Sukidi dan Idul Fitri

SAYA menulis judul di atas karena tiba-tiba ingat Sukidi, yang bernama lengkap Sukidi Mulyadi. Pandangannya sebagai cendekiawan, intelektual Muhammadiyah, pemikir kebinekaan, atau apa pun sebutannya, itu kerap ‘Istimewa’ dan ‘menggugah selera’. Itu termasuk pandangannya tentang Arti Idul Fitri yang Membangun saya berselera menuliskan ihwal dia. Apalagi, kini kita Lagi dalam suasana Lebaran pada Syawal.

Saya mengenal Sukidi sudah Lamban, Nyaris 27 tahun. Pada September 1998, saya dan cendekiawan lulusan Harvard itu sama-sama menjadi wartawan Realitas, sebuah tabloid politik yang diterbitkan Media Indonesia. Di situ saya mulai berdiskusi dan menyelami pemikirannya tentang Islam. Ia pengagum Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, cendekiawan terkemuka negeri ini. Kebetulan saya juga mengagumi sosok yang sama.

Kekaguman Sukidi terhadap Cak Nur Nyaris tiga Sepuluh tahun Lampau itu Tamat-Tamat Membangun saya sulit membedakan di mana pemikiran ‘orisinal’ seorang Sukidi dan mana pemikiran Cak Nur. Sama persis. Tetapi, saya maklum karena ketika itu Sukidi baru ‘seorang sarjana’ lulusan IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN) yang mencoba-coba meniti jalan menjadi jurnalis, berbekal tulisan-tulisan opininya semasa mahasiswa yang sudah berserakan di sejumlah media.

Dalam hati saya Ketika itu Mengucapkan, “Orang ini lebih cocok sebagai pemikir, akademikus, atau semacam itu. Bukan jurnalis.” Betul saja. Ia tak Lamban menjadi jurnalis. Sukidi hanya sembilan bulan mencecap profesi wartawan. Tetapi, itu dipandang cukup baginya memberikan bekal keterampilan tambahan dalam meramu kumpulan aksara menjadi kalimat yang lebih bertenaga.

Cek Artikel:  Jurus Dewa Pusing Memanipulasi KTP

Ia Lampau diajak mengembara oleh Tarmizi Taher, mantan menteri Keyakinan yang menjadi Duta Besar RI di Norwegia, ke Oslo. Tetapi, ia Hanya sebentar di Oslo Lampau melanjutkan pengembaraan intelektual ke Amerika Perkumpulan (AS). Sukidi memilih jalur pemikiran dengan meneruskannya menempuh kuliah master hingga doktoral di AS.

Pemikirannya pun kian berkembang setelah dia bergumul dengan rangkaian pemikiran-pemikiran yang kian Berbagai Macam-macam di ‘Negeri Om Sam’ itu. Saya pun mulai Dapat menemukan sebagian pemikiran ‘orisinal’ putra petani asal Sragen, Jawa Tengah, itu. Saya Memperhatikan Terdapat beberapa perbedaan pemikiran Sukidi dengan pemikiran pemikir yang ia kagumi, Cak Nur, meskipun tetap Terdapat benang merah yang Dapat ditemukan di sana-sini.

Salah satu pemikiran yang sempat Membangun heboh ialah penafsirannya soal Definisi Idul Fitri. Sekeliling sembilan tahun Lampau, Sukidi menulis artikel ‘bertenaga’ itu, yang intinya menolak bahwa Idul Fitri diartikan ‘kembali ke fitrah Sosok Bersih setelah diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadan’. Pemaknaan Idul Fitri seperti itu, tulis Sukidi, ‘menguntungkan’ koruptor atau siapa pun yang tebersit niat melakukan korupsi.

“Apabila pemahaman ‘kembali ke Bersih’ ini dibenarkan, umat Islam yang terlibat korupsi dan berbagai kejahatan lainnya memperoleh justifikasi teologis sebagai Sosok yang terlahirkan kembali kepada kesuciaan di Hari Raya Idul Fitri,” begitu tulis Sukidi.

Cek Artikel:  (Bukan) Bunyi Rakyat

Bagi Sukidi, istilah id lebih pas diartikan sebagai hari raya. Itu merujuk pada The Foreign Vocabulary of the Qur’an (1938), ketika Arthur Jeffery memasukkan ‘id ke kosakata asing yang berasal dari bahasa Suriah, ‘ida, yang bermakna ‘hari raya’. Lebih spesifik Kembali, dalam tradisi Kristen, istilah ‘ida itu dimaknai sebagai ‘hari raya liturgi’ atau a liturgical festival.

Dalam konteks itulah, istilah ‘id sudah Normal digunakan dalam tradisi hari raya Keyakinan monoteistik, seperti Kristen. Dari sudut pandang sejarah, tandas Sukidi, Islam hadir Tak dalam ruang hampa. Islam Tak dapat dipisahkan dari tradisi Keyakinan-Keyakinan monoteistik sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen.

Dalam konteks festival keislaman, umat Islam merayakan setidaknya dua hari raya, Idul Adha pada 10 Zulhijah dan Idul Fitri pada 1 Syawal. Arti ‘id dalam dua festival keislaman ini Tak merujuk pada Arti ‘kembali’, seperti Idul Fitri dimaknai sebagai ‘kembali kepada kesuciaan’ dan Idul Adha sebagai ‘kembali kepada kurban’.

Dalam pandangan Sukidi, Idul Fitri lebih Betul dimaknai sebagai ‘hari raya buka puasa’ (festival of fast-breaking), atau dalam istilah mantan Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Ya’qub (almarhum), Idul Fitri ialah ‘hari raya makan’ karena Arti al-fitr itu sendiri adalah makanan.

Cek Artikel:  Vonis Wafat Minus Eksekusi

Lampau, apa pentingnya bagi Sukidi membongkar mengurusi istilah Idul Fitri? Bukankah jauh lebih Krusial ialah substansi? Di situlah saya Bahkan Memperhatikan ‘kedalaman’ pemikiran Sukidi. Pembahasan soal Arti Idul Fitri hanyalah ‘menu pembuka’, alias appetizer. Menu utamanya Bahkan pada pemakaian Arti yang meleset itu Demi kepentingan justifikasi perilaku jahat, apalagi oleh mereka yang mestinya punya tanggung jawab moral kepublikan lebih besar.

Sejak membahas Arti Idul Fitri yang ia kaitkan dengan justifikasi moral oleh mereka yang cacat moral itu, Sukidi Lalu melesatkan ‘anak panah’ bagi siapa pun yang meremehkan moral kepublikan. Ia secara keras mengkritik bangunan etika dan moral elite kita yang keropos karena digerogoti ‘rayap-rayap’ pemburu kuasa dan rente. Berbagai tulisannya sangat keras menyentil perilaku sejumlah pemimpin politik, mengingatkan saya pada sosok Buya Syafii Maarif.

Sukidi, sosok yang sangat njawani atau rendah hati itu (bahkan Tamat Tak perlu punya media sosial, kecuali Whatsapp, karena takut riya’ alias Arogan), kini tetap menjadi ‘muazin moral dan etik’ bagi elite di negeri ini.

Bermula dari ‘membongkar’ Arti Idul Fitri, ia Lalu menyeru agar Keyakinan Tak menyisakan celah atau menjadi tempat persembunyian bagi para perusak etika dan moral. Selamat Idul Fitri 1446 Hijriah, Harap Ampun lahir dan batin.

Mungkin Anda Menyukai