Aktualisasi diri positif publik seketika meluap setelah Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terkait dengan pengujian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). MK mengabulkan Buat sebagian permohonan Anggota Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, dalam uji materi Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE.
Yang paling menjadi perhatian publik ialah bahwa melalui putusan tersebut, MK mengoreksi pemaknaan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A sehingga Kagak mencakup lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Dengan demikian, kritik terhadap pemerintah dan korporasi Kagak Tengah dapat dikriminalisasi atas dasar pencemaran nama Bagus.
Secara singkat putusan MK tersebut dapat dimaknai sebagai pintu masuk Buat mengembalikan kebebasan berpendapat di negeri ini yang selama ini sebagian rohnya direnggut oleh UU ITE. Dengan meluruskan atau membatasi pasal multitafsir dalam UU tersebut, MK dinilai telah melempengkan kembali prinsip freedom of expression
yang menjadi fondasi dari konsep demokratisasi yang kita anut.
Eksis yang menyebut putusan itu sebagai oase di tengah keringnya kelegawaan sejumlah lembaga dan institusi dalam menerima kritik. Banyak pula yang mengibaratkannya sebagai angin segar bagi penguatan demokrasi, karena putusan tersebut akan memperkuat kebebasan sipil, hak Buat menyampaikan pendapat, serta perlindungan terhadap kritik publik.
Selama ini, harus diakui, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang sejatinya merupakan hak setiap orang dan dilindungi negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Tetap kerap diinjak-injak, terutama ketika pihak yang dikritik ialah pemerintah, aparat, atau Kawan dan kerabat dekat mereka.
Praktik pembungkaman berpendapat dan berekspresi, terutama yang disalurkan lewat ruang-ruang digital, yang sesungguhnya menunjukkan kegagapan dan kegagalan penguasa dan aparat dalam mengelola kritik, anehnya Malah Tetap kerap dilakukan. Salah satu alat yang acap digunakan Buat tujuan itu ialah pasal-pasal karet di dalam UU ITE.
Karena itu, wajar, sangat wajar bila putusan MK tersebut direspons amat positif oleh publik. Di tengah kemerosotan kualitas demokrasi di Indonesia, bahkan dilabeli sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy), hilangnya satu handycap tentu saja menjadi hal yang Kagak hanya layak dirayakan, tapi mesti dimaksimalkan Buat Dapat mengerek kembali mutu demokrasi tersebut.
Tetapi, di tengah euforia tersebut, publik jangan lupa bahwa UU ITE sebagai Kebiasaan yang mengatur tentang Pelarangan perbuatan menyerang kehormatan atau nama Bagus ‘orang lain’ (personal) dengan menuduhkan suatu hal melalui sistem elektronik, tetaplah Tetap berlaku.
Pada sisi inilah kita juga perlu sampaikan kepada publik Buat makin menguatkan literasi tentang penggunaan ruang digital yang bijak dan sehat. Meski setelah putusan MK tersebut kini kritik terhadap pemerintah dan korporasi tak Dapat dipidana, masyarakat tetaplah harus pintar memilah antara kritik dan ujaran kebencian, hujatan, hinaan, atau hal-hal yang sifatnya personal.
Setelah MK meniupkan angin segar Buat kebebasan berpendapat dan penguatan demokrasi, kiranya sekarang giliran kita Buat Berbarengan-sama menjaga ruang digital tetap berada dalam kondisi Rapi, sehat, beretika, dan produktif.

