Kebaikan Pura-Pura

BELAKANGAN ada anekdot sarkasme yang kerap berseliweran di berbagai platform media sosial. Bahkan ada sebagian orang yang menuliskannya di bagian punggung kaus mereka. Tulisannya berbunyi, “Lalulah berbuat baik sampai orang mengira kamu nyaleg.”

Bila dilihat dari momentumnya, kemunculan anekdot itu di tahun politik jelas menyiratkan sindiran keras kepada orang-orang yang kini sedang nyaleg, mungkin juga kepada politisi pada umumnya, bahwa mereka sering berbuat baik kalau ada maunya saja. Apa maunya? Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan simpati dan suara masyarakat dalam pemilihan umum nanti.

Demi upaya menjaring suara itu, orang yang sedang nyaleg alias mereka yang menjalankan ‘kerja’ sebagai calon legislatif (caleg), mau tidak mau memang harus berbuat baik kepada sebanyak-banyaknya orang. Syukur-syukur bisa baik ke semua orang, tapi minimal kebaikan itu harus diberikan kepada orang-orang yang ada di daerah pemilihannya.

Muncul pertanyaan, masa orang berbuat baik tidak boleh sampai harus disindir-sindir segala? Ya, boleh-boleh saja, bahkan bagus kalau semua caleg, juga calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), dan semua politikus bisa mengirim kebaikan kepada masyarakat. Bukankah pada hakikatnya berpolitik itu menebar kebaikan? Malah aneh kalau ada yang melarang mereka berbuat baik.

Cek Artikel:  Politik Konsultan

Kembali pula, secara sifat dan karakter, kebaikan orang Indonesia tak perlu diragukan lagi. Sedari dulu masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya gotong-royong dan tolong-menolong. Dua budaya tersebut merupakan bentuk aplikatif dari konsep kebaikan yang sejak awal tertanam di hati dan benak masyarakat Tanah Air.

Kebaikan orang Indonesia dari sisi kedermawanan juga tinggi bahkan mendapat pengakuan dari lembaga internasional. Lembaga survei World Giving Index (WGI) baru-baru ini kembali menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan sedunia. Hasil itu menempatkan Indonesia sebagai juara selama enam tahun berturut-turut, yakni dari 2018-2023.

Mengertin ini, berdasarkan hasil survei yang melibatkan 147.186 responden dari 142 negara pada 2022, Indonesia mendapat skor tertinggi 68, jauh di atas skor kedermawanan global yang hanya 39. Apabila dirinci indikatornya, Indonesia meraih 61% dalam aspek membantu orang tak dikenal, 82% dalam hal donasi uang, dan 61% dalam hal kesediaan menjadi relawan.

Cek Artikel:  Muslihat Debat

Tetapi, bukan di situ persoalannya. Safiri kebaikan tentu tak lepas dari konteksnya. Dari banyak pengalaman yang sudah-sudah, kebaikan yang digondeli kepentingan politik seperti yang tecermin dari perilaku para politikus dan caleg akhir-akhir ini patut dicurigai tidak tulus. Kebaikan yang mengandung pamrih.

Pun layak diduga kebaikannya tidak autentik, lebih cenderung dibuat-buat untuk mengejar keuntungan politik sesaat. Seringkali kebaikan juga hanya untuk pencitraan atau topeng, berpura-pura baik demi mendulang suara.

Kebaikan, dalam konteks itu, juga menjadi sekadar perilaku musiman. Tempo-tempo muncul, tempo-tempo hilang. Pada musim kampanye pemilu, kebaikan bertebaran, tetapi begitu pemilu usai, kebaikannya juga ikut selesai. Ketika tahun politik, mereka aktif mendekati rakyat. Tetapi, ketika tahun politik berganti, mereka mulai melupakan, bahkan menjauh dari rakyat.

Sulit untuk tidak mengatakan kebaikan kerap dimanfaatkan, bahkan disalahgunakan untuk memanipulasi opini publik dalam kancah pertarungan politik. Safiri kebaikan yang mestinya luhur karena bersumber dari hati, tergerus menjadi sekadar gimik politik yang kerap muncul tanpa nilai.

Cek Artikel:  Paus Fransiskus Sumur Inspirasi

Kuncinya, lagi-lagi, memang ada pada masyarakat yang terus digerojogi kebaikan semu, atau bahkan palsu dari para pemain politik itu. Saringannya ada di masyarakat, apakah mereka akan menelan mentah-mentah kebaikan itu dan menuruti apa pun mau para caleg dan politisi, atau mereka akan memilah dulu kebaikan-kebaikan itu berdasarkan motifnya.

Apabila masyarakat kritis, kedok orang-orang yang hanya berpura-pura baik itu pada akhirnya bakal terkuak dengan sendirinya. Apabila publik selektif, niscaya akan ketahuan siapa politisi yang benar-benar berbuat kebaikan untuk kepentingan rakyat dan siapa yang gemar bersandiwara menjual kebaikan hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Jangan sampai publik terus dilenakan dengan kebaikan yang pura-pura. Itu jeratan yang meninabobokkan yang pada ujungnya nanti bakal membanting mereka dengan keras.

Kembali pula, kan, memang lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah. Maksudnya, daripada hanya menunggu kebaikan orang, apalagi itu kebaikan palsu, akan jauh lebih baik kalau kita mengukir kebaikan kita sendiri. “Lalulah berbuat baik, tak perlu menunggu kamu nyaleg.”

Mungkin Anda Menyukai