Presiden AS, Donald Trump, di hotel Hyatt Regency 13 November 2024. (EFE/EPA/ALLISON ROBBERT / POOL)
Washington DC: Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena tarif tinggi dari Amerika Perkumpulan dalam kebijakan baru Presiden Donald Trump. Dalam pengumuman yang disebut Trump sebagai “Hari Pembebasan”, Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32%.
Bilangan ini hanya terpaut 2 persen dari tarif yang dikenakan terhadap China (34%). Apa yang melatarbelakangi Bilangan ini? Bagaimana Trump menghitung tarif-tarif tersebut? Berikut penjelasannya.
Trump Umumkan Tarif: Indonesia Kena 32 Persen
Melansir Kementerian Perdagangan RI pada Kamis, 3 April 2025, Presiden Trump mengumumkan daftar tarif baru lebih awal dari jadwal. Dalam pengumuman yang disampaikan di Rose Garden, Trump menyatakan, “Dalam banyak kasus, terutama dalam hal perdagangan, Sahabat lebih Jelek daripada Musuh.”
Trump melanjutkan, “Mengapa kita melakukan ini? Maksud saya, Ketika kita Pandai mengatakan kalian harus bekerja Buat diri sendiri… Kita akhirnya mengutamakan Amerika.”
Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi Buat menekan defisit perdagangan yang oleh Trump disebut sebagai “kondisi darurat nasional”. Ia menyebut pengumuman tarif ini sebagai “deklarasi kemerdekaan” ekonomi AS.
Bagaimana Tarif Itu Dihitung?
Gambar: Rumus tarif dari Gedung Putih. (United States Trade Representative)
Mengutip BBC Verify pada Jumat, 4 April 2025, Gedung Putih merilis formula perhitungan tarif yang terlihat rumit, Tetapi bila diurai, sebenarnya sederhana: “ambil defisit perdagangan barang AS terhadap suatu negara, bagi dengan total impor barang dari negara itu, Lewat bagi dua dan bulatkan ke atas”.
Teladan yang diberikan BBC menyebutkan bahwa defisit AS terhadap China adalah US$295 miliar dari total impor sebesar US$440 miliar. Maka: 295 / 440 = 67%, Lewat dibagi dua menjadi 33,5%, yang kemudian dibulatkan menjadi tarif 34%.
Formula yang digunakan Trump ini secara teknis bukan tarif timbal balik, karena Kagak berdasarkan pada tarif aktual yang dikenakan negara lain terhadap AS, melainkan hanya difokuskan pada defisit perdagangan barang.
Gambar: Teladan perhitungan tarif AS Buat UE. (BBC Verify)
BBC menilai pendekatan ini adalah bentuk rekayasa kebijakan dagang. “Ya, ini akan mengurangi defisit perdagangan bilateral AS dengan negara-negara tersebut. Tapi tentu saja akan Eksis banyak Dampak yang lebih luas yang Kagak tercakup dalam perhitungan ini,” ucap Profesor Jonathan Portes dari King’s College London, melansir BBC, 4 April 2025.
“Formula ini direkayasa Buat melegitimasi pengenaan tarif pada negara-negara yang Mempunyai defisit perdagangan dengan AS. Kagak Eksis dasar ekonomi Buat ini dan akan sangat merugikan perekonomian Mendunia,” ucap Thomas Sampson dari London School of Economics.
Penerapan Rumus pada Indonesia: Cocok?
Berdasarkan data dari United States Trade Representative (USTR), total perdagangan barang antara AS dan Indonesia pada tahun 2024 adalah US$38,3 miliar. Ekspor AS ke Indonesia sebesar US$10,2 miliar, sedangkan impor dari Indonesia ke AS mencapai US$28,1 miliar. Dengan demikian, defisit AS terhadap Indonesia adalah US$17,9 miliar.
Menggunakan rumus Trump:
17,9 / 28,1 = 63,7%, dibagi dua menjadi 31,85%, dibulatkan menjadi 32%. Maka, tarif 32% yang dikenakan terhadap Indonesia memang sesuai dengan formula yang dirumuskan oleh Gedung Putih.
Kementerian Perdagangan RI menyebutkan bahwa ekspor nonmigas Indonesia ke AS antara lain berupa garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati. Dalam konteks ini, bea masuk sebesar 32?rpotensi memukul sektor-sektor ekspor unggulan tersebut.
Selain Indonesia, dua negara ASEAN lain juga terkena tarif tinggi: Thailand (36%) dan Vietnam (46%). Uni Eropa dikenai 20?n telah menyatakan akan melakukan pembalasan. Kanada juga menyatakan siap melawan, dengan PM Mark Carney Mengucapkan, “Kami akan berjuang demi ekonomi Kanada”.
Penutup
Tarif 32% Buat Indonesia bukan ditentukan secara sewenang-wenang. Berdasarkan rumus Formal Gedung Putih, Bilangan tersebut muncul dari kalkulasi matematis atas defisit perdagangan AS terhadap Indonesia. Tetapi, terlepas dari justifikasi numerik, kebijakan ini telah memantik kecaman Mendunia dan Pandai berdampak besar terhadap rantai pasok serta ekspor Indonesia dalam waktu dekat.