, pengalaman selama ini, kalau ada peningkatan mobilisasi karena libur panjang, kasus akan naik. Kita tahu, pada akhir tahun akan ada libur Natal dan tahun baru, yang tentu perlu diantisipasi dengan amat baik.

Kedua, pada kenyatannya sekarangpun relatif aktifitas masyarakat terus meningkat. Mobilitas juga terus meningkat di berbagai daerah. Sementara, tidak semua menjaga jarak, dan atau memakai masker dengan benar.

Hal ketiga, sampai 16 Oktober 2021 masih 70% penduduk kita belum mendapat perlindungan memadai akibat vaksin belum dapat vaksin dua kali. Bahkan, masih lebih 75% Lansia kita belum dapat vaksin memadai. Kita tahu, bahwa vaksin yang digunakan kini (kecuali Johnson & Johnson) memang diteliti untuk dua kali pemberian, diproduksi untuk dua kali suntikan, dan mendapat izin edar untuk dua kali suntikan pula. Jadi, baru dengan dua kali suntikan vaksinasilah maka efek proteksi dapat optimal, tidak cukup hanya satu kali.

Tentang berapa besar peningkatan kasus akhir tahun ini, kalau toh akan terjadi, maka akan tergantung setidaknya dari tujuh hal. Pertama, seberapa patuh kita semua pada penerapan protokol kesehatan 3 atau 5 M. Kedua, seberapa ketat kebijakan pembatasan sosial oleh pemerintah sesuai derajat PPKM yang ada.

Ketiga, sebaik apa kita memantau data perkembangan kasus dari waktu ke waktu, dan kalau ada kenaikan, maka seberapa cepat dan ketat pembatasan sosial diberlakukan. Definisinya, jangan sampai ada kenaikan kasus lebih 10 kali seperti bulan Juli 2021 yang lalu, dan baru PPKM darurat diterapkan.

Cek Artikel:  Adios Era Sembunyi Pajak

Tentu kita semua tidak berharap kasus naik lagi. Tetapi, kalau memang naik lagi, sebaiknya sesudah tiga atau maksimal lima kali kenaikan, maka pembatasan sosial yang lebih ketat diberlakukan, jangan sampai jatuh korban tidak terkendali. Hal keempat, seberapa cepat vaksinasi ditingkatkan. India yang penduduknya 4 kali kita sudah menyuntik 8 juta orang sehari, maka target kita 2 juta sehari rasanya cukup tepat dan semoga segera dapat dicapai.

Hal kelima, yang jadi faktor penentu pengendalian peningkatan kasus ialah seberapa aktif tes dan telusur dilakukan. Kembali ambil contoh India yang kasusnya juga sudah amat landai, peringkat di Nikkei lebih baik dari kita, India sekarang ini tetap melakukan 1,5 juta tes sehari. Jadi, kalau penduduk kita seperempat India, baiknya target tes sekitar 400 ribu sehari dapat diterapkan, dan perlu merata secara proporsional di semua kabupatan/kota, jangan hanya banyak di provinsi tertentu saja.

Selain itu, kegiatan telusur juga harus dilakukan pada 15 kontak dari setiap kasus yang ada. Dalam hal tes ini, maka juga diperlukan peningkatan jumlah tes Whole Genome Sequencing (WGS) untuk kemungkinan antisipasi varian baru. Presiden Joko Widodo pada 25 Juli 2021 sudah menyampaikan, “Kita harus selalu waspada, ada kemungkinan dunia akan menghadapi varian lain yang lebih menular.” Kepada deteksi kemungkinan varian ini, maka tentu perlu pemeriksaan WGS.

Data di GISAID, yang mengompilasi jumlah pemeriksaan WGS seluruh dunia menunjukkan, pada 16 Oktober 2021 Indonesia tercatat memasukkan 7.853 pemeriksaan WGS. Sementara Singapura, sudah memasukkan 8.361 dan India bahkan sudah 69.833 WGS. Yang paling tinggi ialah Amerika Perkumpulan dengan 1.312.059 pemeriksaan WGS, dan Inggris di peringkat kedua dengan angka 1.039.896 WGS.

Hal keenam, yang akan memengaruhi ada tidaknya dan atau seberapa besarnya kenaikan kasus di akhir tahun ini adalah, bagaimana kita mengendalikan pintu masuk negara dalam antisipasi kemungkinan peningkatan kasus dari mereka yang datang dari luar negeri. Dalam hal ini, ada tiga tahap yang perlu dilakukan. Pertama pemeriksaan di kedatangan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), termasuk tes PCR.

Kedua, lama karantina, yang memang sebaiknya sekitar 7 sampai 14 hari, jangan lebih singkat dari itu. Ketiga, sesudah selesai karantina maka mereka yang datang dari luar negeri perlu terus dalam pemantauan petugas kesehatan setempat, dan kalau ada keluhan maka harus segera dideteksi dan diperiksa lebih lanjut.

Hal ketujuh yang menentukan ada tidaknya kenaikan kasus covid-19 di akhir tahun, atau bahkan di masa datang ialah ada tidaknya varian baru yang muncul di dunia dan di RI, dan kalau ada, apakah varian baru akan lebih menular atau tidak. Dalam hal ini, pada 15 Juli 2021 Emergency Committee WHO tentang pandemi covid-19 menyebutkan ada kemungkinan kuat munculnya varian baru yang mungkin lebih berbahaya, menyebar di dunia dan bahkan mungkin lebih sulit dikendalikan.

Selain hal di atas, kita perlu selalu menjaga kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, yang meliputi tiga aspek, pelayanan primer, konsep rujukan serta pelayanan di rumah sakit. Tertentu untuk rumah sakit, maka juga ada tiga hal yang harus selalu disiagakan sebagai bagian dari hospital resilience, pertama, sumber daya manusia (termasuk daftar SDM terampil siap tugas kalau-kalau dibutuhkan). Kedua, ketersediaan alat dan obat, termasuk mekanisme kalau ada kekosongan, serta ketiga, aspek manajemen lapangan, seperti konversi ruang rawat, manajemen risiko dll.

 

Stunting dan tuberkulosis

Seperti disampaikan di atas, bahwa salah satu tugas pada awal Kabinet Indonesia Maju ialah pengendalian stunting. Dalam perkembangannya, sesuai hasil Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden pada 25 Januari 2021, maka Presiden memerintahkan BKKBN mengoordinasikan pelaksanaan program penurunan stunting.

Presiden juga memerintahkan untuk memfokuskan alokasi anggaran terkait program penurunan stunting yang selama ini tersebar di lebih dari 20 kementerian/lembaga K/L, dan kegiatan BKKBN dalam upaya percepatan penurunan stunting, akan didukung oleh beberapa K/L itu, dan juga pemerintah daerah. Presiden juga meminta, supaya daerah-daerah provinsi, kabupaten, dan kota, terutama yang angka stunting-nya masih tinggi, betul-betul memiliki kepedulian, memiliki kesungguhan dalam ikut serta menangani stunting ini.

Cek Artikel:  Mewujudkan Mimpi Batam

Presiden menargetkan penurunan angka stunting hingga mencapai kisaran 14 % pada tahun 2024. Sementara, angka stunting di Indonesia pada tahun 2019 ialah sebesar 27,6 % dan diperkiraan mengalami kenaikan di tahun 2020 akibat adanya pandemi covid-19.

Kepada mencapai target 14% di tahun 2024 itu, setiap tahun harus tercapai penurunan angka stunting sebesar 2,7 %. Presiden sangat memberikan perhatian pada upaya penurunan stunting ini karena sangat memengaruhi tumbuh kembang anak-anak Indonesia. Data lain dari Bank Dunia menyebutkan bahwa angka penyintas stunting di angkatan kerja di Indonesia mencapai 54%.

Dewasa ini, dikembangkan lima pilar dalam strategi nasional untuk pengendalian stunting. Mencakup mulai peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan, komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, peningkatan konvergensi serta intervensi sensitif dan spesifik, peningkatan ketahanan pangan dan gizi serta penguatan dan pengembangan sistem data, riset dan inovasi.

Sementara itu, ada delapan aksi konvergensi, analisis situasi, rencana kegiatan, rembuk stunting, peraturan bupati/wali kota tentang peran desa, pembinaan Kader Pembangunan Insan (KPM), sistem manajemen data, pengukuran dan publikasi, serta review kinerja tahunan.

Tentang tuberkulosis Tb, ‘Mendunia TB Report 2020’ menyebutkan bahwa Indonesia ialah penyumbang kasus Tb terbesar kedua di dunia, sesudah India. Report ini menyampaikan bahwa ada 845.000 kasus baru Tb di Indonesia dalam setahunnya, dan ada 98.000 yang meninggal akibat Tb pada 2019 atau setara dengan 11 kematian setiap jam.

Presiden Jokowi, kemudian mencanangkan bahwa Indonesia akan eliminasi Tb pada 2030. Lampau, pada Agustus 2021 dikeluarkanlah Perpres No 67/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Dalam perpres ini, jelas disebutkan, bahwa angka kejadian (incidence rate) TB yang sekarang 312/100.000 penduduk harus turun jadi 65/100.000 penduduk di tahun 2030. Juga secara jelas disebutkan, bahwa angka kematian akibat Tb yang sekarang 34/100.000 penduduk harus turun menjadi 6/100.000 penduduk pada 2030. Kedua target di Perpres 67/2021 ini menunjukkan penurunan yang amat tajam, dan memang harus dilakukan agar Indonesia mencapai eliminasi Tb di 2030.

Beberapa hari lalu di bulan Oktober 2021 ini, WHO menerbitkan Mendunia Tb Report 2021, yang banyak sekali membahas dampak covid-19 pada penanggulangan TB di dunia. Akibat yang paling jelas ialah penurunan kemampuan menemukan orang yang sakit Tb, turun dari 7,1 juta pada tahun 2019 menjadi 5,8 juta di 2020, padahal di tahun 2020 ada sekitar 10 juta orang yang sakit Tb. Definisinya, dari 10 juta itu ada 4,2 juta orang yang tidak berhasil ditemukan, mereka tidak disembuhkan dan tetap menjadi sumber penularan bagi masyarakat sekitarnya.

Mendunia TB Report 2021 menyampaikan ada 16 negara yang menyebabkan hal ini dan tiga teratas ialah India, Indonesia dan Filipina. Dalam laporan 2021 ini juga disampaikan, tentang 30 negara dengan beban Tb terbesar di dunia yang merupakan 86% dari seluruh insiden kasus Tb di dunia. Delapan dari 30 negara itu ialah penyumbang dua per tiga kasus Tb di dunia, yaitu India (26%), Tiongkok (8,5%), RI (8,4%), Filipina (6,0%), Pakistan (5,8%), Nigeria (4,6%), Bangladesh (3,6%), dan Afsel (3,3%).

Disampaikan juga bahwa ada delapan negara yang cakupan pengobatan Tb nya di tahun 2020 rendah dan mengkawatirkan, yaitu Republik Afrika Tengah, Gabon, Indonesia, Lesotho, Liberia, Mongolia, Nigeria, dan Filipina. Indonesia juga ada di peringkat keempat (sesudah Tiongkok, Kongo, dan India) negara-negara yang menyumbang kesenjangan antara jumlah kasus resistensi TB (MDR/RR-TB) dengan jumlah yang berhasil diobati. Sementara itu, Indonesia juga tercatat di peringkat keempat negara-negara yang mengalami penurunan notifikasi, antara 2019 dan 2020, sesudah Gabon, Filipina, dan Lesotho.

Sekalian ini menunjukkan bahwa kerja amat keras masih harus dilakukan untuk mencapai eliminasi tuberkulosis di Indonesia 9 tahun lagi di tahun 2030. Tentu, diperlukan kerja maksimal dari Kabinet Indonesia Maju di sisa masa baktinya sampai 2024, dengan dukungan peran serta dari seluruh pemangku kepentingan. Kepada ini, sudah banyak kajian dan usulan yang dimasukkan tentang eliminasi Tb 2030 dan bagaimana mengimplementasikan Perpres No 67/2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Tentu, kita semua berharap agar target dalam pengendalian stunting pada 2024 dan juga target eliminasi Tb 2030 akan dapat tercapai demi kesehatan dan kesejahteraan rakyat kita semua.

Mungkin Anda Menyukai