
KAMPUS Merdeka, istilah yang kini tengah hangat diperbincangkan di kalangan mahasiswa Tanah Air. Konsep itu membawa Cita-cita besar bagi generasi muda yang berjuang Demi mencari ilmu di perguruan tinggi, dengan Cita-cita menjadi profesional ataupun akademisi yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan Sembari membuka Kesempatan kehidupan yang lebih layak dan Bagus.
Keistimewaan Penting alumni perguruan tinggi ialah kemampuannya melakukan riset, menganalisisnya, dan kemudian menuliskannya. Saya dapat pastikan, Sekalian tahapan yang saya sebutkan Bukan dapat dilakukan dengan Bagus Kalau mahasiswa kurang baca, apalagi Bukan membaca sama sekali, dan kesempatan mahasiswa membaca Naskah ialah Ketika mereka menulis skripsi.
Jadi, dapat dibayangkan, Kalau kampus mengambil kebijakan mengikuti arahan Mas Menteri Demi memberikan pilihan kepada mahasiswa Demi Bukan menulis skripsi, mutu sarjana seperti apa yang akan kita dapatkan kemudian? Bukankah sebaiknya kita Konsentrasi memperhatikan masalah yang lebih mendesak di dunia pendidikan dasar dan menengah ketimbang mengurus skripsi mahasiswa yang Semestinya sudah ditangani dengan Bagus oleh manajemen perguruan tinggi dan profesor?
UTS/UAS Lagi perlukah?
Tugas Mendikbud-Ristek ialah memastikan bahwa anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan berkualitas dan merata. Salah satu upaya yang dilakukan Mas Menteri pada awal masa jabatannya ialah menggantikan ujian nasional (UN) dengan asesmen nasional berbasis komputer (ANBK).
Kami sebagai Penduduk sekolah berterima kasih kepada Mas Menteri atas keputusan itu. Pergantian itu telah membantu melepaskan beban psikologis anak-anak yang terlalu tertekan Ketika menghadapi UN. Langkah itu ialah langkah besar menuju perubahan positif dalam dunia pendidikan dasar dan menengah.
Tetapi, Terdapat satu hal yang perlu Mas Menteri catat, Adalah Lagi Terdapat ujian-ujian lain yang menghantui anak-anak kita dalam kehidupan belajar mereka, yakni ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS). Dua jenis ujian itu juga merupakan momok yang menakutkan bagi anak-anak di sekolah.
Kita perlu mengkritisi peran UTS dan UAS dalam sistem pendidikan kita. Apakah ujian-ujian itu Benar-Benar membantu dalam menilai kemampuan siswa atau hanya menjadi alat penilaian yang melelahkan pikiran dan batin siswa? Bukankah ujian-ujian itu bertolak belakang dengan konsep Sekolah Merdeka yang sedang digalakkan?
Portofolio
Menurut saya, daripada terlalu memusingkan soal keberadaan skripsi, sebaiknya Mas Mendikbud-Ristek memusatkan perhatian pada pendidikan dasar dan menengah yang Lagi belum merdeka dari berbagai ujian. Setelah terbebas dari UN—algojo yang ‘menentukan’ pintar-bodohnya siswa—mereka Lagi harus menghadapi ujian minimal dua kali dalam setahun. Belum Kembali ujian-ujian harian dan sebagainya.
Kenapa menilai mereka dengan ujian? Padahal, banyak jenis penilaian yang Bukan melanggar hak tumbuh kembang anak dengan Bagus dan Benar, seperti portofolio, yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak.
Kalau mengacu pada Marzano (1985), anak usia sekolah dasar harusnya lebih banyak pada pengembangan sikap dan keterampilan. Pengembangan dan penguatan aspek sikap dan keterampilan siswa sekolah dasar harus menjadi prioritas, ketimbang penguatan aspek kognisinya, hingga mereka menyelesaikan enam tahun sekolah dasar. Demi siswa sekolah menengah pertama, aspek penguatannya Lagi pada aspek sikap dan keterampilan.
Pada level itu, aspek kognisi sudah mulai mendapatkan Bagian lebih besar dan dikembangkan dengan memperkenalkan mereka dengan konsep-konsep sederhana ketimbang ketika mereka Lagi di sekolah dasar. Pada level ini, siswa didorong Demi mengeksplorasi dan mengembangkan minat dan Potensi mereka.
Itu bagian dari upaya mendorong mereka menemukan jati diri, sesuai dengan usia pertumbuhan dan perkembangannya, Adalah usia 13-15 tahun. Pada level sekolah menengah atas, usia 16-17 tahun, Bagian pengembangan afeksi, keterampilan dan kognisi mendapatkan Bagian yang seimbang.
Pada level itu, siswa harus didorong Demi menghasilkan karya sebagai portofolio mereka. Konsep itu sebenarnya sudah tertera secara gamblang dalam kurikulum 13, tetapi sayang implementasinya Lagi terjebak pada penilaian sumatif-kuantitatif dalam bentuk ujian tengah dan akhir semester.
Paul Black dan Dylan Wiliam (1998)—dalam penelitian mereka berjudul Inside the Black Box: Raising Standards Through Classroom Assessment, yang diterbitkan di jurnal Phi Delta Kappan 80, No 2—menekankan pentingnya penilaian formatif, dengan penggunaan portofolio sebagai salah satu alat Demi memberikan umpan balik yang bermanfaat kepada siswa.
Menurut mereka, penggunaan portofolio dapat membantu siswa memahami tujuan pembelajaran, melibatkan siswa dalam proses pembelajaran aktif, mengembangkan Cerminan diri tentang kemajuan belajar mereka, serta memungkinkan guru memberikan umpan balik yang lebih mendalam dan berfokus. Terdapat beberapa jenis portofolio yang dapat dikembangkan sekolah sebagai penilaian formatif, Adalah portofolio akademik, seni dan kreativitas, olahraga dan kesehatan, ekstrakurikuler, pekerjaan sambilan, prestasi dan penghargaan, kepemimpinan dan layanan masyarakat.
Sebenarnya banyak sekolah sudah menggunakan portofolio Demi siswa SMA, dan paling banyak adalah portofolio akademik, seni dan kreativitas, olahraga, serta ekstrakurikuler. Tetapi, portofolio belum dijadikan alat penilaian. Portofolio baru dijadikan koleksi Demi kepentingan mendaftar ke perguruan tinggi. Siswa Lagi tetap melakukan ujian tengah dan akhir semester. Portofolio hanya diperlakukan sebagai pelengkap.
Padahal, proses mendapatkan portofolio Niscaya didahului rasa Ingin Mengerti dan keberbakatan, tertarik, kemudian Potensi tersebut digali dan dikembangkan. Proses itu lebih mendalam ketimbang proses belajar dalam kelas dan ujian. Misalnya, Demi mendapatkan portofolio akademik, siswa harus melakukan penelitian, kemudian menuliskan laporannya dengan menyusun, menata dan menganalisis data, serta menuliskan temuannya.
Demi mendapatkan portofolio seni dan kreativitas—misalnya— siswa harus melukis, Membangun ilustrasi, atau karya visual lainnya, atau menulis antologi puisi, cerpen, atau esai kreatif. Demi mendapatkan portofolio olahraga, mereka harus melalui latihan cukup serius agar sukses menorehkan rekam jejak sebagai peserta berprestasi dalam sebuah kompetisi.
Demi menghasilkan karya tulis, karya seni, maupun portofolio olahraga bukan hal yang mudah yang hanya mengandalkan Potensi, melainkan juga melalui proses membaca Naskah, penelitian dan bimbingan yang cukup panjang, serta latihan yang cukup melelahkan. Jadi, sekali Kembali, ketimbang mengurus perlu tidaknya mahasiswa menulis skripsi, sebaiknya Mas Menteri mulai mempertimbangkan mengganti penilaian melalui UTS/UAS dengan portofolio. Wallahualam.

