Memolisikan Rocky Gerung (dan Sukmawati)

Memolisikan Rocky Gerung (dan Sukmawati)?
(ANTARA/Dewanto Samodro)

PEMBERITAAN hari-hari belakangan ini merangsang saya Demi membaca ulang Creeping Coup d’Etat Mayjen Suharto karya Sukmawati Soekarno. Diterbitkan Medpress, Kitab itu diperdagangkan di berbagai toko daring dengan bonus cakram Bunyi pidato Bung Karno.

Tesis Kitab tipis itu ialah peristiwa G30S dilakukan Mayjen Soeharto dkk lewat Perebutan kekuasaan merangkak. Buah pena Sukmawati itu hanya satu dari setidaknya lima analisis tentang tragedi 1965. Tetapi, Apabila dibandingkan dengan analisis-analisis lain yang masing-masing dikemas dalam ratusan halaman Kitab ilmiah, Kitab karya Sukmawati tersebut hanya terdiri atas 160 halaman. Sudah termasuk lampiran 76 halaman. Bab I pun baru dimulai di halaman 29. Jadi, Bisa dibayangkan, betapa sumirnya telaah Sukmawati Demi Tiba pada simpulan tentang Perebutan kekuasaan merangkak itu.

Tetapi, dibaca ulang, terlalu berlebihan Demi menyebut Kitab Sukmawati itu sebagai kajian. Isinya lebih kental dengan perpaduan antara kesedihan dan kemarahan.

Tetapi, bukan ihwal di atas itu pokok catatan kecil ini.

Begitu kilas ke 17 Agustus 1967, misalnya, Sukmawati mengenang, ‘Berpidato di depan rakyat secara langsung adalah gaya Spesifik Bapak (Soekarno) di HUT Proklamasi Kemerdekaan dan tiada Presiden berikutnya yang layak melakukan itu!’

Kemudian, di alinea yang sama, Sukmawati secara ringkas membandingkannya dengan gaya berpidato Soeharto yang membosankan. Alinea itu ditutup dengan, ‘Kepemimpinan ala fasis yang keji semakin terasa…’ (halaman 57). Bagaimana Bangunan berpikir Sukmawati Bisa Tiba pada tanda titik bahwa Soeharto memimpin ala fasis, sekali Tengah, tak usah diharap tersedia memadai dari Kitab yang disunting Eddi Elison dan Khoirotul Laila itu.

Cek Artikel:  Melejitkan Universitas Islam

Ungkapan kebencian Sukmawati terhadap Soeharto mencapai puncaknya di halaman 67. Pada suatu hari tahun 1969 di Wisma Yaso, Sembari memeluk bapaknya, Sukmawati meledak, “Terkutuk kau, Soeharto!”

Sejatinya, sumpah serapah itu sebatas perkataan batin Sukmawati. Tetapi, sejak Ketua Standar PNI Marhaenisme itu memublikasikan bukunya pada 2011, hujatan ‘Terkutuk kau, Soeharto!’ menjadi terekspresikan secara terbuka dan siapa pun dapat membacanya.

Karena Soeharto dilantik MPRS sebagai Presiden Republik Indonesia pada 26 Maret 1968, Bisa dipahami kalimat vulgar di atas dilontarkan Sukmawati terhadap seseorang yang Begitu itu sudah Formal menduduki jabatan selaku presiden, yakni Presiden Soeharto.

Di situlah terdapat kemiripan situasi antara cercaan Rocky Gerung terhadap Presiden Jokowi dan kutukan Sukmawati terhadap Presiden Soeharto. Dalam konteks caci maki terhadap kepala negara itu kini berlangsung perdebatan di ruang publik: delik aduan ataukah delik Standar.

Entah bagaimana perasaan mereka yang mencintai Soeharto sekiranya mereka membaca Kitab Sukmawati. Tetapi, kalau kita mau konsisten bersikap, sikap terhadap Sukmawati semestinya sama dengan sikap terhadap Rocky. Artinya, itu bukan persoalan kepada kepala negara yang mana Rocky dan Sukmawati mengarahkan ‘bajingan’ dan ‘terkutuk’ mereka.

Cek Artikel:  Birokrasi Baru, Jakarta

Sikap konsisten akan terlihat manakala kalangan yang Tak mempermasalahkan Rocky juga Tak akan mempersoalkan Sukmawati. Betapa pun kasar, dua perkataan tadi diarahkan bukan ke sosok-sosok pribadi, melainkan ke kepala negara.

Atau kebalikannya: pihak-pihak yang bernafsu memerkarakan Rocky, kalau mau konsisten, semestinya juga bersemangat memidana Sukmawati. Alasannya, Rocky dan Sukmawati sama-sama memaki kepala negara, siapa pun kepala negaranya.

Sekarang berkembang narasi yang tampaknya akan diusung pula oleh otoritas penegakan hukum bahwa perkataan Rocky telah memunculkan keonaran. Terhadap narasi tersebut, dua tanggapan balik Bisa diajukan. Pertama, polemik terkait dengan penyikapan terhadap Rocky sepatutnya Tak dimaknai sebagai keonaran, huru-hara, dan sejenisnya, tetapi tak lebih dari perdebatan di ruang debat publik. Perdebatan bukan keonaran. Kedua, pun seandainya makian Rocky dianggap memunculkan keonaran, becermin pada vonis kasasi Habib Rizieq Shihab, keonaran yang didakwakan jaksa penuntut Standar dinilai majelis hakim kasasi hanya terjadi di media sosial.

Rocky dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 156 KUHP (kebencian) dan 160 KUHP (penghasutan). Sukmawati, Tak tertutup kemungkinan, juga Bisa dipolisikan dengan pasal-pasal yang sama akibat isi bukunya.

Cek Artikel:  Mengupas Peran Pegadaian dalam Inklusi dan Pendalaman Keuangan

Berhadapan dengan dua pasal tersebut, Polda Metro Jaya semestinya mengacu Surat Edaran Kapolri No SE/6/X/2015.

Itu ialah Apabila diasumsikan WNI bernama Rocky Gerung sejak lelet konfrontratif terhadap Presiden Jokowi dan sikap konfrontatifnya itu berpotensi mengarah pada tindak pidana (spesifik, mengandung kebencian dan membahayakan), Polri Sepatutnya sudah melakukan serangkaian tindakan preventif agar Julukan ‘BTP’ Tak Tiba terlontar.

Langkah preventif dimaksud antara lain mempertemukan Rocky dan Presiden Jokowi, juga mencari solusi perdamaian di antara keduanya.

Pertanyaannya, sudah seintensif apa Member Polri melaksanakan kewajibannya tersebut?

Surat edaran kapolri itu sangat bagus karena menunjukkan betapa Polri memprioritaskan restorative justice (RJ) berupa mediasi antarpihak. Litigasi belakangan.

RJ sendiri punya banyak kelebihan. Secara Standar, pertama, RJ lebih ekonomis ketimbang litigasi sehingga menekan borosnya biaya penegakan hukum. Kedua, pelaku yang menjalani RJ kemungkinan mengulangi perbuatannya. Ketiga, korban lebih berpeluang mendapat penggantian atas kerugian yang ia alami. Keempat, masyarakat merasa ketenangan lebih Segera dan berskala luas.

Bayangkan Apabila Rocky dan Jokowi duduk Serempak. Demikian pula dengan Sukmawati dengan Soeharto (sekiranya ia Lagi Terdapat) atau perwakilan keluarganya. Kita Segala Bisa semakin pintar jadinya. Allahu alam.

Mungkin Anda Menyukai