Warisan Peradaban

TIDAK banyak mantan presiden yang selalu dikenang oleh dunia. Dikenang bukan karena tak pernah berbuat salah, tetapi lantaran menorehkan karya-karya yang mengubah peradaban manusia, dari kegelapan menuju peradaban yang menempatkan manusia sebagai sumber nilai bagi kehidupan.

Di antara mantan presiden yang langka itu ialah Nelson Rolihlahla Mandela. Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999 itu adalah sosok yang memiliki integritas, satunya kata dengan perbuatan. Sepanjang hayatnya didedikasikan untuk perjuangan melawan rasisme, kemiskinan, dan beragam kesenjangan di negaranya. Mandela dikenal memiliki kepribadian kukuh, tak mengenal kompromi, sehingga rela dipenjara selama 27 tahun dari vonis pengadilan seumur hidup.

Meski lama ‘menikmati’ dinginnya hotel prodeo, jabatan presiden yang diraih Mandela dari pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan pada 1994 tak membuatnya jemawa. Partai yang dipimpinnya, Kongres Nasional Afrika, dalam pesta demokrasi itu meraup 62% suara.

Visi hidup Mandela sebagai pejuang kemanusiaan dan hak sipil selama ini menjadi visinya ketika menjabat orang nomor satu di ‘Negeri Pelangi’ itu. Eksis sejumlah warisan Mandela yang patut dicatat oleh tinta emas sejarah Afsel dan dunia. Pertama, upayanya memperjuangan kesetaraan gender. Hal itu ditegaskan dalam pidato kenegaraan pertama Mandela pada 1994.

Cek Artikel:  Terkungkung Mazhab Utang

Demi Mandela terpilih sebagai presiden, perempuan hanya menduduki 2,7% kursi di parlemen Afsel. Tetapi, pada 2013, kurang dari dua dekade kemudian, perempuan menguasai 44% kursi legislatif. Perjuangan Mandela membuat hasil untuk eksistensi politik perempuan Afsel.

Kedua, bergabung dalam perjuangan melawan HIV/AIDS di saat banyak yang menyangkal penyakit tersebut. Ketiga, mempromosikan pendidikan ilmu pengetahuan dan lingkungan. Selama rezim apartheid, warga kulit hitam Afsel dilarang mempelajari sains dan teknologi.

Keempat, menghapus diskriminasi dengan meningkatkan partisipasi politik warga Afsel. Kelima, kepemimpinan Mandela berorientasi pada rekonsiliasi. Mandela mengajak rakyatnya melupakan kepedihan, berdamai dengan masa lalu untuk menyongsong masa depan. Dari 1996 hingga 1998, sekitar 20 ribu korban berkumpul, bersaksi di hadapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Keenam, mempromosikan perdamaian dan keadilan di seluruh dunia. Perjuangan peraih Nobel Perdamaian itu tak sebatas untuk negaranya. Setelah pensiun sebagai presiden, selain mengedukasi masyarakat tentang krisis HIV/AID, Mandela juga terlibat dalam menengahi konflik di sejumlah negara Afrika, seperti di Republik Demokratik Kongo dan Burundi.

Cek Artikel:  Menggemaskan-Menggemaskan Mobil Dinas

Kepada menghormati kontribusinya terhadap perdamaian dan kebudayaan, Majelis Lazim Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi A/RES/64/13 pada 2009 dan menetapkan tanggal 18 Juli sebagai Hari Global Nelson Mandela.

Di ujung masa jabatannya sebagai presiden, Mandela tak ada tondo-tondo untuk memperpanjang masa jabatannya meskipun rakyat Afsel telanjur cinta dengan penyuka batik ini. Selain tak ada niat untuk memperpanjang periode kekuasaan, Mandela pun tak pernah berupaya menyiapkan dinasti atau kelompoknya untuk menduduki tampuk kekuasaan yang akan dilepaskannya. Dia memandang menjadi warga negara biasa sama mulianya dengan menjadi kepala negara.

Layaklah jika Mandela berjuluk ‘Bapak Bangsa’, ‘Bapak Pendiri Demokrasi’, ‘Pembebas Bangsa’, ‘Sang Penyelamat’ dan sebagainya. Mandela adalah negarawan sejati. Dia hanya memikirkan generasi mendatang, bukan mendongkrak approval rating dengan berbagai cara agar terpilih kembali.

Indonesia sejatinya mampu melahirkan tokoh sekaliber Nelson Mandela. Seorang pemimpin nasional harus teralirkan darah pejuang. Sosok yang memang telah lama berjuang atau bekerja untuk rakyat dengan berbagai saluran perjuangan, seperti pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, dan lain-lain.

Cek Artikel:  Menikmati Debat Daya Beli

Bukan tokoh karbitan dengan seabrek pencitraan. Bukan pula tokoh yang memiliki rekam jejak kekerasan/pelanggaran HAM. Indonesia membutuhkan tokoh besar yang mempunyai kapasitas besar, kemampuan kognitif dan afektif yang mumpuni untuk memimpin.

Pemilu 2024 bukan sekadar ajang suksesi kepemimpinan nasional, sirkulasi kekuasaan. Pesta demokrasi ini adalah sarana pendidikan politik bagi rakyat agar menggunakan hak suara secara bertanggung jawab. Demikian pula Presiden Joko Widodo, jangan kehilangan momentum untuk mengakhiri kekuasaan secara cemerlang (husnul khatimah) dengan memastikan pemilu berlangsung jujur, adil, dan penuh kegembiraan. Inilah legasi besar yang patut diwariskan. Kalau gagal, entahlah apa yang terjadi.

Patut direnungkan pesan dari ‘Sang Pembebas Bangsa’. Apa yang kita lakukan, kata Nelson Mandela, tidak akan memberikan dampak kepada masyarakat sebelum kita jujur kepada diri sendiri. “The first thing is to be honest with yourself,” kata Mandela. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai