Pembangunan Papua yang Bermartabat

Pembangunan Papua yang Bermartabat
(Dok. Pribadi)

PADA 29 Mei 2023, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mengukuhkan enam Personil Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Tertentu Papua (BP3OKP) atau Badan Pengarah Pembangunan Papua (Perpres No 121/2023). Badan tersebut dibentuk sebagai salah satu produk dari perubahan UU No 21 Tahun 2001 menjadi UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Tertentu bagi Provinsi Papua.

BP3OKP/BPPP berfungsi dan bertugas sebagai pengarah agar program-program prioritas otonomi Tertentu (pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur) dan memastikan Anggaran otonomi Tertentu (otsus) Akurat sasaran kepada orang Asli Papua (OAP). Selain itu, berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) supaya program dan Anggaran K/L diarahkan Buat mendukung dan menunjang Penyelenggaraan pembangunan Papua.

Dengan kata lain, BP3OKP diibaratkan polisi Lampau lintas yang mengatur mekanisme jalannya Lampau lintas Penyelenggaraan program dan Anggaran otsus maupun program dan Anggaran K/L agar sesuai dengan aturan dan rambu–rambu UU Otsus. Badan itu bukan eksekutor karena eksekutif tetap di Rendah otoritas pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun K/L. Tetapi, BP3OKP mesti memperkuat koordinasi (strong coordination) dengan gubernur, DPRP, MRP, bupati/wali kota, maupun K/L.

Selain itu, yang urgen dan mendesak ialah upaya yang serius dan sungguh-sungguh serta harus memastikan dengan Niscaya adanya kerja sama yang erat antara wakil presiden/presiden sebagai institusi negara dan BP3OKP, gubernur, DPRP, MRP, dan K/L. Dengan begitu, tatkala bicara tentang BP3OKP, identik dengan lembaga kepresidenan yang Mempunyai kewenangan mengarahkan, mengawasi, serta melaksanakan fungsi koordinasi terpadu, sinkronisasi, harmonisasi, Penilaian, dan pelaporan terhadap perkembangan Penyelenggaraan otsus Papua.

Perubahan UU Otsus juga diterbitkan seperangkat peraturan pemerintah dan peraturan presiden sebagai penjabaran dari UU No 2 Tahun 2021. Seperti PP No 106 Tahun 2022 tentang Kewenangan dan kelembagaan, PP No 107 Tahun 2022 tentang Pengelolaan, Penerimaan, Pengawasan Anggaran Otsus, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua. Selain itu, Peraturan Presiden No 24 Tahun 2023 tentang Rencana Induk Pembangunan Papua 2021–2041.

Seperangkat regulasi dan keberadaan BP3OKP atau BPPP dipastikan agar penyelenggaraan otsus pada 20 tahun ke depan memberikan arah dan Panduan supaya jalannya pembangunan Papua di era otsus fase kedua itu Mempunyai sasaran dan tujuan Buat akselarasi pembangunan di Daerah Papua. Tentunya agar masyarakat Asli diharapkan dapat mendekati kesejahteraan dan keadilan.

Cek Artikel:  Hutan Bakau Demi Menghadapi Ancaman Non-militer

Tujuan pembangunan Papua itu dapat memberikan Akibat positif yang signifikan pasca-20 tahun Buat orang Asli Papua take off dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun infrastruktur dasar. Dengan begitu, dapat mencapai derajat kesejahteraan dan keadilan. Papua menjadi Berdikari dan maju Serempak daerah lain di Indonesia.

Sejalan dengan itu, tantangan yang dihadapi pun kian berat dan kompleks. Kompleksitas tersebut merupakan masalah Papua yang Tetap dirundung konflik dan kekerasan yang berkepanjangan selama 60 tahun (1963) menyatu dengan Indonesia. Konflik aktual di beberapa kabupaten, seperti Nduga, Puncak Jaya, Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, dan Meybrat, membutuhkan solusi penyelesaiannya.

Belum Kembali kondisi geografis, isolasi Daerah fisik dan kultural, kemiskinan, kesenjangan pembangunan antarwilayah di Papua, stigmatisasi terhadap orang Papua, serta kepentingan ekonomi politik Mendunia maupun nasional yang tanpa sadar telah mengaveling Papua dengan Dalih kepentingan investasi.

Lebih rinci masyarakat Asli Papua belum Mempunyai akses yang sama Buat memperoleh pelayanan sosial, pendidikan, terutama pendidikan dasar yang amburadul dan kesehatan, gizi Jelek, stunting, lapangan pekerjaan, korupsi, demokratisasi dan kebebasan berekspresi mengemukakan pendapat, melaksanakan hak politiknya, serta marginalisasi dengan derasnya arus migrasi penduduk dari luar Papua, apalagi dengan pemekaran DOB-DOB.

Muara dari Seluruh realitas itu menimbulkan pertanyaan; pembangunan seperti apa yang hendak dilakukan di Papua. Apakah percepatan pembangunan yang dilaksanakan itu nantinya hanya memenuhi derajat kesejahteraan dengan mengabaikan nilai–nilai kemanusiaan yang bermartabat.

Apabila percepatan pembangunan Papua yang hanya mengejar Sasaran mendekatkan OAP pada level kesejahteraan seperti Papua sehat, Papua cerdas, dan Papua produktif, hasilnya cenderung akan mengulangi kekeliruan pada fase pertama otsus. Masyarakat Papua pada level Rendah akan Lanjut tertinggal di landasan dan yang menikmati hasil fase kedua elite birokrasi dan kekuasaan.

Pengalaman empiris implementasi akhir otsus fase pertama telah menunjukkan terjadinya korupsi di Papua. Bahkan, yang memperoleh manfaat ialah langgengnya kepentingan oligarki di daerah itu dengan justifikasinya investasi, dengan Dalih investasi menggapai kesejahteraan Papua menjadi ladang kaveling Intervensi oligarki yang akan menggusur eksistensi Golongan masyarakat Asli, terutama masyarakat–masyarakat adat (Francis Fukuyama, 2022, Elvira Rumkabu dkk, 2023).

Cek Artikel:  Tantangan dan Kesempatan Kepemimpinan Generasi Muda Kristen

Kata kunci dari percepatan pembangunan Papua ialah transformasi dalam upaya mewujudkan pembangunan yang bermartabat. Pembangunan yang bermartabat merupakan pembangunan yang meletakkan basis nilai–nilai kemanusiaan dan kultural (local wisdom) pada aras yang teratas.

Artinya, pembangunan yang ‘memanusiakan’ Orang Papua dengan eksistensi dan martabatnya Kagak hanya mengejar kesejahteraan yang hanya memacu banjirnya investasi. Meminjam tesis Yudi Elok, sudah saatnya merubah paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan investasi dengan pendekatan kultural dan kemanusiaan sebagai panglima.

Bukan hanya perubahan UU Otsus dengan seperangkat aturan regulasinya secara normatif dan kehadiran BP3OKP/BPPP, melainkan perubahan mindset, persepsi, dan Metode kita memperlakukan Papua dengan segala keberadaan dan nilai–nilainya sehingga mengimbangi paradigma dan orientasi pembangunan fisik dan infrastruktur teknokratis yang berorientasi pertumbuhan dan investasi dengan mendepankan kesejahteraan yang bermartabat. Pembangunan transformatif meletakkan Papua di atas landasan kemanusiaan dan kultural seperti dikehendaki dan dipraktikkan oleh Presiden ke-4 Abdurachman Wahid (Ahmad Suaedy, 2009).

MI/Duta

 

Pusat perhatian dari transformasi pembangunan Papua meletakkan Orang dan nilai–nilai kemanusiaan serta kultural dalam keseluruhan tata kelola pemerintahan dan kekuasaan. Selain itu, pembangunan di Papua ditopang dengan penyelesaian konflik dan kekerasan sehingga tercapai stabilitas yang meliputi supremasi hukum, pemberantasan korupsi, demokrasi, dan kebebasan berekspresi mengemukakan pendapat, meminimalisasi kecurigaan, dan trust building. Seluruh itu sebagai syarat peradaban yang merupakan kata kunci dari keseluruhan pembangunan Papua.

Elemen dasar meletakkan Orang dan nilai–nilai kemanusiaan dan kultural Papua dalam sentral pengambilan keputusan (decision making process) pemerintahan dan pembangunan, penyelesaian konflik dan kekerasan, stabilitas dengan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, demokratisasi dan kebebasan berekspresi, meminimalisasi kecurigaan, dan trust building (akademik paper draf UU Otsus 2001) sebagai syarat peradaban. Maka itu, kesejahteraan itu akan datang dengan sendirinya.

Artinya, pada level praksis bahwa program pembangunan berciri otsus (Papua sehat, cerdas, dan produktif) bukan hanya semata–mata merupakan tupoksi pemerintah provinsi, kabupaten/kota di Tanah Papua, melainkan juga program Punya K/L. Dengan begitu, pembangunan Papua pada era otsus fase kedua inklusif dan berkelanjutan, menarik investasi, menciptakan lapangan pekerjaan yang layak, dan mengalokasikan sumber daya secara efektif yang dinikmati dan dirasakan manfaatnya oleh penduduk Asli, sinkronisasi RJPMN/ RPJMD dengan RIPPP. RIPPP menjadi ‘kitab Kudus’ bagi setiap stakeholder Penyelenggaraan pembangunan di Tanah Papua dan pusat.

Cek Artikel:  Dokter Asing di Negara Kita

Misalnya pembangunan smelter seyogianya tak dibangun di Gresik, Jawa Timur, tapi di Timika dengan mempekerjakan tenaga lokal setempat. Bahan Sebelah jadi dihasilkan di Papua, bukan konsentrat yang dieksploitasi hanya menumpang lewat dibawa keluar Papua, tapi mesti menyumbang pajak, retribusi, dan lapangan pekerjaan Buat daerah penghasil. Demikian pula aneka hasil hutan dan perkebunan yang diproduksi di Papua mesti memberikan keuntungan yang sebesar–besarnya Buat daerah setelah tercukupi, barulah dikontribusikan ke Daerah lain (desentralisasi asimetrik).

Paradigma pembangunan eskavator, daerah penghasil hanya menjadi pelengkap penyerta sekaligus pelengkap penderita yang selama ini tanpa mencicipi dan menikmati manfaat dari Pendayagunaan sumber daya sudah waktunya diubah. Mulai menggali hingga menjadi bahan Sebelah jadi sehingga memberikan Dampak manfaat Buat daerah penghasil. Papua mesti digalakkan Buat menyuplai kebutuhan Daerah lain yang terlebih dahulu sudah maju.

Pendekatan itu akan lebih memanusiakan Papua ketimbang praktik pembangunan yang selama ini hanya sebagai daerah penerima. Kini saatnya dibalik, Papua sebagai lumbung suplai kebutuhan Daerah lain di Indonesia.

Dengan demikian, Papua Kagak Kembali menjadi objek Pendayagunaan dari berbagai kepentingan atas nama pembangunan dan investasi, tapi menjadi subjek pembangunan. Lebih dari itu, eksistensi mereka sebagai Orang dan Anggota negara Indonesia yang Mempunyai nilai–nilai kemanusiaan dan kultural, dihormati dan dihargai sebagai Daerah yang Mempunyai kekhususan (Pasal 18 B UUD 1945 dan UU No 21/2001 junto UU No 2/2021).

Dengan demikian, pembangunan dirancang seperti di RIPPP Buat memenuhi kebutuhan demi kesejahteraan sekaligus juga bermartabat dengan pengakuan dan penghormatan terhadap kemanusiaan mereka. Semoga dapat diwujudkan pada 2041 mendatang.

Mungkin Anda Menyukai