
SIDANG tindak pidana korupsi (tipikor) pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atas terdakwa Menteri Perdagangan (Mendag) RI periode Agustus 2015-Juli 2016 Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dengan surat dakwaan No Reg perkara PDS – 06/M.1.10/Ft.1/02/2025 Copot 6 Maret 2025 telah memasuki babak baru.
Pada persidangan keempat, Rupanya jaksa Kejaksaan Akbar (Kejagung) berkelit Enggak memenuhi perintah Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada sidang sebelumnya Buat menyerahkan laporan audit perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dugaan korupsi importasi gula kepada penasihat hukum, terdakwa, dan majelis hakim. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memperingatkan jaksa Buat segera menyerahkannya sebelum agenda persidangan pemeriksaan saksi sebagai pemenuhan hak konstitusi terdakwa.
Pasalnya Laporan Hasil Audit PKKN BPKP atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan 2015 sd 2016 Nomor PE.03/R/S-51/D5/01/2025 Copot 20 Januari 2025 menjadi dasar surat dakwaan jaksa. Pada perkara tipikor pengenaan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara sebagai unsur pokok pidana korupsi sehingga terdakwa, penasihat hukum, dan Ahli dapat menggugat hasil audit BPKP yang digunakan sebagai pembuktian dakwaan pidana korupsi tersebut.
Jaksa seyogianya memberikan kesempatan dan waktu yang cukup kepada terdakwa melakukan Penerangan dan sanggahan atas hasil audit PKKN Buat memastikan kebenaran informasi tersebut, Berkualitas bentuk maupun jumlah kerugiannya dengan Enggak mengulur-ulur waktu penyerahannya.
Menurut Pasal 51 KUHAP, sejatinya hak tersangka Buat diberitahukan dengan Jernih dalam bahasa yang dimengertinya mengenai delik hukum yang disangkakan padanya, pada waktu pemeriksaan dimulai, termasuk penghitungan kerugian keuangan negara yang disangka sebagai perbuatannya.
Kendati jaksa belum menyerahkan hasil audit PKKN dari BPKP kepada majelis hakim, penasihat hukum, dan terdakwa, dari surat dakwaan jaksa yang dibacakan dalam sidang yang terbuka Buat Standar secara substansi materi hasil audit dimaksud dapat dianalisis. Eksaminasi terhadap hasil audit BPKP yang menjadi dasar dakwaan dapat dilakukaan dari aspek proses dan substansinya.
KEJANGGALAN PROSES AUDIT PKKN
Proses audit PKKN BPKP itu secara kronologis Tamat penerbitan hasil audit tersebut berpotensi menuai kontroversi. Pertama, Kejagung meningkatkan status penanganan perkara importasi gula ke tahap penyidikan pada 3 Oktober 2023 dengan surat perintah penyidikan nomor Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023.
Kedua, permintaan audit kepada Kepala BPKP dengan surat Direktur Penyidikan Kejagung nomor R-2486/F2/Fd.2/10/2023 Copot 11 Oktober 2023 perihal Donasi audit perhitungan kerugian keuangan negara dan penunjukan Ahli.
Ketiga, melaksanakan ekspose penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi importasi gula pada 9 November 2023 dan, keempat, penugasan auditor BPKP dengan surat tugas BPKP nomor PE 03/ST-211/D501/1/2024 Copot 15 Oktober 2024.
Kelima, menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dan langsung ditahan dengan surat perintah penetapan tersangka nomor TAP-60/F.2/Fd.2/10/2024 Copot 29 Oktober 2024. Keenam, BPKP menerbitkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara pada 20 Januari 2025.
Kejanggalan proses audit PKKN tecermin pada lamanya BPKP menerbitkan surat tugas audit PKKN, terhitung sejak surat permintaan Kejagung pada 11 Oktober 2023 Tamat penugasan auditor BPKP pada 15 Oktober 2024. Dalam kurun waktu satu tahun lebih, memunculkan pertanyaan kenapa Kejagung Enggak meminta audit PKKN tersebut kepada BPK, padahal BPK dengan Kejagung mempunyai MoU kerja sama permintaan audit.
BPK telah melakukan audit kepatuhan pengelolaan impor periode 2015 Tamat dengan semester I 2017 LHP BPK nomor 47/LHP/XV/03/2018 Copot 2 Maret 2018. Sesuai dengan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, apabila pemeriksa menemukan adanya predikasi atau indikasi bahwa kecurangan telah dan sedang terjadi, BPK melakukan audit Pengusutan kerugian keuangan negara. Faktanya BPK Enggak melakukannya, yang dapat disimpulkan hasil audit BPK Enggak menemukan terjadinya indikasi pidana korupsi atas impor dimaksud.
Hal itu juga sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menyebutkan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling Lamban satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
Selanjutnya, Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 menegaskan Member BPK yang memperlambat atau Enggak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3 miliar.
Adanya ketentuan mengenai kewajiban BPK melaporkan pidana korupsi semakin mempertegas bahwa dalam kasus importasi gula itu Enggak Terdapat unsur pidana korupsinya. Itu disebabkan BPK sama sekali Enggak pernah melaporkan adanya unsur pidana kepada instansi yang berwenang.
Konsekuensinya apabila dalam kasus itu pihak Kejagung menyatakan adanya unsur pidana, sementara BPK Enggak pernah melaporkan adanya unsur pidana, Member BPK kalau Enggak mengklarifikasi dan membantah tudingan tersebut berpotensi Pandai dikenai Hukuman pidana sesuai dengan ketentuan tersebut.
Demikian pula dengan auditor BPK, juga Pandai dikenai Hukuman pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang menyebutkan setiap pemeriksa yang dengan sengaja Enggak melaporkan Intervensi pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan dipidana dengan pidana penjara paling Lamban 1 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.
Selain itu, BPK telah mengaudit Buat periode 2015 dan 2016 telah menerbitkan LHP atas laporan keuangan Kemendag dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Mengingat pada periode yang diduga Kejagung telah terjadi kerugian keuangan negara telah diterbitkan tiga laporan audit tersebut, Semestinya Kejagung terlebih dahulu mengajukan permohonan perhitungan kerugian keuangan negara kepada BPK yang telah mengaudit sebelumnya.
Pertimbangannya BPK dengan segala kewenangan dan independensi mendapat mandat konstitusi melakukan audit PKKN dan sebelumnya telah melakukan audit importasi gula dalam periode yang tercakup dengan sangkaan dugaan korupsi Tom Lembong. Apakah Kejagung merasa BPK Enggak sependapat dengan adanya kerugian keuangan negara dalam peristiwa impor tersebut?
Pertanyaan tersebut perlu dijawab Kejagung mengingat dalam koordinasi audit Kejagung harus lebih memprioritaskan permintaan audit PKKN kepada BPK, Berkualitas karena lembaga supremasi audit itu Mempunyai kewenangan konstitusional maupun objek yang diaudit sudah dan sedang diaudit BPK.
Selain itu, keterlambatan laporan audit PKKN BPKP membuka tabir bahwa sejatinya penetapan dan penahanan Tom Lembong Tamat Begitu dimulai persidangan yang memakan waktu empat bulan dinilai terlalu dipaksakan. Pasalnya, bukti surat berupa hasil audit menurut dakwaan jaksa baru diterbitkan BPKP pada 20 Januari 2025. Padahal, pada sidang praperadilan Ahli perhitungan kerugian keuangan negara telah membantah secara formal belum Terdapat bukti kerugian keuangan negara.
Eksepsi Kejagung sebagai termohon yang menyatakan secara formal sudah Mempunyai alat bukti yang cukup Rupanya dapat diterima hakim tunggal dengan menolak permohonan Tom Lembong sebagai pemohon pada praperadilan tersebut.
PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA YANG ABSURD
Surat dakwaan jaksa terkait dengan unsur pokok korupsi kerugian keuangan negara didasarkan pada hasil audit BPKP Mempunyai dua kategori, yakni kerugian keuangan negara dari pendapatan negara dan kerugian keuangan negara dari kemahalan harga beli gula yang dilakukan BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Analisis lebih lanjut terhadap konsep kerugian keuangan negara yang dihitung BPKP dapat disimpulkan Mempunyai kelemahan mendasar.
Konsepsi PKKN yang menghasilkan kerugian keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar dinilai absurd dan Enggak logis. Nomor tersebut diperoleh dari kerugian keuangan negara atas kekurangan pembayaran bea masuk (BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) sebesar Rp383.387.229.804,28 dan kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan GKP Buat penugasan stabilisasi harga sebesar Rp194.718.181.818,19.
Importir telah melakukan pembayaran BM dan PDRI sesuai dengan tarif Buat GKM sehingga Enggak beralasan menentukan PKKN dari selisih BM dan PDRI antara GKP dan GKM. BPKP telah menggunakan Dugaan apabila yang diimpor ialah GKP, Terdapat potensi pendapatan negara yang hilang sebesar selisih antara BM dengan PDRI GKP dan GKM.
Sementara itu, menghitung kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan GKP sebesar Rp194.718.181.818,19 diperoleh dari selisih nilai pembelian GKP oleh PT PPI sebesar Rp1.832.049.545.455,55 dengan nilai pembelian GKP oleh PT PPI berdasarkan harga patokan petani (HPP) sebesar Rp1.637.331.363.636,36.
Menggunakan harga pembanding dari HPP Tetap terlalu sumir karena HPP merupakan harga terendah GKP pada tingkat petani yang harus dibayar produsen GKP, yang tentunya berbeda dengan harga beli GKP oleh PT PPI kepada produsen GKP. PT PPI Enggak dapat membeli GKP kepada produsen senilai HPP karena HPP merupakan harga pada tingkat petani kepada produsen yang dapat saja dibayar produsen dengan harga di atas HPP. Selanjutnya, produsen juga memperhitungkan tingkat keuntungan sesuai dengan praktik bisnis yang sehat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 dalam perkara pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor mengubah pidana korupsi dari delik formal menjadi delik materiel. Konsekuensi dari putusan MK tersebut pembuktian delik kerugian keuangan negara harus Konkret dan Niscaya berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN).
Analisis hasil audit BPKP menyatakan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp578 miliar bukan kerugian keuangan negara yang Konkret dan Niscaya jumlahnya (actual loss), melainkan Tetap merupakan kerugian yang Enggak Konkret dan belum terjadi dengan jumlah yang Enggak Niscaya (potensial loss). Apabila mengacu pada Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut, hasil PKKN BPKP senilai Rp578 miliar Enggak dapat dijadikan dasar pembuktian unsur pidana pokok kerugian keuangan negara dalam perkara importasi gula dimaksud.
Tindakan penyitaan yang dilakukan Kejaksaan Akbar sebesar Rp565 miliar dan diklaim Kejagung sebagai pengembalian kerugian keuangan negara oleh sembilan terdakwa Enggak serta-merta dapat dinyatakan sebagai bentuk pengakuan terdakwa terjadinya kerugian keuangan negara.
Penyitaan itu juga bertentangan dengan Pasal 29 UU Tipikor dengan penyidik, penuntut Standar, atau hakim sebatas meminta kepada bank Buat memblokir rekening simpanan Punya tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi, bukan menyitanya.
Bangunan kerugian negara tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat 22 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan Doku, surat berharga, dan barang yang Konkret dan Niscaya jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, Berkualitas sengaja maupun lalai. Kerugian keuangan Konkret dan Niscaya itu mengandung Arti kerugian itu harus betul-betul Terdapat dan merupakan akibat Konkret dari perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan.
KONSEKUENSI HUKUM KESALAHAN HASIL AUDIT PKKN
SE Mahkamah Akbar Nomor 4 Tahun 2016 antara lain menyatakan instansi yang berwenang menyatakan Terdapat-tidaknya kerugian keuangan negara ialah BPK yang Mempunyai kewenangan konstitusional. BPKP sebatas melakukan audit pengelolaan keuangan negara, tetapi Enggak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.
Penegasan SE MA tersebut menjadi pegangan hakim pengadilan tipikor Buat Enggak sepenuhnya menerima hasil audit PKKN BPKP sebagai alat bukti karena penentuan nilai kerugian keuangan negara sangat bergantung pada pertimbangan majelis hakim. Dalam beberapa kasus tipikor, majelis hakim menganulir hasil audit PKKN yang dilakukan BPKP yang Enggak sesuai dengan konsepsi kerugian keuangan negara dengan metodologi yang salah.
PKKN yang dilakukan BPKP dalam kasus korupsi BTS 4G Kemenkominfo dengan terdakwa Johnny Gerard Plate dan Sahabat-Sahabat (dkk) sebesar Rp8,03 triliun Rupanya hanya merupakan pepesan Hampa. Tamat persidangan berakhir majelis hakim Enggak mengakui adanya kerugian keuangan negara berdasarkan audit PKKN BPKP tersebut. Kendati Enggak terbukti kerugian keuangan negara dalam dakwaan jaksa sesuai dengan audit PKKN BPKP, pidana penjara dan Doku pengganti tetap dikenakan kepada Johnny Gerard Plate dkk karena terbukti menerima suap secara Berbarengan-sama sebesar Rp246 miliar.
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat juga menganulir penghitungan nilai kerugian keuangan negara pada kasus korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa di Balai Perkeretaapian Medan 2015-2023 sebesar Rp1,1 triliun.
Majelis hakim Enggak sependapat dengan hasil audit yang dilakukan BPKP pada 13 Mei 2024 terkait dengan nilai kerugian keuangan negara dalam perkara itu. Menurut hakim, nilai kerugian negara pada kasus itu hanya sejumlah Rp30,8 miliar karena kerugian keuangan negara dihitung secara total loss dinilai salah.
Ketika hasil audit PKKN dinyatakan salah, dan Enggak ditemukan adanya Jenis Anggaran dalam bentuk gratifikasi, suap dan pungli pada dugaan tipikor tersebut, majelis hakim kiranya dapat menyatakan dakwaan batal demi hukum dan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Sesuai dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 kesalahan seluruh atau sebagian hasil audit PKKN mengakibatkan Arsip tersebut Enggak Mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kasus dugaan korupsi Tom Lembong dengan ancaman Pasal 3 UU Tipikor dari awal Tamat persidangan Rupanya diakui Kejagung Enggak terbukti menerima Jenis Anggaran dalam bentuk apa pun. Apabila majelis hakim memutuskan menolak seluruh atau sebagian hasil audit PKKN BPKP, terdakwa dapat dinyatakan bebas murni.

