
KASUS intoleransi yang terjadi di dunia pendidikan Tak muncul begitu saja. Terdapat peran Krusial guru, keluarga, dan lingkungan Sekeliling dalam penyebaran benih-benih radikalisme. Sebagai Misalnya, survei yang dilakukan Setara Institute di sekolah-sekolah di Jakarta dan Bandung baru-baru ini menunjukkan bahwa 40% murid di Indonesia Tetap menerima sikap intoleransi. Bahkan ditengarai, guru-guru yang telah terpapar paham radikalisme berpotensi besar Kepada mengajarkan kepada murid.
Sangat disayangkan, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan menjadi wadah indoktrinasi paham antikebinekaan. Begitu pula di kalangan keluarga, sebagai wadah pendidikan paling Krusial, Bahkan Tetap terdapat paham-paham radikalisme yang begitu santer diajarkan. Di sinilah, titik Krusial pendidikan sebagai gerbang Penting Kepada menghalau benih-benih radikalisme, yang dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Masalah itu menjadi lebih kompleks di lingkungan perguruan tinggi yang Mempunyai tingkat keragaman yang lebih tinggi. Tentu saja, itu bukan masalah yang Bisa dianggap sepele, karena Kepada mencapai visi Indonesia emas pada 2045, diperlukan semangat keterbukaan yang didasarkan pada semangat kebinekaan.
Bonus demografi yang berupa Kendali populasi generasi muda yang produktif diharapkan dapat membawa kemajuan bagi Indonesia. Seluruh itu bergantung pada pendidikan, yang menjadi wadah Kepada membentuk generasi muda Indonesia agar dapat memimpin bangsa ini ke masa depan. Kepada memimpin Indonesia, generasi muda Indonesia memerlukan spirit kebinekaan Kepada membentuk kesadaran kolaboratif dan kerja sama tanpa Menonton batas-batas Keyakinan, etnik, Etnis, dan lain-lain.
Keprihatinan Buya Syafii
Sebagai pemikir garda depan Indonesia, Buya Syafii tak henti-hentinya menyoroti persoalan pendidikan di Indonesia. Buya Syafii selalu menyampaikan dalam berbagai pidato ataupun tulisannya, bahwa Indonesia Tak akan mencapai peradaban cemerlang tanpa pendidikan berkualitas.
Berbagai masalah pendidikan di Indonesia selalu mendapat kritik dan sorotan tajam dari Buya Syafii, termasuk persoalan kebinekaan yang Sepatutnya menjadi budaya melalui praktik-praktik pendidikan. Akibatnya, kasus perundungan, rasialisme, intoleransi, dan radikalisme Tetap menjadi masalah karena pendidikan di Indonesia belum Bisa mengenalkan nilai-nilai kebinekaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Buya Syafii Menonton Terdapat Rekanan yang integral antara pendidikan dan semangat kebinekaan yang Terdapat di Indonesia.
Sebagai Ahli sejarah, Buya Syafii selalu mendasarkan kritiknya terhadap pendidikan Indonesia melalui pendekatan sejarah. Bagi Buya Syafii, sejarah merupakan pijakan Kepada memahami realitas sosial masa kini. Meskipun ia selalu berangkat dari sejarah, Buya Syafii Tak terjebak dalam romantisme sejarah.
Sejarah, pada akhirnya, ialah realitas masa Lampau. Tugas sejarawan ialah berusaha menginterpretasi Maksud sejarah sebagai inspirasi Kepada mengarahkan transformasi demi perbaikan bangsa Indonesia. Karena itu, Buya Syafii juga mengkritik dengan tegas pemikiran sebagian orang yang Ingin kembali pada pemerintahan teokrasi ala khilafah yang sudah Tak relevan di masa kini.
Dalam konteks ini, Buya Syafii menegaskan bahwa pendekatan sejarah dalam Menyantap pendidikan dan semangat kebinekaan sangat Krusial Kepada menghidupkan perjalanan bangsa Indonesia, agar Tak terjadi disorientasi dengan tujuan pendidikan nasional.
Buya Syafii Menyantap bahwa pendidikan Indonesia relatif berhasil Apabila dibandingkan dengan beberapa bangsa muslim yang lain. Pada 1945, jeratan praktik pendidikan era kolonial hasil kebijakan politik etis menghasilkan Bilangan melek huruf Sekeliling 10% dari total penduduk di Indonesia.
Pada 1990-an, Bilangan melek huruf meningkat drastis menjadi 85%. Perlu waktu kurang lebih 45 tahun bagi Indonesia Kepada meningkatkan mutu pendidikan. Bagi Buya Syafii, hal itu patut disyukuri mengingat bangsa Indonesia Tetap tertatih-tatih jelang menghadapi satu abad Indonesia.
Menariknya, mayoritas masyarakat yang terdampak ialah masyarakat muslim Indonesia. Tetapi, tren positif tersebut lantas Tak Membikin Buya Syafii terjebak dalam romantisme sejarah. Fakta-fakta membanggakan itu cukup dibaca secara kuantitatif dan kognitif, Tak dengan kualitasnya yang semakin menunjukkan penurunan drastis.
Menurut Buya Syafii, salah satu Unsur yang menunjukkan penurunan kualitas pendidikan Indonesia Bisa dianalisis melalui sisi moral dan afektif masyarakat Indonesia. Munculnya berbagai kasus intoleransi setiap tahunnya menggambarkan bahwa pendidikan Indonesia Tetap belum Bisa menanamkan benih-benih kebinekaan.
Tak lupa, masyarakat Indonesia Begitu ini menikmati berbagai platform media sosial sebagai sumber informasi. Dari segi moral dan afektif, masyarakat Indonesia tampaknya belum Bisa mengelola secara Berkualitas informasi yang didapatkan melalui media sosial sehingga terkesan mudah terprovokasi oleh isu-isu atau Siaran Dusta. Peran pendidikan begitu dibutuhkan Kepada mengelola sumber informasi agar Tak menimbulkan tindakan-tindakan intoleransi terhadap sesama Penduduk Indonesia.
Sisi moral dan efektif dalam pendidikan Indonesia, oleh Buya Syafii patut mendapatkan perhatian lebih. Terutama, dari mereka yang memang bergumul dan bertanggung jawab dalam memikirkan dan mengelola pendidikan Indonesia. Fenomena intoleransi tentunya menjadi keprihatinan Berbarengan bagi segenap bangsa Indonesia, mengingat kita baru saja dihadapkan oleh problem covid-19 yang menuntut kesadaran kolaboratif dan kerja sama dengan berbagai pihak. Tanpa spirit kebinekaan yang ditanamkan sedini mungkin melalui pendidikan, tindakan-tindakan intoleransi semakin membudaya dan mengakar kuat di kalangan masyarakat Indonesia.

MI/Seno
Problem pendidikan Islam di Indonesia
Dalam pandangan Buya Syafii, pendidikan Islam merupakan sebuah proses yang berkepanjangan dengan tujuan membimbing Insan agar menjadi seorang muslim yang Mempunyai kekuatan spiritual dan intelektual. Hal itu bertujuan Kepada meningkatkan kualitas hidup individu tersebut dalam segala aspek dan menjalani kehidupan yang Mempunyai cita-cita dan tujuan yang Terang.
Buya Syafii menilai bahwa pendidikan Islam pada masa akhir periode klasik Tak Kembali didasarkan pada fondasi yang kukuh dan anggun dalam hal intelektual-spiritual.
Penerimaan pemisahan antara ilmu Keyakinan dan ilmu Standar dianggap sebagai tanda rapuhnya dasar filosofi pendidikan Islam. Pemisahan itu terlihat Terang dalam dualisme sistem pendidikan di negara-negara muslim. Pesantren sebagai sistem pendidikan dengan Seluruh variabel dan implikasinya dalam membentuk wawasan intelektual keislaman umat, dan sistem pendidikan sekuler dengan Akibat dan konsekuensinya dalam persepsi Keyakinan kita.
Dualisme itu kemudian diperkuat oleh penjajahan Barat atas dunia Islam dan berlangsung dalam waktu yang cukup Pelan. Antara dua sistem itu Nyaris Tak Terdapat komunikasi di masa Lampau, dan yang tampak terlihat ialah sikap dan budaya saling curiga dan saling Dengki.
Akibatnya, muncul individu-individu yang terpecah dalam masyarakat Islam. Ketika di masjid dan musala, seseorang menunjukkan sikap yang religius, tetapi di pasar, pabrik, atau bahkan di arena politik, mereka tampil sebagai orang yang sama sekali asing. Itu berarti kegiatan dunia terpisah dari orientasi akhirat.
Dalam situasi seperti ini, pendidikan Islam harus menunjukkan keberadaannya sebagai penyaring dan menjawab tantangan yang muncul dalam realitas kehidupan, didasarkan pada esensi nilai-nilai pendidikan Islam itu sendiri.
Pemahaman yang paling Krusial dalam pendidikan Islam ialah memahami Maksud nilai-nilai pendidikan Islam dan menerapkannya sehingga pendidikan Islam Tak hanya berhenti pada tingkat formal, tetapi juga mencapai tingkat fungsional.
Salah satu hasil dari dikotomi pendidikan Islam ialah lahirnya Insan yang memisahkan kesadaran beragama dan kesadaran bernegara. Peran Islam dalam menegakkan kehidupan bernegara dengan mudah ditepis dengan berbagai dalil sehingga dikotomi urusan duniawi dan urusan ukhrawi dianggap sepele.
Dalam konteks bernegara, hal itu tentunya menjadi tembok penghalang Kepada membumikan spirit kebinekaan. Melalui pendidikan Islam, diharapkan setiap masyarakat memahami bahwa posisi Islam dan negara sama sekali Tak bertentangan dan mempunyai tujuan yang sama.
Sebagai guru bangsa, Buya Syafii menekankan bahwa umat Islam harus menjadi individu yang cerdas dan berdaya. Kecerdasan ialah Musuh dari kebodohan. Karena pada masa lampau, umat Islam telah dijajah oleh pihak lain akibat kebodohan. Kebodohan menjadi akar dari segala bentuk rendah diri dan perasaan rendah.
Islam Tak akan berhasil dan terhormat Apabila umatnya Tetap terperangkap dalam kebodohan dan keterbelakangan. Tetapi, kelalaian dalam memprioritaskan pendidikan berdampak pada ketertinggalan yang semakin memburuk. Dampaknya ialah kurangnya pembentukan moral dan etika transenden dalam kehidupan berbangsa.
Kendali pola pikir dan Akal pada era ini telah menyebabkan penelantaran terhadap zikir dan Kasih. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan yang merusak dan berbahaya, salah satunya berupa kasus intoleransi dan radikalisme yang terdapat di berbagai satuan pendidikan Indonesia.
Rekanan integral pendidikan Islam dan spirit kebinekaan
Berangkat dari berbagai problem tersebut, Buya Syafii memberikan beberapa rekomendasi Kepada mengembangkan kualitas pendidikan Islam, sekaligus mengikat erat spirit kebinekaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Kepada membenahi pendidikan Islam Indonesia, perlu diawali dengan menanamkan paradigma progresif mengenai Islam itu sendiri.
Menurut Buya Syafii, perumusan pendidikan Islam harus didasarkan kepada metode penafsiran yang Betul terhadap Al-Qur’an. Memahami Al-Qur’an secara kontekstual dapat membantu kita Kepada merumuskan pendidikan Islam yang tahan banting, relevan dengan perkembangan Era, tanpa takut kehilangan jangkar spiritual Kepada membangun peradaban gemilang.
Salah satu risikonya ialah ditinggalkannya beberapa bangunan pemikiran Islam klasik yang dinilai Tak relevan Kepada dipertahankan, mengingat perkembangan situasi dan kondisi dunia Begitu ini yang Tak sama dengan abad-abad sebelumnya. Perlu diakui produk-produk pemikiran Islam lahir terikat erat dengan situasi dan kondisi tertentu sehingga pendidikan Islam harus didasarkan pada elan vital Kepada menjawab persoalan-persoalan Era yang selalu berubah.
Dalam pandangan Buya Syafii, pendidikan Islam Indonesia perlu mengintegrasikan antara visi Islam dan visi Pancasila. Dengan Langkah itu, wawasan pendidikan Islam dan wawasan keindonesiaan melebur menjadi satu.
Buya Syafii pun menegaskan bahwa keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan bukanlah pilihan ganda, melainkan berada dalam satu tarikan nafas dalam jiwa bangsa Indonesia. Pengintegrasian antara nilai-nilai filosofis Pancasila dan Islam mengikis Paras dualisme Insan Indonesia yang sebenarnya Tak perlu terjadi. Hasilnya, pendidikan Islam bukan hanya subsistem dari pendidikan nasional, melainkan juga menyatu Kepada membangun masyarakat Indonesia yang Tak kehilangan jangkar spiritual dalam menghadapi berbagai tantangan Era.
Problem intoleransi dan radikalisme, yang senantiasa menghiasi setiap tahun Bisa diredam sedikit demi sedikit melalui pengintegrasian antara nilai-nilai Pancasila dan Islam. Kurikulum Pendidikan ataupun pada praktiknya harus berlandaskan pada spirit kebinekaan yang Tak mengizinkan adanya dikotomi antara Islam dan kehidupan bernegara.
Buya Syafii merumuskan tiga solusi konkret yang Bisa dilakukan pendidikan Indonesia hari ini. Pertama, membangun Indonesia dimulai dari manusianya. Pendidikan dipercaya sebagai sarana yang Benar Kepada membangun Insan Indonesia Kepada Mempunyai nilai-nilai yang dibutuhkan.
Kedua, konflik dan kekerasan yang berbasis Keyakinan perlu dihindari, salah satunya melalui pendidikan. Ketiga, pentingnya implementasi pendidikan moral secara masif di tengah degradasi moral bangsa yang Nyaris melewati ambang batas.
Tiga rumusan di atas perlu diterjemahkan lebih lanjut melalui kebijakan-kebijakan strategis pemangku kepentingan apabila serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Mengenalkan benih-benih spirit kebinekaan melalui pendidikan merupakan perjalanan panjang bagi bangsa Indonesia. Tetapi, apabila Tak dimulai sekarang, kita harus mewajarkan praktik-praktik intoleransi yang terjadi di Indonesia, dan tentunya Kepada menghadapi perubahan tantangan Era yang begitu Segera, kita harus Maju membenahi kualitas pendidikan.

