Industri Sawit Indonesia setelah Kebijakan Tarif Trump

Industri Sawit Indonesia setelah Kebijakan Tarif Trump
(MI/Seno)

MASA depan industri sawit Indonesia sungguh tragis. Belum selesai bernapas dari urusan ‘kebun sawit masuk hutan’, industri sawit harus menghadapi kebijakan tarif resiprokal 32% dari Presiden Amerika Perkumpulan (AS) Donald Trump. Bahwa kebijakan tarif Trump itu berdampak sangat besar pada kinerja perekonomian Indonesia, utamanya sektor pangan dan pertanian, sebagian besar telah diketahui secara luas. Bursa saham dunia Anjlok secara serentak, termasuk bursa saham Indonesia. Nilai Ganti rupiah langsung melemah, melampaui Rp17.200 per dolar AS, bahkan dikhawatirkan Maju memburuk Apabila cadangan devisa Indonesia telah semakin menipis.

Pangsa ekspor minyak sawit Indonesia ke AS dan produk turunannya pada 2024 tercatat US$ 1,3 miliar (4,9% dari total ekspor ke AS). Pangsa ekspor minyak sawit mentah (CPO) ini merupakan yang terbesar Apabila dibandingkan dengan pangsa ekspor komoditas pangan-pertanian lainnya.

Tetapi, pangsa ekspor CPO ke AS ini hanya 6,7%, cukup kecil Apabila dibandingkan dengan pangsa ekspor CPO ke negara lain di dunia.

Pangsa ekspor CPO terbesar ialah ke pasar India (19,9%), disusul Tiongkok (15,9%), Pakistan (5,6%), dan AS. Negara tujuan ekspor negara lain Lagi cukup kecil, Yakni Mesir 3,5%, Malaysia 3,0%, Vietnam 2,5%, Spanyol 2,6%, dan Myanmar 2,3%.

Artikel ini membahas kinerja ekonomi dan masa depan industri sawit Indonesia yang menghadapi tantangan internal dan eksternal pasar ekspor yang semakin rumit.

Sebelum kebijakan tarif resiprokal Trump, kinerja industri sawit Indonesia mengalami kontraksi cukup signifikan. Masyarakat Biasa dan pejabat tinggi seakan Kagak terlalu Acuh terhadap dinamika industri sawit Indonesia yang Kagak hanya ditanggung oleh pelaku usaha swasta besar, tetapi juga petani dan pekebun kelapa sawit kecil di seluruh pelosok Indonesia.

 

KINERJA INDUSTRI SAWIT

Kontraksi kinerja industri kelapa sawit Indonesia pada 2024 yang cukup dalam tentu di luar dugaan karena iklim yang sudah mulai bersahabat setelah lepas dari kekeringan ekstrem El-Nino pada 2023. Para analis dan pelaku pasar mulai merasakan sesuatu yang kurang beres sejak memasuki awal 2024, apalagi bertepatan dengan tahun politik pemilihan Biasa, pemilihan presiden, Personil legislatif, dan pemilihan gubernur dan kepala daerah serentak.

Cek Artikel:  Wasatiyyat Islam

Produksi minyak sawit mentah (CPO) 2024 tercatat 45,3 juta ton atau mengalami penurunan 5,6% dari produksi 48 juta ton pada 2023. Penurunan produksi ini disebabkan oleh stagnasi peningkatan produktivitas, Berkualitas dari perusahaan besar, maupun dari kebun kelapa sawit rakyat.

Dengan kebijakan B40, alokasi produksi CPO Kepada bahan baku industri biofuel dan industri nonpangan lain akan meningkat secara signifikan.

Pada 2024, alokasi produksi CPO Kepada konsumsi dalam negeri meningkat dari 19,4 juta ton menjadi 21, 3 juta ton atau terjadi peningkatan sebesar 5,22%. Sebanyak 12,1 juta ton (57,8%) dari konsumsi dalam negeri tersebut dipergunakan Kepada produksi biofuel, sedangkan 9,2 juta ton sisanya (42,2%) dipergunakan Kepada produksi pangan.

Sejak era kebijakan B35 pada 2024, kinerja ekspor CPO telah turun drastis, Berkualitas karena produksi minyak sawit dalam negeri yang menurun maupun karena pasar sawit Mendunia yang Kagak Kukuh karena dinamika minyak nabati lain: minyak kedelai, minyak kanola, Mengembang Mentari, dll.

Volume ekspor minyak sawit mentah CPO pada 2024 tercatat 24 juta ton atau turun sebesar 16,1% dari volume ekspor 28,6 juta ton pada 2023. Nilai ekspor CPO pada 2024 menapai US$27,76 miliar atau Sekeliling Rp440 triliun atau turun sebesar 3,42% Apabila dibandingkan dengan nilai ekspor US$30,32 miliar atau Sekeliling Rp463 triliun.

Penurunan ini terjadi pada Sekalian jenis produk industri sawit, kecuali oleokimia. Penurunan penerimaan ekspor pada Demi harga CPO FOB (free on board) mengalami kenaikan di pasar Mendunia tentu merupakan pukulan berat bagi industri kelapa sawit nasional, yang sebenarnya menyerap tenaga cukup besar, Yakni 16,2 juta orang.

Penurunan ekspor CPO pada 2024 cukup besar terjadi Kepada tujuan Tiongkok sebesar 2,38 juta ton dan India 1,13 juta ton sebagai pangsa pasar ekspor sawit Indonesia terbesar. Penurunan ekspor Kepada tujuan ekspor Bangladesh, Malaysia, AS, dan Uni Eropa juga terjadi walaupun dalam jumlah lebih kecil.

Kini, setelah ekspor sawit ke AS dikenai tarif resiprokal 32% dan pemerintah bertekad Kagak akan melakukan retaliasi, pelaku usaha industri sawit dan petani sawit yang harus berputar otak menghadapi ketidakpastian Mendunia tersebut.

Cek Artikel:  Dilema Kampanye di Tempat Pendidikan

Pasar eskpor minyak sawit Indonesia sebenarnya memperoleh momentum positif setelah panel sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan bahwa Uni Eropa (UE) telah melakukan diskriminasi terhadap minyak sawit Indonesia. Setelah menunggu cukup lelet, WTO akhirnya mengambil keptusan tegas bahwa UE telah berlaku Kagak adil dalam perdagangan Dunia yang merugikan minyak sawit dan biofuel Indonesia.

Sejak 2020, Indonesia telah mengajukan kepada WTO atas kebijakan UE tentang renewable energy directives (RED) II yang melarang biodiesel dari CPO asal Indonesia Kepada masuk ke Uni Eropa karena dituduh telah menyebabkan deforestasi. UE memang menggunakan segala Ragam Langkah, bahkan sangat diskriminatif, Kepada melindungi industri biodiesel domestiknya masuknya biodiesel dari beberapa negara di dunia, termasuk dari Indonesia.

UE juga mengeluarkan kebijakan baru European union deforestation regulation (EUDR) yang juga diskriminatif terhadap tujuh komoditas: kakao, karet, kayu, kelapa sawit, kopi, kedelai, dan binatang ternak yang mulai berlaku pada awal 2026.

Kemenangan Indonesia pada Panel Sengketa WTO bermakna bahwa biodiesel Indonesia yang berbasis CPO Sepatutnya boleh masuk ke UE dan Bertanding dengan industri biodiesel mereka yang berbasis minyak rapa (kanola), minyak kedelai, minyak Mengembang Mentari, dll.

 

KEBIJAKAN TRANSISI Daya B40

Pemerintahan Kabinet Merah Putih telah mencanangkan kebijakan B40, Yakni penerapan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40% mulai berlaku per 1 Januari 2025. Kebijakan mandatori campuran 40% biodiesel itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Daya dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 341/2024 dan berlaku Kepada Sekalian sektor, Berkualitas public service obligation (PSO) maupun non-PSO.

Setelah menganggap berhasil melaksanakan kebijakan B30 dan B35, stratregi kebijakan transisi Daya B40 dimaksudkan Kepada mengendalikan konsumsi minyak bumi, menurunkan emisi karbon, serta mengurangi impor minyak solar. Tujuan berikutnya ialah Kepada membuka lapangan kerja baru dan mendorong Pengaruh positif bagi perekonomian.

Kebijakan transisi Daya B40 telah tertuang dalam Kepmen ESDM 341.K/EK.01/ MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Anggaran Perkebunan Kelapa Sawit Sebesar 40%.

Cek Artikel:  Hasil karya Politik Pencapresan Awal dan Isu di Sekelilingnya

Di dalam kebijakan tersebut, alokasi B40 ditetapkan sebesar 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian, 7,55 juta kl diperuntukkan PSO, dan 8,07 juta kl dialokasikan Kepada non-PSO. Penyaluran biodiesel ini akan didukung oleh 24 badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) menyalurkan biodiesel, 2 BU BBM mendistribusikan B40 Kepada PSO dan non-PSO, serta 26 BU BBM Spesifik menyalurkan B40 Kepada non-PSO.

 

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pertama, pelaku usaha industri sawit perlu Maju didorong dan difasilitasi Kepada berunding dan menyelesaikan kontrak dagang yang telah disepakati sebelumnya. Pemerintah dan dunia usaha dibantu akademisi perlu Maju-menerus melakukan diplomasi, berunding dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR/United States Trade Representatives) Berkualitas secara langsung maupun melalui atase perdagangan, atase pertanian, dan segenap jajaran Kedutaan Besar dan Konsulat Jenderal Indonesia di segenap kota di AS.

Kedua, di dalam negeri, peningkatan produksi minyak sawit dalam negeri Kepada mendorong ekspor CPO dan produk turunan lainnya melalui perbaikan produktivitas kelapa sawit, Berkualitas pada kebun sawit swasta, maupun pada kebun sawit rakyat. Pendampingan memadai kepada pekebun rakyat, pemberian Insentif dalam mengakses pembiayaan dan teknologi produksi modern.

Ketiga, percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR) melalui kemitraan dengan memberikan kepastian hukum, bagi bagi kebun sawit swasta yang bermitra dengan petani, maupun bagi petani sawit swadaya. Penyederhanaan Mekanisme Kepada memperoleh rekomendasi teknis dari sinas setempat bagi petani dan kebun sawit swasta tentang status lahan sawit yang Kagak berada dalam kawasan hutan.

Keempat, Pengkajian berkala tentang implementasi kebijakan B40, setidaknya setiap bulan karena kinerja ekspor minyak sawit yang Kagak baik akan mengurangi potensi pengumpulan Anggaran hasil pungutan ekspor (PE) minyak sawit yang dikelola BPDP Kepada membiayai produksi biofuel, Berkualitas dalam skema PSO, maupun non-PSO. Tanpa perencanaan dan Pengkajian Penyelenggaraan B40 yang komprehensif, BPDP diperkirakan akan mengalami defisit pada Oktober 2025, yang tentu akan menghambat pencapaian tujuan kebijakan B40.

Kelima, pencarian pasar baru ekspor CPO harus Maju dilakukan, paralel dengan upaya diplomasi ekonomi Dunia dalam mempersiapkan pemberlakuan skema EUDR, termasuk menemukan konvergensi detail aturan dalam Indonesian sustainable palm oil (ISPO) dengan Mekanisme proses uji tuntas (due diligence) yang disyaratkan dalam EUDR.

 

Mungkin Anda Menyukai