Prospek Ekonomi Pertanian 2022

Prospek Ekonomi Pertanian 2022
(MI/Seno)

SETELAH hampir dua tahun diterpa pandemi covid-19, perekonomian Indonesia mulai terlihat geliat pertumbuhan yang positif pada dua kuartal terakhir tahun 2021. Sektor pertanian tumbuh 1,31% (y-on-y) ada pada Q3-2021, meningkat signifikan dari 0,43% pada Q2-2021. Sektor pertanian telah menjadi bantalan atau peredam (cushion) resesi. Bahkan, dapat menjadi andalan pemulihan ekonomi ke depan.

Pada 2022, sektor pertanian diperkirakan akan tumbuh sekitar 2%, dengan ekspektasi kinerja pada Q4 yang membaik sesuai konsistensi pola yang terjadi. Tantangan ke depan tidak lebih ringan karena lingkungan internal dan eksteral sektor pertanian yang berubah sangat cepat.

Kinerja ekonomi makro Indonesia terlihat lebih baik dengan catatan pertumbuhan ekonomi mencapai 3,51% pada Q3-2021, sedikit lebih rendah dari 7,07% pada Q2-2021. Daya beli masyarakat perlahan mulai meningkat seiring dengan ekspektasi positif terhadap pemulihan ekonomi dan penanggulangan pandemi, dukungan vaksinasi dan protokol kesehatan.

Jikapun terkesan kendor, masyarakat sebenarnya mulai waspada atau antisipatif terhadap varian omikron dari virus korona-COV2 yang berkembang amat cepat.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 diperkirakan tumbuh 3,7% (versi Bank Dunia), pada kisaran 3,2–4,0% (versi Bank Indonesia), dan pada kisaran 3,7– 4,5% (versi pemerintah). Pada tahun 2022, Bank Dunia memperkirakan, perekonomian Indonesia tumbuh 5,2%, sama dengan asumsi yang disepakati pemerintah dan DPR, serta berada pada kisaran 4,7 – 5,5% oleh Bank Indonesia. Definisikel ini menganalisis prospek ekonomi pertanian pada 2022 menggunakan basis kinerja dan perubahan kecenderungan sepanjang 2021, serta ekspektasi dan antisipasi yang perlu dilakukan pada 2022.

Ruralisasi dan transformasi

Pandemi covid-19 telah menyebabkan pertambahan tenaga kerja pertanian dan perdesaan yang cukup signifikan sehubungan dengan ‘eksodus’ para pekerja sektor industri dan jasa di perkotaan ke sektor pertanian dan perdesaan. Fenomena ini sering dinamakan ruralisasi, sebagai antitesis dari urbanisasi, yang terjadi secara masif pada 2020 walau sedikit menurun pada 2021.

Tenaga kerja pertanian naik dari 35,45 juta (27,53% dari 128,76 juta angkatan kerja) pada Agustus 2019 menjadi 38,78 juta (29,76% dari 128,45 juta) pada Agustus 2020. Tenaga kerja pertanian pada Agustus 2021 turun menjadi 37,13 juta (28,33% dari 131,05 angkatan kerja) karena beberapa sektor perekomian mulai pulih.

Fenomena ruralisasi tersebut sebenarnya merupakan upaya survival strategy bagi warga perkotaan yang harus kembali ke desa, mencari pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan. Bagi sektor pertanian, pertambahan tenaga kerja yang tiba-tiba seperti itu tentu menjadi shock atau tambahan beban baru karena produktivitas tenaga kerja pertanian dan perdesaan telah cukup rendah.

Berbeda dengan urbanisasi, proses ruralisasi berlangsung dalam jangka pendek dan tidak memiliki pola tertentu. Tantangan besar bagi ekonom pertanian untuk mampu membaca dan menganalisis pola pergerakan tenaga kerja dari sektor industri dan jasa di perkotaan ke sektor pertanian dan di perdesaan.

Pada kondisi normal, pergeseran pekerjaan terjadi dari pertanian ke sektor industri dan jasa, atau sektor nonpertanian sebagai push factor dan pull-factor. Push-factor biasanya berkonotasi negatif menunjukkan kemiskinan di sektor pertanian dan perdesaan sehingga ‘kelebihan’ tenaga kerja di sektor pertanian dan perdesaan mengisi sektor industri dan jasa di perkotaan.

Cek Artikel:  Menyalakan Api Sumpah Pemuda

Pull-factor berkonotasi positif karena sektor industri dan jasa atau nonpertanian secara umum lebih atraktif bagi tenaga kerja pertanian dan perdesaan yang berpendidikan dan berketerampilan. Fenomena urbanisasi terjadi melalui peristiwa push-factor dan pull-factor dalam pergeseran tenaga kerja ini. Pullfactor menjadi representasi dari proses pembangunan.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 tercatat 9,10 juta (6,49% dari total angkatan kerja) atau mengalami lonjakan signifikan dari 7,10 juta orang (5,23%) pada Agustus 2019. Nomor TPT pada Agustus 2021 itu sebenarnya telah menurun dari 9,77 juta (7,07%) pada Agustus 2020, seiring pemulihan ekonomi sejak pertengahan 2021.

Pada Maret 2021, angka kemiskinan Indonesia naik menjadi 27,55 juta orang (10,14% dari total penduduk Indonesia), suatu peningkatan signifikan dari 25,14 juta orang (9,41%) pada Maret 2019 dan 26,42 juta (9,78%) pada Maret 2020.

Pada 2022, Indonesia harus mulai mentransformasi pembangunan pertanian, mencari alternatif baru yang lebih produktif dengan prioritas yang lebih dinamis. Pendekatan klaster perlu menjadi alternatif dengan penekanan pada suatu rangkaian aktivitas yang terintegrasi dari hulu, tengah, dan hilir (HTH).

Indonesia tidak mungkin hanya mengandalkan pada sistem produksi pertanian on-farm saja, tetapi perlu menggarapnya sejak dari sisi hulu, input pertanian dan faktor produksi, sistem produksi pertanian yang lebih presisi, dan sisi pascapanen dan off-farm sampai ke tingkat pengolahan dan distribusi ke seluruh pelosok Tanah Air.

Strategi klasterisasi seperti ini diharapkan dapat berkontribusi pada pembangunan pertanian, perdesaan, dan agroindustri, yang menghasilkan nilai tambah dan berkontribusi pada penyerapan lapangan kerja, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Di sinilah, sektor pertanian dapat dijadikan andalan pemulihan ekonomi Indonesia.

Prospek pangan strategis

Sepanjang tahun 2021, subsektor perkebunan dengan andalan kelapa sawit, kopi, dan kakao mencatat pertumbuhan 8,34% pada Q3-2021 atau mengalami lonjakan tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan 2,17% pada Q1-2021 dan 0,33% pada Q2-2021. Lonjakan harga minyak sawit mentah (CPO) sampai di atas US$1.000 per ton menjadi salah satu determinan dari kinerja pertumbuhan subsektor perkebunan. Produksi CPO diperkirakan mencapai 52 juta ton dengan luas areal 16,5 juta ton dan Indonesia terus menjadi produsen terbesar CPO global.

Uni Eropa justru mempertegas pembatasan impor CPO, tidak hanya untuk bahan bakar nabati atau biofuel, tetapi juga CPO untuk industri pangan. Sepanjang 2021, gugatan hukum Indonesia atas diskriminasi dagang CPO ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belum berhasil disidangkan. Pada 2022, persidangan di WTO itu diperkirakan akan lebih ramai dan dinamis karena skala diskriminasi yang seakan diperluas.

Cek Artikel:  Pola Acak Kandidasi Pilpres 2019

Konsumsi CPO oleh industri biofuel dalam rangka kebijakan pengembangan B-30 telah berkontribusi pada kenaikan harga CPO. Harga CPO terus naik tinggi, bahkan telah mencapai US$ 1,348/ton pada November 2021 di pasar global juga dinikmati oleh petani sawit. Harga tandan buah segar (TBS) di beberapa sentra produksi kelapa sawit telah melampaui Rp 3,300 per kilogram, suatu rekor harga tertinggi yang menjadi tambahan pendapatan bagi petani.

Akibat nyata dari kenaikan harga CPO ini adalah kenaikan harga minyak goreng yang telah mencapai Rp 19.550 per kilogram, dan mulai memberikan dampak pada laju inflasi di beberapa kota di Indonesia. Pada tahun 2022, harga CPO diperkirakan masih akan tetap tinggi dan mampu mewarnai ekonomi berbasis sawit.

Mengertin 2021, kinerja produksi beras sebenarnya cukup baik, terjadi peningkatan produksi dari 54,65 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2020 ke 55,27 juta ton GKG pada 2021. Sepanjang 2021, cuaca dan musim cukup bersahabat bagi dunia pertanian, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2019 dan 2020.

Produktivitas padi secara perlahan meningkat dari 5,11 ton/ha pada 2019 menjadi 5,13 ton/ha pada 2020, dan 5,15 ton/ha pada 2021. Tetapi demikian, pada 2021 terdapat penurunan luas lahan panen padi sebesar 140 ribu hektare, suatu angka yang tidak kecil. Luas panen pada 2020 tercatat 10,66 juta hektare dan turun menjadi 10,52 juta hektare pada tahun 2021. Secara kasatmata, konversi lahan sawah menjadi kegunaan lain cukup mudah ditemukan, terutama di sentra-sentra produksi padi di Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, dll.

Harga eceran beras medium sepanjang 2021 cukup stabil. Bahkan, cenderung menurun dari Rp11,850/kg pada Januari menjadi Rp11,650 pada Desember 2021. Konsistenitas harga beras tercapai karena kinerja produksi dan manajemen stok cukup baik sehingga tidak banyak terjadi lonjakan harga signifi kan, termasuk di luar sentra produksi padi.

Sebaliknya, harga gabah di tingkat petani cukup tinggi, yakni berada di atas harga pembelian pemerintah (HPP), kecuali gabah berkualitas rendah yang dipanen pada musim hujan sehingga kadar air terlalu tinggi dan harganya jatuh. Pada 2022, stabilisasi harga beras akan terus terjaga jika tidak terdapat gangguan sistem produksi yang berarti.

Kinerja produksi gula tahun 2021 relatif lebih baik jika dibandingkan dengan produksi tahun 2020. Produksi gula 2021 diperkirakan 2,36 juta ton, sedikit meningkat jika dibandingkan dengan produksi 2020 yang tercatat 2,13 juta ton, karena rendemen tebu yang membaik. Konsumsi gula konstan pada 6 juta ton sehingga impor gula masih sekitar 3,64 juta ton. Harga eceran gula kini stabil pada kisaran Rp 14.000/kg dan
mulai menurun secara signifikan sejak Juli-Agustus 2020.

Gula mentah asal impor mulai masuk, digiling oleh ekonomi gula rafi nasi, dan bahkan diizinkan beredar di pasar modern dan pasar tradisional. Harga eceran gula turun dari Rp14.500/kg pada Januari 2021 menjadi Rp14.050/kg pada Desember 2021, karena manajemen impor lebih baik jika dibandingkan tahun 2020.

Cek Artikel:  Rupiah tidak Menyerah

Pada 2021, suplai jagung sebagai bahan baku pakan ternak cukup meresahkan peternak skala kecil dan bahkan industri pakan skala besar. Jagung telah berubah, menjadi bahan baku industri pakan ternak, kecuali beberapa dearah, jagung masih dikonsumsi sebagai pangan, seperti di NTT. Kebutuhan jagung dalam negeri setidaknya 8 juta ton per tahun atau 700 ribu ton per bulan untuk pakan ternak.

Pandemi covid-19 telah melonjakkan harga jagung sampai di atas Rp5.300/kg karena dinamika pasar global yang tertransmisi ke pasar domestik. Tingginya harga jagung luar negeri memengaruhi sektor perunggasan yang memiliki komponen pakan berasal dari jagung juga tinggi sampai 60%. Produksi jagung domestik tidak mampu memenuhi tingginya kebutuhan jagung pakan karena luas panen terbatas, produktivitas rendah, dan perubahan teknologi relatif lambat.

Pada 2022, Badan Pusat Stagnantik (BPS) harus segera mengeluarkan estimasi data produksi jagung yang dihitung menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA), untuk meningkatkan kepastian ekonomi jagung, pakan ternak dan industri perunggasan. Pemerintah perlu memberikan penjaminan ketersediaan jagung pakan dalam jangka pendek, misalnya intervensi pemerintah dengan subsidi ongkos angkut dan fasilitasi transaksi, antara sentra produksi jagung dan sentra produksi pakan.

Pada 2022 dan seterusnya, pemerintah perlu memastikan pengembangan cadangan jagung nasional, pilot project jagung rendah aflatoksin (JRA), penyiapan lahan dan pengaturan pola tanam. Pada jangka panjang, fasilitasi kerja sama petani jagung, BUMN dan pabrik pakan, perlu dikembangkan. Demikian pula, pengembangan diversifikasi pemanfaatan hasil jagung, sebagai pangan fungsional perlu diupayakan secara sistematis, kelembagaan sistem agribisnis yang terintegrasi dan penguatan sistem logistik pakan dan bahan pakan.

Rekomendasi kebijakan

Pertama, pembangunan ekonomi pangan memerlukan perubahan teknologi, yang mampu meningkatkan efi siensi ekonomi pada jangka pendek, dan melonjakkan produktivitas pada angka menengah-panjang.

Kedua, pengembangan daerah yang menjadi andalan atau penopang sektor pertanian dan ekonomi pangan secara spesifik, terutama di Jawa dan Sumatra. Strategi ini perlu juga diimbangi dengan pengembangan dan pemberdayaan daerah-daerah di Luar Jawa, yang memilik potensi tinggi sebagai sumber pertumbuhan di masa depan.

Ketiga, pembangunan infrastruktur dan akumulasi kapital, yang mendukung pertanian presisi, pertanian berteknologi tinggi, dan bahkan dengan dukungan teknologi mekanisasi yang efisien, akan mampu berkontribusi pada pembangunan ekonomi pangan masa depan.

Keempat, pengembangan SDM pangan dan pertanian, yang mampu kompatibel dengan perubahan teknologi digital, dan revolusi ekonomi 4.0 lainnya. Pemberdayaan dan pendampingan kepada petani, peternak, nelayan dan UKM pangan perlu dilakukan secara sistematis.

Kelima, jaringan kerja ekonomi pangan, perlu menjadi ujung tombak yang mampu menghubungkan perguruan tinggi, dan lembaga akademik lain, lembaga penelitian dan inovasi. Sekaligus, penyempurnaan ekosistem inovasi yang melibatkan ABGC secara sinergis (academics, business, government, and civil society).

Mungkin Anda Menyukai