
SETIAP bulan Mei, kita diingatkan pada dua tonggak sejarah bangsa yang Sebaiknya memperkuat arah pembangunan pendidikan nasional, Yakni Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei. Keduanya bukan sekadar seremonial tahunan, karena di baliknya tersimpan pesan bahwa Indonesia lahir dari hasil pendidikan yang mengedepankan semangat berpikir kritis dan cita-cita luhur Kepada membangun keadilan sosial.
Rontok 2 Mei yang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional merupakan hari lahir Ki Hadjar Dewantara, tokoh sentral pendidikan Indonesia. Dalam berbagai tulisannya, Ki Hadjar menekankan bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak tenaga kerja, melainkan juga membentuk Insan merdeka, yakni pembelajar yang berpikir kritis, Sendiri, dan Mempunyai kesadaran sosial (Dewantara, 1964). Pendidikan menurut beliau adalah proses memanusiakan Insan, bukan menstandarkan anak menjadi produk seragam.
Adapun 20 Mei 1908 merupakan momen berdirinya Budi Utomo, organisasi kepemudaan yang diinisiasi oleh sekelompok pemuda terdidik yang sadar bahwa penjajahan Belanda hanya Dapat dilawan dengan kekuatan Intelek dan rasa (Putra, 2023). Para pemuda ini Kagak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tajam secara moral dan sosial. Kepedulian terhadap rakyat kecil, kesenjangan di masyarakat, dan masa depan bangsa adalah Fakta yang membangkitkan mereka Kepada bergerak melawan penjajahan.
Dua peristiwa di atas Mempunyai satu benang merah, Yakni kebangkitan nasional Indonesia dibangun oleh generasi yang berpikir kritis dan Acuh pada keadilan sosial. Maka, Kagak berlebihan Kalau kita menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kesadaran sosial adalah fondasi dari Indonesia sebagai bangsa. Keduanya hanya Dapat dilatih dan ditumbuhkan melalui pendidikan yang berkualitas, yakni pendidikan yang berorientasi pada keadilan sosial, bukan sekadar pencapaian akademik. Tetapi, pertanyaannya, apakah pendidikan kita hari ini Tetap setia pada fondasi tersebut? Atau, masihkah pendidikan kita hari ini mewarisi semangat para pendiri bangsa itu?
REALITAS DAN Cerminan
Sayangnya, Kalau kita jujur Memperhatikan Persona pendidikan Indonesia hari ini, yang tampak Bahkan sebaliknya. Sistem pendidikan kita lebih sibuk menyiapkan siswa menghadapi berbagai Jenis tes akademik daripada menyiapkan mereka Kepada berkontribusi menyelesaikan masalah-masalah sosial di Sekeliling mereka.
Kurikulum banyak bicara tentang pengetahuan, tetapi miskin dalam mengajarkan keberanian moral. Proses pendidikan di sekolah terasa seperti ajang pamer pencapaian akademik, bukan perjalanan menjadi Insan yang utuh. Alih-alih mendorong anak Kepada bertanya, kita Bahkan lebih banyak menuntut mereka Kepada hafal. Di sekolah, alih-alih memberi ruang berpikir kritis kepada siswa, kita sering kali menjadikan mereka sebagai objek Kepada memenuhi Sasaran administratif. Dalam konteks ini, pendidikan kita kian menjauh dari prinsip pendidikan perdamaian, yakni pendidikan yang bertujuan mengembangkan kapasitas Insan secara utuh sebagai Insan yang damai, tanpa kekerasan, dan bertanggung jawab Kepada mewujudkan dunia yang berkeadilan sosial (Reardon, 2021).
Situasi ini diperparah oleh tantangan Era digital yang sangat kompleks. Arus informasi yang begitu Segera Kagak diimbangi dengan kemampuan literasi kritis (Najah dkk, 2024). Banyak anak dan remaja terjebak dalam dunia maya yang penuh kekerasan, hoaks, dan ujaran kebencian, tanpa pernah diajak merenung, memahami, dan memilah. Ditambah Kembali, di Demi mereka membutuhkan teladan, yang terlihat di ruang publik Bahkan sering kali adalah Misalnya-Misalnya elite yang antikritik, enggan mendengar, bahkan menggunakan kuasa Kepada membungkam.
Di tengah kekacauan itu, para guru di sekolah yang sering dilihat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan sering kali Kagak diberi ruang Kepada bertumbuh. Kualitas pendidik Tetap menjadi isu besar. Banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan tentang pendekatan pembelajaran yang memanusiakan. Mereka Tetap disibukkan dengan beban administratif yang menumpuk dan ketidakpastian kesejahteraan. Bagaimana mungkin guru Dapat menumbuhkan Watak yang Berkualitas, ketika mereka sendiri belum diperlakukan dengan Berkualitas?
Ketika anak dididik hanya Kepada Taat dan takut salah, maka ia Kagak akan tumbuh menjadi Penduduk negara yang berani bersuara ketika Eksis ketimpangan. Dan ketika guru lebih dituntut Kepada menuntaskan Sasaran belajar daripada memfasilitasi dialog, maka hilanglah kesempatan emas Kepada menumbuhkan empati dan solidaritas.
APA YANG Dapat KITA LAKUKAN?
Meskipun tantangannya besar, jalan ke depan tetap Eksis dan harus kita tempuh Berbarengan. Kita Dapat memulai dari ruang terdekat. Di rumah, orangtua mulai belajar berhenti mengukur anak hanya dari prestasi akademik dan lebih banyak mendengar maupun memberi ruang bagi anak Kepada bertanya, menyimak, dan bersuara, bahkan ketika pendapatnya berbeda. Di sekolah, manajemen sekolah memfasilitasi guru Kepada berkembang, sedangkan guru Maju belajar dan berani menciptakan ruang kelas yang Terjamin, kritis, dan penuh empati agar siswa Bisa menjadi Insan yang berani berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Di lingkungan masyarakat, Penduduk negara juga organisasi-organisasi di bidang terkait perlu semakin kritis bersuara melalui berbagai platform yang tersedia Kepada mendorong kebijakan pendidikan yang Kagak hanya Konsentrasi pada pembangunan fisik sekolah, tapi juga pembangunan Logika dan Watak.
Di sisi sebaliknya, para pemegang kekuasaan yang juga pengambil keputusan, perlu belajar mendengar lebih Berkualitas dan menerima kritik. Jangan biarkan semangat Ki Hadjar Dewantara maupun Budi Utomo hanya menjadi pesan dalam pidato Upacara.
Pendidikan yang mendorong kemampuan berpikir kritis dan membangun kepedulian pada keadilan sosial Sebaiknya bukanlah kemewahan. Ini bukanlah pendidikan yang hanya Dapat diakses oleh mereka yang Mempunyai sumber daya agar Dapat mengikuti pelatihan-pelatihan terkait. Ia adalah kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi Kalau kita Ingin masa depan Indonesia dipenuhi oleh Insan-Insan yang berani, adil, dan bijak.
Dua peringatan di bulan Mei ini bukan hari nasional semata. Ia adalah pengingat bahwa kita pernah, dan Sebaiknya Dapat Kembali, membangun pendidikan yang membebaskan dan membangkitkan. Kini saatnya kita hidupkan kembali semangat itu di rumah, di sekolah, dan di ruang publik. Bukan hanya Kepada kita, melainkan juga Kepada generasi mendatang yang Layak hidup di Indonesia yang lebih damai dan berkeadilan sosial.

