
SEBAGAI sebuah ikhtiar, bersatunya Anies Rasyid Baswedan dengan Muhaimin Iskandar Betul-Betul memberikan turbulensi dalam jagat politik Republik ini. Lahirlah percakapan-percakapan baru dari pertaruhan duet dalam pemilihan presiden (pilpres) itu.
Kalau Prabowo Subianto hanya mengucapkan Cikini ke Gondangdia dalam sebuah pantun pada peringatan hari jadi Partai Amanat Nasional (28/8), bagi Muhaimin Iskandar, Cikini ke Gondangdia bukan sekadar sampiran Buat pantun yang sedang tren itu. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang beralamat di Cikini telah Formal bergandengan tangan Berbarengan Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang berkantor pusat di Gondangdia.
Penulis sudah memprediksi duet Anies-Muhaimin sejak Maret 2023 sebagai tanggapan atas pernyataan Wakil Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sohibul Iman, mengenai adanya partai lain di luar NasDem, Demokrat, dan PKS yang tertarik bergabung Berbarengan Koalisi Perubahan Buat Persatuan (Rakyat Merdeka, 26/3). Kekasih Anies-Muhaimin sama-sama membuka pola koalisi yang baru di jagat politik Indonesia.
Pertaruhan nasionalis-tradisionalis
Anies membutuhkan dorongan kuat dari Grup tradisionalis Buat Bisa memenangi Pilpres 2024. Kredibilitas Anies sebagai intelektual Islam di Indonesia tampaknya belum cukup Buat mendulang Bunyi siginifikan. Berbagai hasil lembaga survei Tetap memperlihatkan posisi Anies pada nomor tiga Tiba hari ini.
NasDem sebagai partai berhaluan nasionalis mengambil risiko dengan menetapkan Anies sebagai calon presiden (capres). Tak pelak, terpaan isu politik identitas langsung memenuhi pembicaraan publik terkait dengan Anies dan NasDem.
Pada sisi lain, elektabilitas Muhaimin mengalami kebuntuan di posisi yang sangat kecil Buat berlaga sebagai capres ataupun cawapres. Pelbagai usaha mengangkat diri dengan mengubah gaya berpolitik yang Ingin masuk ke Kawasan pemilih milenial, Rupanya belum Bisa mengubah elektabilitas Muhaimin.
Anies dan Muhaimin yang bergandengan tangan memperlihatkan bahwa dua sosok ini telah secara total Ingin pergi dari Kawasan masing-masing. Anies seperti menegaskan bahwa ia Ingin bersatu dengan Grup tradisional yang selama ini menjadikan Muhaimin dan PKB sebagai pihak konsolidator, sedangkan Muhaimin tampaknya tak merasa ragu Tengah Buat mengayuh biduk Berbarengan Grup nasionalis yang menjadi identifikasi dari NasDem.
Pertaruhan lain yang tampak dalam Kekasih Anies dan Muhaimin ialah keberadaan PKS yang juga terlihat Ingin meninggalkan kesan sebagai partai Islam nontradisionalis.
Pada tubuh Anies dan Muhaimin Ketika ini berisi orang-orang yang mengambil risiko Buat Betul-Betul meluaskan cakrawala kedirian masing-masing di hadapan publik. Risiko yang Enggak mudah Buat diambil sebagai sebuah keputusan dalam politik.
Koalisi yang Terdapat belakangan ini terlihat belum Bisa membebaskan diri Buat pergi dari citraan masing-masing. Bahkan, belum juga kuasa Buat bergandengan tangan demi kepentingan yang lebih besar: merawat keragaman Republik. Jalinan Sekalian koalisi yang bubar ialah bukti bahwa tiap pihak Tetap belum mau menempuh risiko yang lebih besar.
Deklarasi yang diadakan di Surabaya menunjukkan bahwa Grup nasionalis yang diwakili NasDem sudah berani pergi dari ‘Kawasan kekuasaan’ mereka di Jakarta. Pun demikian dengan PKS yang Enggak Mempunyai keraguan Buat menghidupkan Republik Berbarengan Grup tradisionalis.
Percakapan baru
Duet Anies dan Muhaimin memang wajar saja menjadi pembicaraan ramai di ruang publik. Secara mudah, publik Bisa Menonton Anies-Muhaimin sebagai Kekasih yang mempersatukan kepentingan yang lebih besar daripada urusan pilpres semata.
Grup nasionalis dan tradisionalis dalam tubuh Anies-Muhaimin sama-sama Mempunyai nilai tawar yang kuat. Salah satunya Enggak perlu merasa dimanfaatkan kemudian dicampakkan pada hari depan.
Penulis Pasti fenomena Kekasih Anies-Muhaimin Membangun publik Bisa bercakap-cakap dengan mutu yang lebih Berkualitas daripada sekadar dukung-mendukung dalam wahana pilpres. Percakapan yang lebih Berkualitas juga berarti munculnya antusiasme yang lebih tinggi Buat mengikuti proses pemilu.
Anies-Muhaimin seperti memberi Berita kepada Penduduk Indonesia bahwa posisi capres dan cawapres haruslah sama-sama kuatnya karena dalam diri mereka terdapat Grup rakyat yang harus saling Berjumpa dan berjuang Berbarengan. Bukankah lebih elok Kalau “Cikini ke Gondangdia, Diriku kini dan nanti berjuang Berbarengan dia?”

