Memindahkan Podium Debat

DEBAT calon presiden pada 12 Desember 2023 menarik perhatian saya. Menarik bukan pada pentas debat yang berlangsung selama 120 menit, melainkan pada klaim keunggulan setelah debat.

Taatp kubu capres mengeklaim lebih unggul dari pihak lain. Memang tidak ada kecap nomor dua, semua mengaku nomor satu. Para analis politik juga berlomba memberikan penilaian. Tetapi, basis penilaian mereka lebih kental beraroma sebagai suporter.

Debat itu penting. Terdapat kondisi objektif yang menyebabkan debat tersebut berguna bagi pemilih. Kondisi dimaksud ketika banyak pemilih ragu-ragu alias masih bimbang ketika persaingan ketat dan ketika janji setia kepada partai mulai luntur.

Pemilih yang masih ragu-ragu cukup signifikan. Survei menyebutkan jumlah pemilih bimbang mencapai 28,7%. Kalau dikaitkan dengan kesetiaan kepada partai yang lemah, bisa diprediksikan pemilih ragu-ragu itu berasal dari kalangan muda.

Jumlah pemilih muda mencapai 56,45%, terbesar dalam sejarah pemilu di negeri ini. Sebanyak 33,6% pemilih adalah generasi milenial (kelahiran 1980 hingga 1994) dan 22,85% pemilih dari generasi Z (kelahiran 1995 hingga 2000-an).

Cek Artikel:  Dikit-Dikit Bansos

Tantangan sesungguhnya debat capres ialah memindahkan panggung debat dari siaran langsung televisi menjadi konten debat di media sosial sebab generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu mereka bersama internet.

Berdasarkan hasil survei Alvara Research Center, ada 34% responden dari generasi tersebut yang ketagihan internet. Terdapatpun generasi milenial yang mencandu internet mencapai 20,4%. Mereka menghabiskan waktu bersama internet di atas 7 jam dalam sehari.

Fakta itu berkorelasi dengan hasil survei CSIS pada 2023 bahwa anak muda kini menjadikan media sosial sebagai sumber referensi informasi utama. Pada 2022, pemanfaatan media sosial sebagai sumber informasi sebesar 59%, sedangkan akses terhadap televisi ada di angka 32%.

Hasil survei CSIS itu bisa dipakai untuk menjelaskan betapa kebisingan debat capres langsung berpindah ke media sosial. Tiap-tiap kubu capres mengunggah potongan debat ke media sosial sesuai kepentingan mereka. Kebenaran informasi dijungkirbalikkan sesuai keinginan mereka dengan satu tujuan ialah mempromosikan capres.

Cek Artikel:  Pengobatan Alternatif

Sia-sia mempromosikan capres di atas basis kebohongan. Studi yang dilakukan McKinsey (2018) menyebutkan generasi Z merupakan generasi yang menikmati kemandirian dalam proses belajar dan mencari informasi. Mereka senang untuk memegang kendali akan keputusan yang mereka pilih. Mereka tidak telan bulat-bulat informasi yang berseliweran di media sosial.

Elok nian bila tim sukses menggambarkan keunggulan sosok capres yang sesuai keinginan generasi muda. Pada survei Agustus 2022, CSIS menemukan terjadi perubahan kebutuhan pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional mendatang.

Sebanyak 34,8% responden berpendapat bahwa pemimpin yang jujur dan antikorupsi dibutuhkan Indonesia dan 15,9% untuk karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana. Selain itu, terjadi peningkatan kebutuhan terkait pemimpin yang berpengalaman, yakni naik dari 8,7% pada 2019 menjadi 16,8% pada 2022.

Pada saat debat di KPU, tiga capres menyampaikan pandangan masing-masing terkait pemberantasan korupsi. Capres Ganjar Pranowo menyampaikan pemberantasan korupsi ialah salah satu isu yang harus dituntaskan. Ganjar ingin koruptor ditahan di LP Nusakambangan.

Cek Artikel:  Komodo Gemuk Rakyat Stunting

Capres Anies Baswedan menekankan pentingnya memberantas korupsi. Anies menilai koruptor harus dibikin jera. “Dengan undang-undang perampasan aset disahkan dan hukumannya diikuti pemiskinan,” kata Anies.

Capres Prabowo Subianto juga bertekad untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. “Prabowo-Gibran, kita akan memperbaiki yang harus diperbaiki, kita akan tegakkan apa yang perlu ditegakkan dan kita bertekad memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya,” kata Prabowo.

Selain media sosial, kubu capres juga menggunakan lembaga survei. Pesan kemenangan yang berulang-ulang lewat lembaga survei bertujuan agar pemilih merasa nyaman memilih kandidat yang diprediksikan bakal menang. Dalam sejumlah kasus, pemilih justru dengan sadar memilih kandidat yang diprediksikan kalah.

Pemilih muda mulai muak dengan lembaga survei yang merangkap konsultan pemenangan capres. Mereka mencari informasi terkait capres di media sosial.

Mungkin Anda Menyukai